Makna Hilangnya Sejuta Spesies bagi Manusia
Setiap organisme terhubung satu sama lain dalam jejaring kehidupan sehingga hilangnya satu spesies pasti bakal memengaruhi keseimbangan ekosistem. Ancaman kepunahan satu juta spesies flora dan fauna akibat ulah manusia menjadi alarm bagi kehidupan seluruh makhluk hidup di Bumi, termasuk kita.
Jejaring ekosistem yang saling terhubung tersebut tergambar jelas dari penelitian tentang peran pentingnya kotoran kuda nil bagi ekosistem di Sungai Mara, Kenya, yang dipublikasikan di jurnal Science Advances awal bulan ini. Kajian biolog Jonas Schoelynck dari Universitas Antwerp ini menyebutkan, tiap hari seekor kuda nil mengonsumsi 800 kilogram silikon dari rerumputan yang dimakannya dan kemudian didistribusikan ke perairan.
Silikon dikeluarkan kuda nil ke Sungai Mara melalui kebiasaan buang hajat fauna ini sambil berendam. Tiap ekor kuda nil bisa mengeluarkan sekitar 0,4 metrik ton silikon dan berkontribusi terhadap 76 persen total silikon di sungai. Mineral ini sangat dibutuhkan diatom, sejenis ganggang, yang menjadi dasar ekosistem perairan.
Tak ada yang sia-sia, bahkan kotoran kuda nil. ”Setiap spesies di alam memiliki fungsi dan saling berkaitan di ekosistem,” kata Prof Rosichon Ubaidillah, ahli serangga dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Setiap spesies di alam memiliki fungsi dan saling berkaitan di ekosistem.
Penelitian ilmiah pertama yang menyingkap interaksi hewan-tumbuhan telah dilakukan botanis Jerman, Joseph Gottlieb Kölreuter, sekitar 1760, dengan dokumentasinya tentang penyerbukan serangga. Interaksi hewan-tumbuhan juga disebutkan Charles Darwin, seratus tahun kemudian, dalam buku monumentalnya On the Origin of Species.
Darwin menunjukkan, tumbuhan dan hewan saling terkait dan membentuk jaringan yang kompleks. Interaksi hewan-tanaman yang merupakan mutualisme antarspesies bisa berupa penyerbukan, penyebaran benih, hingga mutualisme untuk saling melindungi.
Contoh dari relasi mutualisme ini ditunjukkan dalam riset ekolog dari Universitas Florida, Todd Palmer, dalam jurnal Science tahun 2008. Suatu ketika, Palmer melewati sebuah situs penelitian berpagar di Kenya ketika dia melihat sesuatu yang aneh: pohon akasia yang semestinya tumbuh subur karena dilindungi dari pemakan daun, yaitu gajah dan jerapah, ternyata layu dan sekarat.
Seperti diketahui, akasia dan spesies semut biasanya hidup bersama. Semut bersarang di duri pohon dan menyesap nektarnya. Sebagai imbalan, mereka dengan ganas siap menggigit para pemakan daun.
Namun, setelah dua tahun akasia itu terlindungi pagar, produksi nektarnya terhenti. Semut-semut pun pergi dan mencari akasia lain di luar pagar. Meski selamat dari kawanan gajah dan jerapah, muncul ancaman lain, yaitu kumbang kayu yang bersarang di batang akasia itu sehingga menyebabkannya sekarat.
Ledakan populasi
Di satu sisi, punahnya satu spesies juga bisa memicu ledakan populasi tertentu. Contohnya, ledakan hama wereng coklat pada tanaman padi yang dipicu berkurangnya laba-laba serigala (Lycosa pseudoanulata) sebagai predator alaminya. ”Ledakan populasi tomcat, laron, dan ulat bulu yang beberapa kali terjadi di daerah menandai musuh alaminya hilang,” kata Rosichon.
