Gencatan senjata diperlukan antara aparat keamanan dan kelompok masyarakat yang bertikai di Papua untuk mewujudkan perdamaian. Dengan begitu, dialog dapat dilakukan guna mencari jalan tengah untuk kepentingan masyarakat banyak.
Oleh
FABIO COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Gencatan senjata diperlukan antara aparat keamanan dan kelompok masyarakat yang bertikai di Papua untuk mewujudkan perdamaian. Dengan begitu, dialog dapat dilakukan guna mencari jalan tengah untuk kepentingan masyarakat luas.
Demikian disampaikan anggota Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, di sela-sela seminar bertajuk ”JDP, Respon Pemerintah dan Masa Depan Dialog bagi Tanah Papua” di Jayapura, Kamis (23/5/2019).
Kegiatan yang diselenggarakan Jaringan Damai Papua (JDP) ini juga untuk memperingati 40 hari meninggalnya Pastor Neles Tebay, selaku koordinator JDP.
Pelaksanaan gencatan senjata harus terlebih dulu diprioritaskan agar dialog bersama di antara kedua pihak berjalan lancar.
Adriana mengatakan, pelaksanaan gencatan senjata harus terlebih dulu diprioritaskan agar dialog bersama di antara kedua pihak berjalan lancar. Menurut dia, gencatan senjata difokuskan di daerah-daerah sumber kekerasan di Papua, seperti sejumlah daerah di kawasan pegunungan tengah Papua, semisal Nduga.
”Setelah ada kesepakatan bersama untuk menghentikan aksi kekerasan, barulah dialog antara pemerintah dan kelompok tersebut bisa terealisasi,” kata wanita yang juga menjabat koordinator JDP di Jakarta ini.
Ia menambahkan, selama ini penyelesaian masalah terkesan hanya saat terjadi konflik kekerasan. Padahal, dialog dapat menuntaskan akar penyebab masalah kekerasan di Papua secara komprehensif.
Dari kajian LIPI diketahui, sejumlah faktor penyebab kekerasan di Papua adalah masalah kemiskinan, persoalan marjinalisasi, perbedaan ideologi, dan minimnya akses layanan publik.
Sejumlah faktor penyebab kekerasan di Papua adalah masalah kemiskinan, persoalan marjinalisasi, perbedaan ideologi, dan minimnya akses layanan publik.
”Penanganan masalah-masalah harus dituntaskan semua sebab itu semua saling berkaitan. Satu-satunya dengan melakukan komunikasi bersama sehingga sakit ditemukan sebuah solusi yang efektif,” ujarnya.
Ia menambahkan, JDP bersama pemerintah pusat berencana menggelar dialog untuk membicarakan solusi mengadakan masalah kekerasan di Papua pada tahun ini.
Deputi JDP Daniel Randongkir mengatakan, pihaknya sudah siap menggelar dialog di antara kedua pihak tahun ini. Itu karena dialog menjadi kebutuhan warga Papua yang ingin merasakan kehidupan yang damai.
”JDP akan menempatkan diri sebagai pihak yang netral dalam pelaksanaan dialog damai sebab kami berperan sebagai fasilitator,” ujar Daniel.
Dialog menjadi kebutuhan warga Papua yang ingin merasakan kehidupan yang damai.
Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Mustofa Kamal mengatakan, pihaknya siap mendukung pelaksanaan dialog demi terciptanya Papua yang aman. ”Dengan komunikasi yang terbuka di antara kedua belah pihak, bisa hadir solusi bersama untuk mengatasi masalah kekerasan di Papua,” kata Ahmad.
Kepolisian Daerah Papua mencatat, sepanjang 2008 hingga 2018, total 30 anggota polisi tewas dan 59 anggota polisi cedera akibat serangan dari kelompok kriminal bersenjata. Sementara warga sipil yang tewas ditembak kelompok kriminal bersenjata di daerah pegunungan tengah Papua, seperti Puncak, Puncak Jaya, Nduga, dan Lanny Jaya, sebanyak 96 orang dan 117 orang lainnya luka luka.