Surplus perdagangan Jepang anjlok sekitar 90 persen pada April. Hal itu merupakan dampak tidak langsung dari pelambatan ekonomi China di tengah perang dagang AS-China.
TOKYO, RABU— Surplus perdagangan keseluruhan Jepang anjlok 90,8 persen menjadi 60,4 miliar yen atau sekitar 550 juta dollar AS secara tahunan pada April. Data Kementerian Keuangan Jepang menunjukkan bahwa penurunan tersebut jauh lebih rendah dari ekspektasi pasar, terutama disebabkan penurunan ekspor produk terkait dengan cip ke China.
Pada saat yang sama, Jepang mencatatkan kenaikan surplus perdagangan dengan AS. Hal itu terjadi selama dua bulan berturut-turut, dipimpin oleh ekspor mobil, peralatan pembuat cip, dan pesawat terbang.
Lonjakan surplus dengan AS menjadi 723,2 miliar yen (sekitar 6,5 miliar dollar AS). Lonjakan itu terjadi setelah mencatat kenaikan hampir 10 persen pada Maret, dan sebelumnya penurunan 1,6 persen pada Februari.
Di sisi lain, defisit perdagangan Jepang dengan China mencapai 318,3 miliar yen (sekitar 2,9 miliar dollar AS). Angka defisit itu adalah defisit bulanan ke-13 berturut-turut bagi Jepang. Sementara itu, terhadap Uni Eropa, Jepang
masih mencatat surplus perdagangan tetapi kenaikannya anjlok 96,7 persen, menjadi hanya 3,4 miliar yen (30 juta dollar AS).
Angka-angka terbaru itu dirilis menjelang kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Jepang akhir pekan ini untuk bertemu dengan Perdana Menteri Shinzo Abe. Mereka diharapkan fokus pada sejumlah tema pembicaraan, termasuk perdagangan.
Terkait dengan perdagangan, Donald Trump sering mengeluh, Jepang memiliki keuntungan yang dirasa tidak adil dalam perdagangan bilateral. Untuk itu, Trump pun berusaha menegosiasikan perjanjian perdagangan baru dengan Tokyo.
Pekan lalu, misalnya, Trump mengumumkan penundaan selama enam bulan dalam memberlakukan tarif atas impor mobil. Washington berusaha menekan Jepang dan Eropa agar menawar konsesi perdagangan dengan Washington. Penangguhan itu, dilihat dari sisi kemungkinan, bakal bersifat eskalatif dalam perang perdagangan yang ditabuh Trump dengan sejumlah negara.
Namun, beberapa pakar perdagangan mengatakan, itu bisa berarti Washington masih berusaha ”menyandera” industri otomotif yang notabene adalah primadona Tokyo. Hal itu masuk dalam strategi Washington dengan tujuan agar Jepang membuka pasar di sektor pertaniannya.
Pebisnis AS
Secara terpisah, jajak pendapat yang digelar Kamar Dagang AS di China baru-baru ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku bisnis AS di China mengalami tekanan secara bisnis akibat perang dagang AS- China. Kondisi yang tertekan memaksa beberapa perusahaan pindah ke luar China atau merestrukturisasi bisnis mereka. China dan AS sejauh ini telah berperang tarif senilai 360 miliar dollar AS dalam perdagangan dua arah.
Jajak pendapat yang digelar di Shanghai itu memberikan gambaran suram tentang lingkungan bisnis bagi perusahaan- perusahaan AS di China. Tiga perempat dari 250 responden mengatakan, kenaikan tarif AS dan China berdampak negatif. Pesanan mereka pun anjlok karena kenaikan biaya produksi dan harga.
Hampir separuh responden mengatakan telah mengalami tindakan pembalasan non-tarif di China sejak tahun lalu. Sementara seperlima di antaranya melaporkan peningkatan inspeksi dan barang-barang mereka tertahan lebih lama di bea dan cukai. Sebanyak 14 persen responden mengeluhkan aneka masalah lain, termasuk peningkatan pengawasan dan pengawasan regulasi.