Greta Thunberg Menyelamatkan Rumah yang Terbakar
Tanggal 15 Maret 2019. Di seluruh pelosok dunia. Sekitar 1,6 juta pelajar mogok sekolah pada hari Jumat. Aksi tersebut kini menjadi sebuah gerakan global. Mereka melakukan mogok sekolah untuk iklim. Sebagian besar adalah pelajar. Mereka melakukan protes, mendorong para pembuat kebijakan berbuat sesuatu untuk mengatasi perubahan iklim.
Sejak itu, tagar #FridaysForFuture dan #YouthStrike4Climate mempersatukan para pelajar di seluruh dunia. ”Isu (perubahan iklim) ini sarat dengan ketidakadilan antargenerasi,” ujar Anna Taylor (18), seorang penggerak aksi di London, Inggris, Maret lalu.
Di Jakarta pun, puluhan pelajar melakukan aksi yang sama pada hari itu. Pengikutnya di Instagram telah lebih dari 1,6 juta. Mendorong pelajar segenerasinya, dia menggunakan media sosial dengan berbagi foto dan pemikiran. Semua terjadi karena aksi Greta Thunberg (16).
Greta Thunberg bukan lagi sosok yang sama seperti sebelum Maret lalu. Dia bertransformasi, bermetamoforsis dari ulat menjadi kupu-kupu. Greta Thunberg yang pendiam, tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun di kelas, menjadi seseorang yang suaranya didengarkan di mana-mana: di parlemen Inggris, di depan anggota PBB peserta konferensi iklim global, di hadapan forum pertemuan ekonomi yang dihadiri pengusaha dan ekonomi dunia. Thunberg juga berbicara dengan Paus, Barack Obama, dan banyak politikus penting lain.
Dia menyentil keras para pembuat kebijakan, politisi, dan pemimpin dunia dengan keterbukaan dan keterusterangan. Dia langsung menohok, memojokkan para pendengarnya untuk memandang tepat pada realitas buruk perubahan iklim. Dia tak segan-segan menegur mereka.
Di depan anggota dan penasihat parlemen Inggris, dia dengan lantang beretorika, ”Bisakah Anda mendengarkan saya? ….Inggris saya benar? Mikrofonnya hidup? Saya mulai bingung...,” seru Thunberg di depan anggota parlemen untuk merebut perhatian mereka.
Thunberg menggedor mereka tentang bencana katastropik yang bakal memusnahkan kehidupan. Bencana yang bakal dia tanggung bersama saudara segenerasinya. Dia menuding, ”Kalian tidak bertindak pada saat yang tepat.” Thunberg bisa jadi meradang.
Saat menerima cuitan pujian dari Barack Obama, Thunberg menjawab. ”Saya yakin jika kita berperilaku seakan-akan kita sedang dalam krisis eksistensial (eksistensi akan punah), kita akan mampu menghindari kehancuran iklim dan ekologi.” ”Namun, peluang untuk melakukan itu tidak panjang waktunya. Kita harus mulai sekarang,” ujarnya.
Di luar ketenaran dan sosoknya yang inspiratif, Thunberg mendapat kecaman dari kelompok penyangkal iklim (climate deniers) dan politikus sayap kanan menyebut dia ”boneka hubungan masyarakat”—yang dibayar oleh para miliarder untuk menyebarkan pesan dari kaum ”liberal kiri”. Belum lagi penampilan kaku dan suara yang monoton datar pun menjadi sasaran kritik. ”Mereka tidak memiliki substansi untuk beradu argumentasi dengan saya,” ujarnya enteng.
Kegundahan
Thunberg sebelumnya adalah siswa pendiam, tak punya teman. Kegiatannya hanya bersekolah dari pagi sampai sore. ”Saya selalu duduk di belakang dan tidak berbicara sepatah pun. Saya, saya tidak bisa melakukan perubahan karena saya kecil,” ujarnya.
Tak terbayangkan dia kini bisa menggerakkan jutaan orang pelajar dari seluruh pelosok dunia. Mengajak teman sekelas pun dia tak bisa. Dia divonis menderita Asperger—masuk dalam spektrum gangguan autism.
Semua berawal di usia delapan tahun saat pertama mengenal apa itu perubahan iklim. Gurunya memutar film tentang sampah plastik di lautan, beruang kutub yang kelaparan, dan sebagainya. ”Saya menangis sepanjang pemutaran film. Teman-teman sekelas prihatin saat menonton itu. Namun, saat sudah selesai, mereka bisa memikirkan hal lain. Saya tidak bisa seperti itu. Gambar-gambar itu terus tertanam di kepala saya,” ungkapnya.
