Niki Lauda, Petarung Sejati di Formula 1
Obituari
Niki, Petarung Sejati di Formula 1
Dunia balap Formula 1 kehilangan salah satu ikon dan inspirasinya, Andreas Nikolaus “Niki” Lauda. Mantan pebalap Ferrari dan McLaren yang mengilhami pembuatan film Hollywood, Rush (2013), itu meninggal pada usia 70 tahun. Namun, semangat juara dunia F1 tiga kali itu terus hidup di lintasan F1.
Kematian memang begitu dekat dengan Lauda, pria yang memilih hidup menantang maut di dunia balap, meski terlahir kaya raya. Maut pernah menghampirinya 1976 silam, yaitu ketika membalap bersama Ferrari di Sirkuit Nuerburgring di Jerman. Pada masa silam, balap F1 memang identik dengan maut. Itu salah satunya dialami legenda F1 lainnya, Ayrton Senna, di Sirkuit San Marino, 1994.
Hampir serupa Senna, Lauda mengalami kecelakaan mengerikan di Jerman, 43 tahun silam. Mobil Ferrari yang dikendarainya tergelincir, terbalik dan berkorbar api. Lauda sempat terpanggang dalam panas 800 derajat celcius di dalamnya. Ajaibnya, ia selamat. Namun, ia tidak lagi pernah sama sejak itu. Luka bakar di sekujur tubuh dan wajah serta kerusakan pada paru-parunya akibat menghirup gas beracun terus bertahan menjelang kematiannya, kemarin.
“Saya punya alasan berwajah buruk ketika kebanyakan orang tidak. Ketika pertama kali isteri saya melihat wajahku (di rumah sakit), saya tahu ada hal yang tidak beres. Seiring usia, luka itu mulai hilang seiring garis-garis keriput. Saya pun telah terbiasa,” ungkap Lauda suatu ketika.
Banyak pihak mengira Lauda akan mengakhiri karirnya usai kecelakaan mengerikan itu. Gelar juara 1976 pun harus melayang ke rival utamanya, James Hunt, saat itu. Hunt, yang diperankan Chris Hemsworth dalam film Rush garapan sutradara Ron Howard, unggul hanya satu poin dari Lauda di akhir musim.
Namun, dugaan bahwa karirnya bakal tamat, meleset. Lauda kembali ke lintasan F1 enam pekan kemudian, yaitu di GP Italia di Monza, meski belum pulih betul dari trauma luka bakarnya. Ia pun finis keempat. “Nuerburgring seharusnya menjadi akhir hidup saya. Namun, nyatanya tidaklah demikian. Bohong jika saya menghapus rasa takut dan trauma itu dengan cepat. Namun, bodoh jika menyerah pada rival-rival dengan membenarkan kelemahan itu,” ujar Lauda.
Ketika Hunt dibutakan materialisme dan kejayaannya, Lauda justru bangkit semusim kemudian. Pebalap asal Austria itu menaklukkan trauma dan masalah fisiknya dengan menjadi juara dunia 1977. Sempat pensiun sejenak pada 1979, ia kembali ke F1 pada 1982 dan menjadi juara bersama McLaren lagi, pada 1984.
“Kecintaan dan keberaniannya adalah hal yang luar biasa. Ia menginspirasi fans dan dunia F1. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi F1 dan dunia balap. Ia salah satu pahlawan di F1,” ujar CEO F1 Chase Carey yang ikut berduka atas meninggalnya Lauda seperti dikutip Crash.
Tidaklah berlebihan menganggap Lauda sebagai pahlawan F1. Hampir seluruh sisa hidupnya, seusai kecelakaan di Jerman, dihabiskan di dunia balap itu. Sempat pensiun lagi dari F1 dan merintis usaha di penerbangan pada 1985, ia kembali ke F1 dengan banyak peran berbeda. Ia sempat menjadi konsultan di proyek peremajaan Ferrari pada 1993. Masukannya menjadi peletak kebangkitan dan era emas Ferrari di akhir 1990-an hingga 2000an.
Lauda lantas menjual seluruh aset di perusahaan maskapainya yang bernama Lauda Air untuk melahirkan tim baru di F1, yaitu Jaguar Racing, pada 2001. Lauda juga ikut berjasa dalam membesarkan tim terhebat di F1 saat ini, Mercedes AMG Petronas. Mantan pebalap berjuluk “Raja Tikus”, karena penampakan wajahnya, itu menjabat pimpinan non-eksekutif di Mercedes sejak 2012. Ia memiliki 10 persen saham di tim itu.
Membesarkan Mercedes
Lauda kerap terlihat di garasi tim Mercedes pada balapan F1 untuk bertukar pikiran dengan para pebalap muda seperti Nico Rosberg dan Lewis Hamilton. Hadirnya Hamilton di tim itu sejak 2013 misalnya, tidak terlepas dari masukan Lauda. Ia merayu pebalap Inggris itu hijrah dari McLaren. L
auda pula yang membuat Rosberg percaya diri akan kemampuannya dan menjadi juara dunia pada 2016. Segala masukan dan pemikirannya membuat Mercedes menjelma sebagai tim superior selama setengah dekade terakhir.
“Saya belajar banyak darimu, yaitu gairah dan semangat pantang menyerahmu. Saya dan 100 juta penggemar (F1) di seluruh dunia berutang terima kasih kepadamu. Kamu telah mengajarkan untuk tidak menyerah, meskipun di situasi tersulit sekali pun,” ungkap Rosberg dikutip Fox Sports.(JON)