JAKARTA, KOMPAS - Kursi Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 yang diproyeksikan bakal didominasi koalisi partai pendukung pemerintah membuat konsolidasi politik di awal masa jabatan relatif lebih lancar. Terkait dengan hal itu, koalisi mayoritas bersedia membuka ruang negosiasi dengan koalisi nonpemerintah untuk berbagi jabatan pimpinan di lembaga legislatif.
Hasil Pemilu 2019 yang ditetapkan dan diumumkan Komisi Pemilihan Umum pada Selasa (21/5/2019) dini hari menunjukkan, ada sembilan partai politik yang diperkirakan kembali menduduki kursi di DPR. Dengan beranggotakan lima partai politik, koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin bisa menjadi kekuatan dominan di DPR dari sisi jumlah kursi.
Hasil simulasi konversi suara parpol menjadi kursi DPR yang dilakukan Litbang Kompas memproyeksikan, lima partai politik pendukung Jokowi-Amin menguasai 349 kursi atau 60,7 persen dari total 575 kursi DPR. Lima parpol itu ialah PDI-P (128 kursi), Golkar (85), PKB (58), Nasdem (59), dan PPP (19). Sementara itu, empat parpol pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diproyeksikan menguasai 226 kursi DPR. Empat parpol itu ialah Gerindra (78 kursi), PKS (50), PAN (44), dan Demokrat (54).
Komposisi kekuatan pendukung pemerintah di DPR kali ini berbeda dengan masa awal jabatan 2014-2019 Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebagai pembanding, seusai Pemilu 2014, koalisi Jokowi-Kalla di DPR hanya 44,1 persen. Dukungan itu bertambah jadi 68 persen setelah Golkar, PPP, dan PAN bergabung mendukung pemerintah.
Pimpinan DPR
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pengisian kursi pimpinan DPR setelah hasil Pemilu 2019 ditentukan berdasarkan asas proporsional. Partai pemenang pemilihan legislatif otomatis menduduki kursi ketua DPR, disusul empat partai dengan perolehan suara terbanyak di jabatan wakil ketua DPR.
Dengan kursi mayoritas, koalisi pendukung pemerintah di DPR otomatis menguasai kursi pimpinan. Dari lima kursi pimpinan DPR, empat kursi diampu partai pendukung Jokowi-Amin, yaitu PDI-P, Golkar, PKB, dan Nasdem. Sementara Gerindra menjadi satu-satunya partai nonkoalisi pemerintah yang menjabat pimpinan DPR.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto di Jakarta, Selasa, mengatakan, dengan peta politik itu, dinamika politik di DPR akan lebih kondusif sehingga kebijakan dan undang-undang yang didorong pemerintah bisa lebih mudah lolos di DPR. Konsolidasi dengan partai nonkoalisi di DPR juga diyakini tak akan jadi masalah.
”Kami yakin dialog lintas koalisi akan jauh lebih baik. Kontestasi sudah selesai, sekarang semua partai sama-sama menatap lima tahun ke depan,” kata Hasto.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan, Gerindra akan tetap menjalankan peran sebagai oposisi penyeimbang dan pengawas jalannya pemerintahan. Meskipun menjadi satu-satunya partai oposisi, ia menilai koordinasi di level pimpinan DPR tidak akan terganggu.
Andre memastikan Gerindra akan menugaskan kader terbaik untuk menduduki jabatan pimpinan DPR dan menjalankan fungsi penyeimbang terhadap pemerintah dengan efektif.
Di tengah proyeksi kondisi itu, DPR dihadapkan pada tantangan bekerja lebih keras pada periode 2019-2024. Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, fungsi legislasi masih menjadi momok bagi anggota DPR karena sebelumnya belum pernah mencapai jumlah yang ideal atas RUU yang bisa disahkan DPR.
Peneliti senior bidang politik dan pemerintahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lili Romli, menekankan, tantangan yang tak kalah berat ialah menjaga marwah DPR sebagai wakil rakyat yang bersih dan berintegritas.
Pimpinan MPR
Pengisian kursi pimpinan MPR bisa lebih dinamis karena Undang-Undang MD3 mengatur penentuannya lewat sistem paket yang akan dipilih anggota MPR. Terkait itu, Hasto mengatakan, koalisi siap berdialog dengan partai nonkoalisi pendukung pemerintah.
”Semangat kami ingin sama-sama gotong royong. Yang pasti, kami berkepentingan agar untuk kursi ketua diisi partai koalisi. Untuk komposisi wakil, itu bisa dibicarakan bersama secara musyawarah,” katanya.
Di internal koalisi pendukung pemerintah, kursi pimpinan MPR menjadi rebutan. Kelima partai anggota koalisi memperebutkan empat kursi pimpinan yang tersedia, karena satu kursi wakil ketua MPR akan diisi unsur DPD. Posisi ketua MPR sama-sama diincar Golkar, PKB, dan Nasdem.
Golkar menilai Golkar berhak menduduki kursi ketua sebagai partai dengan perolehan kursi kedua terbanyak di DPR. Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk F Paulus mengingatkan, hal itu sudah jadi pemahaman partai pendukung Jokowi-Amin sejak lama meski belum resmi disepakati.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PKB Jazilul Fawaid, pengisian kursi pimpinan MPR bisa dibicarakan tanpa perlu memicu kegaduhan. ”DPR kali ini jangan mengulang kejadian sebelumnya yang membuat gaduh, berebut jabatan, dan tidak efektif bekerja,” kata Jazilul.
Koalisi pendukung Jokowi- Amin juga siap bekerja sama dengan partai nonkoalisi di level pimpinan MPR. Terkait itu, Sekjen PAN Eddy Soeparno menegaskan, setelah ini, tak ada lagi polarisasi di antara partai pendukung. Semua fraksi partai akan bekerja sama untuk membentuk DPR yang berkinerja efektif.