Dia demikian terguncang dan heran mengapa orang dewasa tidak memandang isu sebagai sesuatu yang serius. Sementara teman-temannya bisa melupakan hal-hal itu. Bagi Thunberg, pengetahuan itu amat memengaruhinya hingga dia menderita depresi.
”Saya terus berpikir dan saya berpikir apakah saya memiliki masa depan. Saya banyak berbicara dengan diri sendiri. Saya menjadi depresi dan tidak mau masuk sekolah. Buat apa sekolah kalau tidak ada masa depan,” tutur Thunberg.
Dia mulai terbuka kepada orangtuanya. Semua kekhawatirannya dia ungkapkan. Dia pun mulai menunjukkan semua gambar, cerita, dan film tentang perubahan iklim hingga orangtuanya mengerti. ”Saya mulai menyadari bahwa saya bisa membuat suatu perubahan,” katanya.
Setelah mengatasi depresinya dan menyadari bahwa dia harus berbuat sesuatu untuk membuat perubahan, Thunberg memutuskan mogok sekolah dan berdiri di luar Gedung parlemen Swedia pada Agustus 2018 untuk menyatakan keprihatinannya soal perubahan iklim. Untuk sampai pada keputusan tersebut, dia terinspirasi oleh para penyintas penembakan massal di gedung sekolah di Parkland, Florida, pada Februari 2018. Siswa sekolah tersebut melakukan aksi protes kepada Pemerintah Amerika Serikat tentang regulasi terkait senjata api. Orangtuanya tak bisa mencegah. Rekan sekelasnya menolak bergabung.
Maka, sosok berperawakan kecil yang memelas itu berdiri di depan Gedung Parlemen Swiss dengan memegang banner bertuliskan tangan ”skolstrejk för klimatet” (mogok sekolah untuk iklim). Sebuah tulisan yang kemudian ditiru oleh jutaan pengikutnya di seluruh dunia. Para pejalan kaki melihatnya dengan pandangan kasihan kepada anak perempuan kecil yang berdiri sendirian di depan bangunan angkuh Gedung Parlemen Swiss tersebut.
Namun, delapan bulan kemudian, Thunberg tak lagi pernah kesepian. Dia disibukkan dengan perjalanan ke sejumlah negara dan berbicara dengan berbagai kelompok, terutama para pemimpin dunia para pembuat kebijakan.
Sejalan dengan perjuangannya menyadarkan tanggung jawab moral para pembuat kebijakan, dia menolak bepergian menggunakan pesawat terbang. Dia menolak mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah besar. Karena pengaruh Greta, keluarga Thunberg sebisa mungkin tidak bepergian dengan pesawat terbang dan tidak mengonsumsi daging. Sang ayah terus disodori dokumentasi tentang perubahan iklim hingga mengerti tentang apa itu perubahan iklim.
Apa yang dilakukan Thunberg telah bergaung di Jerman dan Swedia. Muncul ”efek Greta” (Gretta Effect), yaitu terjadinya peningkatan jumlah penumpang kereta api, sementara jumlah penumpang pesawat menurun. Muncul sebuah pandangan, ”terbang itu memalukan”.
Itulah sosok Thunberg. Berbeda dengan kebanyakan orang yang merasa tidak puas akan sesuatu, dia tidak diam saja, tetapi terus memikirkannya secara mendalam dan mengambil keputusan untuk beraksi. ”Mereka bisa membiarkan sesuatu berlalu begitu saja. Saya tidak,” ujar Thunberg tegas. Dan di sinilah dia sekarang. Dia berjuang merebut masa depan. Berupaya menegakkan keadilan antargenerasi sebagai jaminan masa depan.
Dia menolak narasi kaum tua yang ”memberi harapan pada generasi mendatang”. Bagi dia, generasi tua harus turut merasakan ”kepanikan dan rasa takut generasi muda dan harus segera bertindak cepat seperti ketika terjadi kebakaran rumah”. Thunberg kini sedang sibuk, berusaha keras menyelamatkan bumi, rumah kita, yang terbakar.
Greta Thunberg
Lahir: 3 Januari 2003
Ayah: Svante Thunberg, seorang aktor dan pengarang (nama Svante diambil dari Svante Arrhenius, pemenang Noble tahun 1896 karena menghitung efek rumah kaca dari emisi gas karbondioksida (CO2)
Ibu: Malena Ernman, seorang penyanyi opera tenar Swedia
Saudara: Beata Thunberg