Kerugian Ekonomi akibat Kerusuhan Diprediksi Rp 1,5 Triliun
Kerusuhan di depan Gedung Bawaslu, di Jalan MH Thamrin, Jakarta, selama Selasa dan Rabu kemarin telah melumpuhkan sebagian besar perekonomian Jakarta. Kerugiannya diprediksi Rp 1 triliun hingga Rp 1,5 triliun.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerusuhan di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu, Jalan MH Thamrin, Jakarta, selama Selasa dan Rabu kemarin telah melumpuhkan sebagian besar perekonomian Jakarta. Kerugiannya diprediksi Rp 1 triliun hingga Rp 1,5 triliun.
Perkiraan nilai kerugian itu diungkapkan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang, Kamis (23/5/2019). ”Ibu Kota yang tidak kondusif sangat berdampak pada aktivitas bisnis dan perdagangan di DKI Jakarta,” ujarnya.
Kerugian itu dihitung dari tidak berjalannya aktivitas di sejumlah pusat perputaran ekonomi di sekitar Jalan MH Thamrin, tempat kerusuhan terjadi. Pusat perputaran ekonomi itu antara lain Pasar Tanah Abang, Thamrin City Mall, Grand Indonesia, dan Plaza Indonesia.
Pusat perputaran ekonomi lainnya seperti juga hanya beroperasi hingga pukul 14.00. Daerah itu antara lain Glodok City, Pasar HWI, Glodok Jaya, Glodok Mangga Besar, WTC Mangga Dua, ITC Harco Mas, Mangga Dua Mall, Plaza Harco Electronic, Mangga Dua Square, Electronic City, dan ITC Mangga Dua.
Tidak hanya itu, hotel-hotel di sekitar Jalan Sudirman-Thamrin juga kehilangan tamunya.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, tutupnya Pasar Tanah Abang sejak Selasa membuat pedagang kehilangan potensi pendapatan hingga Rp 360 miliar.
"Pasar Tanah Abang adalah pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara, ada ribuan pedagang di sana dan salah satu penggerak roda ekonomi Ibu Kota. Ketika tidak buka, ini juga memperlambat roda ekonomi Jakarta,” ujar Ade.
Tutupnya Pasar Tanah Abang juga berdampak ke daerah lain. Gudang-gudang pabrik tekstil di sekitar Bandung, Purwakarta, dan Tasikmalaya penuh barang. Distribusi barang ke Pasar Tanah Abang tidak berjalan sehingga barang menumpuk di gudang.
”Ini mengganggu arus kas perusahaan. Padahal, perencanaan kas itu salah satu kunci penting mengelola keuangan perusahaan,” lanjut Ade.
Artinya, lanjut Ade, tutupnya Pasar Tanah Abang juga mengganggu arus distribusi barang. Sebab, banyak pedagang tengkulak yang membeli barang dagangan dari Pasar Tanah Abang.
Ade dan Sarman pun menyesalkan kerusuhan terjadi pada bulan Ramadhan. Ramadhan cukup diandalkan pedagang dan penyedia jasa transportasi di kawasan Tanah Abang karena belanja masyarakat meningkat dibandingkan dengan bulan-bulan biasa.
”Padahal, di bulan Ramadhan seperti ini, pusat perdagangan seperti Tanah Abang pengunjungnya naik seratus persen dan banyak pembeli dari daerah yang memborong barang secara grosiran,” ujar Sarman.
Pada Kamis siang, Pasar Blok A, B, C, dan G masih tutup. Pintu masuk utama pasar-pasar itu ditutup dengan terali besi. Anggota satuan polisi pamong praja bersiaga di sekitar pasar-pasar tersebut.
Namun, beberapa pedagang sudah mulai membuka toko dan lapaknya. Mereka tersebar di depan Pasar Blok B, Jembatan Multiguna, dan di depan Stasiun Tanah Abang.
Abdulah (45), pedagang daster di depan Pasar Blok B, mengatakan, dirinya tetap membuka lapak karena harus mendapatkan uang untuk anak dan istrinya. Selama dua hari tidak berdagang, dia kehilangan pendapatan Rp 3 juta-Rp 4 juta.
”Kalau tidak buka lapak, mau dapat uang dari mana lagi?” ujar Abdulah.
Abdulah merasakan sendiri anjloknya omzet akibat sepinya pengunjung di Pasar Tanah Abang. Hari ini sejak dirinya membuka lapaknya pada pukul 08.00, daster dagangannya baru laku dua potong atau setara dengan Rp 100.000. Omzetnya pada hari itu jauh merosot dari hari biasanya.
”Sepi. Pengunjung juga masih waswas datang ke sini,” ujar Abdulah.
Padahal, biasanya omzetnya mencapai Rp 1 juta dari menjual 20-40 potong daster dan kaos oblong yang dijual dengan harga Rp 25.000-Rp 50.000. Apalagi saat bulan puasa seperti ini, omzetnya biasanya meningkat menjadi Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per hari.
”Makanya saya kesal karena kerusuhan ini, saya dua hari tidak dagang. Padahal, bulan Ramadhan seperti ini justru banyak yang belanja di Tanah Abang membeli baju lebaran,” lanjutnya.
Kehilangan pendapatan juga dialami Abdul (49), tukang ojek di Tanah Abang. Biasanya dalam sehari dia bisa mendapatkan pendapatan Rp 100.000 hingga Rp 200.000, dan itu umumnya mengantarkan penumpang dari Stasiun Karet ke Pasar Tanah Abang.
”Tapi hari ini saya baru dapat Rp 15.000. Satu penumpang saja,” ujar Abdul.