Sekitar 150 mahasiswa menggelar unjuk rasa di kantor KPU Sumatera Barat, Padang, Sumbar, Rabu (22/5/2019). Massa yang sebagian besar merupakan anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia atau KAMMI Padang itu melancarkan sejumlah kritik, antara lain soal tindak lanjut meninggalnya ratusan penyelenggara pemilihan dan perpecahan setelah pemilu.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS -- Sekitar 150 mahasiswa menggelar unjuk rasa di kantor KPU Sumatera Barat, Padang, Sumbar, Rabu (22/5/2019). Massa yang sebagian besar merupakan anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia atau KAMMI Padang itu melancarkan sejumlah kritik, antara lain soal tindak lanjut meninggalnya ratusan penyelenggara pemilihan dan perpecahan setelah pemilu.
Massa mendatangi kantor KPU Sumbar pukul 14.27. Mereka membawa berbagai tulisan yang menunjukkan keprihatinan atas pelaksanaan Pemilu 2019. Meskipun orasi lantang disuarakan, unjuk rasa berlangsung tertib dan damai.
Selain berorasi, dalam kesempatan itu para pengunjuk rasa membacakan Surat Yasin. Pembacaan surat tersebut ditujukan kepada 600 lebih penyelenggara pemilu yang meninggal, mulai dari panitia pemilu, pengawas, hingga personel pengamanan. Di akhir aksi, massa menyerahkan bendera kuning kepada komisioner KPU Sumbar sebagai simbol keprihatinan terhadap demokrasi.
Dalam unjuk rasa, perwakilan KAMMI Padang menyampaikan sejumlah tuntutan. Inti dari tuntutan tersebut, antara lain mendeklarasikan diri sebagai oposisi setia bagi pemerintah saat ini ataupun yang berikutnya. Massa juga tidak percaya terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dalam penegakan hukum dalam kehidupan berdemokrasi.
Pengunjuk rasa menyampaikan apresiasi terhadap KPU dan Bawaslu Sumbar dalam penyelanggaran pemilu, tetapi menyatakan ketidakpercayaan kepada KPU dan Bawaslu RI. Mereka juga menyalahkan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden serta calon legislatif. Massa menuduh kubu para elit itu berlaku curang dalam pemilu dan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Selain itu, pengunjuk rasa menuntut adanya pengusutan terhadap penyelenggara pemilu yang meninggal. Negara diminta juga memberikan jaminan atas nasib keluarga korban tinggal.
Kemudian, aparat keamanan dan penegak hukum diingatkan pula untuk menjaga netralitas dan tidak bertindak sewenang-wenang dalam menghadapi masyarakat yang menyampaikan aspirasi.
Koordinator Aksi Anggi Pradana Wiranata mengklaim, massa yang berunjuk rasa tidak memihak kubu atau partai politik manapun. “Kami justru kecewa dengan kedua (kubu) paslon capres dan cawapres karena gagal menciptakan kondusifitas pasca pemilu ini. Akibatnya, terjadi pertingkaian yang menimbulkan jurang pemisah antara pendukung 01 dan 02,” katanya.
Menanggapi tuntutan massa, Komisioner KPU Sumbar Divisi Teknis, Izwaryani, mengatakan, dirinya mengapresiasi sikap KAMMI Padang yang mendeklarasikan diri sebagai oposisi setia pemerintah. Sebab, pemerintahan di negara manapun membutuhkan pengawasan dalam menjalankan tugasnya.
Sementara itu, terkait ketidakpercayaan terhadap KPU dan Bawaslu RI, Izwaryani menyatakan, KPU dan Bawaslu bertugas sesuai koridor. Apa yang dilakukan sesuai dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Jika ada kekurangan dalam UU tersebut, masyarakat bisa mengajukan amandemen.
“Saran kami, tetap jaga komunikasi baik dengan wakil rakyat yang kita pilih secara luber dan jurdil,” kata Izwaryani.
Adapun terkait tuntutan pengusutan terhadap kematian penyelenggara pemilu, Izwaryani mengatakan, sebagian besar anggota keluarga menolak visum terhadap jenazah korban. Oleh sebab itu, KPU dan Bawaslu hanya bisa memperjuangkan pemberian santunan kepada korban meninggal sebesar Rp 36 juta per orang. Proses pencairan dananya sudah mendekati final.
“Keluarga tidak ada yang mau jenazah korban divisum. Kalau ada pihak keluarga yang menuntut itu, tentu akan kami bicarakan lebih lanjut,” ujarnya.