Panen Debu di Kampung Tambak
Kehadiran tambang nikel turut mengubah wajah kampung tambak di Desa Tani Indah, Kapoiala, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menjadi muram. Hasil tambak yang dulu berjaya, kini sulit diharapkan.
Sehelai jaring tergeletak di tepi tambak. Sulaiman (46) membungkuk memeriksa jaring sepanjang lima meter itu. Kondisi jaring itu cukup baik, tak ada bolong, hanya penuh debu karena tak terurus.
Menjelang siang, Sabtu (4/5/2019), Sulaiman berjalan pelan melintasi pematang empang, di Desa Tani Indah, Kapoiala, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Ia baru saja mengawasi tambak miliknya dan beberapa petak tambak yang dikelolanya. ”Orang sudah malas urus empang sejak ada kegiatan tambang. Tidak banyak hasilnya,” kata ayah dua anak ini.
Di sepanjang tambak yang ia lewati, nyaris tidak ada yang terurus. Sebuah alat penangkap kepiting dibiarkan menancap ala kadarnya. Jalur air dipenuhi lumpur. Bahkan, beberapa tambak telah mengering.
Sulaiman adalah segelintir petambak yang tersisa di kampungnya. Ia kini mengelola sekitar 10 petak tambak miliknya dan beberapa petak tambak keluarganya atau tetangganya. Siang itu, hanya ia seorang yang beraktivitas di tambak.
Di belakang Sulaiman, berjarak sekitar 50 meter, situasi kontras sedang terjadi. Kesibukan seperti tidak ada habisnya. Sebuah jalan utama ramai dengan truk-truk berbagai ukuran yang lalu lalang. Jalan ini dulunya adalah bagian dari tambak warga, yang selanjutnya ditimbun menjadi jalan sepanjang 11 kilometer.
Jalan ini merupakan jalan produksi tambang PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) yang menghubungkan lokasi pengolahan smelter nikel dengan dermaga.
Hampir 15 detik sekali, satu atau dua truk akan melintas di jalan selebar 16 meter. Debu berhamburan di udara saat kendaraan itu melewati jalan tanah tersebut. Sebuah truk terus berjalan menyirami jalan berusaha meredam debu dan polusi.
Debu jalan, debu dari material yang dibawa truk, lumpur dari jalan, juga berbagai residu lainnya, dipercaya warga membuat air di tambak tidak lagi seperti dulu. Air di tambak memang tidak lagi hijau seperti tambak pada umumnya. Kondisi air terlihat lebih kuning, dan tidak ada bau lumut.
”Ini sudah tidak bau empang lagi. Lumut sudah tidak ada, bagaimana ikan bisa besar kalau makanan tidak ada,” tambah Sulaiman.
Sulaiman bercerita, tambak-tambak yang dikelolanya telah beberapa kali diberi pupuk untuk merangsang tumbuh kembang lumut. Akan tetapi, tetap saja lumut tidak lagi sebanyak dulu.
Akibatnya, ikan tidak mendapat asupan makanan yang banyak. Dari segi ukuran, ikan bandeng yang dipanen pun telah jauh berbeda. Jika sebelumnya satu ekor bandeng bisa mencapai satu kilogram, saat ini maksimal hanya setengah kilogram. Itu pun masa perawatannya lebih lama 1-2 bulan dari sebelumnya.
”Terakhir panen ikan bandeng tinggal sekitar 300 kilogram. Padahal, benih yang kita tebar lebih 3.000 ekor. Kalau dulu bisa panen 1-2 ton kalau benih segitu,” kata Sulaiman. Selain ikan bandeng, dahulu kepiting dan udang juga dipelihara di tambak. Namun, kini petambak enggan membudidayakan udang dan kepiting karena hampir pasti merugi.
Ia kesal dengan polusi dan debu yang saban hari terus bertambah banyak. Telah beberapa kali ia menghadang truk yang melintas di jalan di dekat rumahnya. Ia tidak membiarkan truk beroperasi sebelum jalan disiram dengan air.
Meski begitu, tambah Sulaiman, ia tetap akan bertahan sebagai petambak. Pekan lalu, ia masih menabur benih bandeng sebanyak 10.000 ekor. Tambak masih menjadi tambatan hidup keluarganya.
Ia tidak ingin bekerja di pabrik seperti banyak tetangganya. Bagi dia, menjadi petambak berarti berkuasa atas waktu dan penghasilan sendiri. Sementara menjadi pekerja harus mengikuti ritme kerja karyawan yang masuk pagi pulang sore. ”Kecuali tambak sudah tidak menghasilkan dan harga (jual tambak) cocok, ya, mau apa lagi. Terpaksa dijual. Mau bikin kos-kosan,” katanya.