Selama jutaan tahun, relasi antarspesies ini menjadi kunci kehidupan di Bumi. Misalnya, kemunculan lebah pertama 130 juta tahun lalu, diikuti dengan keberadaan flora berbunga. Serangga ini merupakan kunci regenerasi beragam jenis tanaman dengan menyebarkan serbuk sari, dan secara alami kerap kali membantu terjadinya kawin silang sehingga menghasilkan spesies baru. Jadi, lebah tak hanya membantu bunga bermekaran, tetapi juga elemen penting bagi keberagaman tanaman.
Relasi alami antarorganisme di alam ini berubah sejak Revolusi Pertanian sekitar 12.000 tahun lalu. Jika sebelumnya manusia hanya memakan yang disediakan alam dengan berburu dan meramu, semenjak Revolusi Pertanian, manusia mulai membudidayakan tanaman dan membiakkan binatang tertentu serta menyingkirkan yang lain.
Sebagai contoh, tanaman gandum (Triticum spp) sebelum 9.000 tahun lalu hanyalah rumput liar, satu di antara sekian banyak jenis, yang tumbuh terbatas di Timur Tengah. Mendadak, tanaman ini ditumbuhkan nyaris di seluruh penjuru dunia. Menurut kriteria evolusi dasar, gandum menjadi tanaman paling berhasil dalam riwayat Bumi (Harari, 2011). Kini gandum menjadi sumber pangan manusia paling utama secara global dengan total produksi per tahun mencapai 7,49 juta ton (FAO, 2018).
Perubahan ekosistem paling signifikan terjadi dalam satu abad terakhir, terutama setelah terjadi Revolusi Hijau, yang awalnya dipelopori agronomis Amerika, Norman Borlaug, pada tahun 1950-an. Revolusi Hijau ini diterapkan secara masif pada era Orde Baru melalui Pancausaha Tani, yang meliputi penggunaan benih unggul, pemupukan kimia, irigasi yang baik, proteksi tanaman terutama dengan pestisida, dan mekanisasi pertanian.
Sekalipun dianggap berhasil meningkatkan produksi makanan, Revolusi Hijau memicu persoalan lingkungan dan dominasi korporasi di sektor pertanian. Laporan Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES)-Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diluncurkan pada 6 Mei 2019, menyebutkan, kegiatan pertanian menjadi penyumbang terbesar degradasi lingkungan dan ancaman kepunahan satu juta spesies flora dan fauna.
Dampak buruk sektor pertanian terhadap ekosistem bukan hanya karena penguasaannya terhadap 33 persen lahan di Bumi dan 75 persen sumber daya air tawar. Namun, pertanian modern telah menyeragamkan produksi dengan benih unggul dan mengeliminasi benih lokal.
Kajian Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang dirilis Februari 2019 lalu menemukan, merosotnya keberagaman spesies telah mengancam ketersediaan pangan global. Misalnya, hilangnya lebah penyerbuk bisa menurunkan produksi pertanian hingga 75 persen. Kita tidak akan lagi bisa memanen kopi, apel, tomat, dan beragam sumber pangan lain.
Di Indonesia, sebelum Revolusi Hijau terdapat lebih kurang 8.000 jenis bibit padi lokal, tetapi kini tinggal sekitar 25 jenis bibit padi lokal yang masih tersisa di petani. Padahal, menurut Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementerian Pertanian Mastur, setiap tanaman pangan memiliki karakteristik yang berbeda karena beradaptasi dengan kondisi yang beragam.
Ada tanaman pangan yang tahan di lahan marjinal dan gambut, misalnya sagu. Juga ada yang tahan kering, seperti sorgum. Bahkan, dalam satu spesies bisa memiliki karakter sendiri. Misalnya, ada tanaman padi yang tahan penyakit blas, wereng, kondisi tanah asam, hingga tanah kering.
Keragaman sumber daya genetik ini menjadi kunci ketahanan pangan kita dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan. Untuk bertahan di Bumi ini, manusia tidak bisa hidup sendirian. Keragaman hayati merupakan penopang fondasi kehidupan.