Tidak sedikit warga di Desa Tani Indah yang melepas tambak ke pihak perusahaan. Jika punya modal, mereka menimbun tambak untuk dijadikan rumah kos berpetak-petak. Zulkarnain (41), warga Desa Tani Indah lainnya, telah membangun dua petak kos-kosan di lahannya. Bangunan yang berdiri di lahan yang dulunya adalah tambak bandeng warisan orangtuanya.
Kampung tambak
Menurut Zulkarnain, ia kini tidak lagi begitu mengurus tambak miliknya. Sebab, hasil tambak sudah sangat jauh berkurang. Dari semula 10 petak tambak miliknya, ia kini tinggal mengelola 1-2 petak tambak.
”Padahal, dulu di sini itu kampung tambak. Semuanya tambak sampai tujuh desa. Penuh bakau juga. Kalau masuk di sini langit tidak kelihatan tertutup bakau. Sekarang liat saja, coklat semua penuh debu,” ujar Zulkarnain.
Tidak seperti warga lain yang telah banyak menjual tambaknya, Zulkarnain memilih bertahan. Baginya, menjual tambak memang bisa mendapatkan uang dalam jumlah banyak, tetapi hanya sekali. Selepas itu harus memikirkan untuk anak cucu.
”Kalau punya tambak kan kayak begini bisa sampai berapa generasi. Kecuali nanti memang sudah tidak bisa sama sekali menghasilkan,” ujarnya.
Duang (48), warga Desa Laosu Jaya, Kecamatan Bondoala, tetangga Kecamatan Kapoiala, mengaku sudah menjual tanahnya kepada pihak perusahaan. Sepetak tambaknya itu kini telah menjadi jalan besar yang menghubungkan antara pabrik dan dermaga.
Saat ini, ayah tiga anak ini masih memiliki beberapa petak tambak. Akan tetapi, tambak-tambak itu tidak lagi dimanfaatkan seperti sebelumnya. ”Kalau harga cocok saya mau jual lagi. Nanti kita cari lagi tanah di gunung sana, bikin kebun saja,” katanya.
Tambak-tambak warga di daerah ini adalah kawasan tambak paling luas di Kabupaten Konawe. Meski bukan paling luas di wilayah Sulawesi Tenggara, tetapi hasil tambak di kawasan ini cukup untuk menyuplai kebutuhan daerah sekitarnya hingga Kota Kendari yang jaraknya sekitar 70 kilometer.
Sayangnya, produksi pun terus turun. Dari data Badan Pusat Statistik 2015, produksi tambak di kabupaten ini sebanyak 387 ton. Untuk tahun sebelumnya, produksi bandeng mencapai 419 ton.
Agus Kurnia, Kepala Laboratorium Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo menjelaskan, berkurangnya produktivitas tambak warga, berubahnya ukuran dan tekstur ikan, kemungkinan besar karena dipengaruhi kualitas air dan kedalaman tambak. Debu dari pembangunan, lumpur, dan berbagai residu lain yang masuk ke tambak, mengubah kedalaman tambak, suhu, dan kandungan di dalamnya.
”Dari pendangkalan saja, akan berpengaruh terhadap fluktuasi suhu di tambak. Kalau kedalaman sebelumnya satu meter, lalu perlahan terjadi pendangkalan, suhu di permukaan dan di dasar akan sama. Ikan juga akan meningkat metabolismenya untuk beradaptasi dengan suhu. Akibatnya, energi ikan untuk berkembang tak sebanyak sebelumnya,” ujarnya.
Dari segi fisik dan rasa, ikan terganggu dengan lingkungan yang bising, serta makanan yang bercampur debu. Hal tersebut akan memengaruhi rasa dan tekstur ikan.
”Yang tidak kalah penting lagi adalah kandungan logam berat. Ini yang harus diuji karena logam berat itu bercampur dengan udara. Salah satu cara melihat adanya pencemaran adalah dengan produktivitas hewan di sekitarnya. Harus ada penanganan segera terkait hal ini,” kata Agus.
Kepala Teknik Tambang PT VDNI Wahyudi Agus Kristianto menyampaikan, pihaknya telah memberlakukan standar operasional yang tinggi agar tidak ada lumpur yang masuk ke dalam tambak. Penyiraman jalan juga terus dilakukan agar debu tidak mencemari lingkungan warga.
”Kalau debu memang susah untuk dihilangkan, tetapi kita sudah siram terus. Kalau dibilang produktivitas (tambak) berkurang, perlu ditanyakan juga, apa karena cuma itu faktornya. Sudah banyak yang bekerja dengan kami, jadi mungkin tidak fokus mengurus tambak,” tambahnya.
Tanpa kajian dan penanganan serius untuk mencari solusi bagi budidaya perikanan tambak, bukan mustahil hanya debu yang dipanen petambak di sana.