Energi massa yang demonstrasi di sekitar Kantor Badan Pengawas Pemilu di Jakarta seakan tidak ada habis-habisnya. Dari Selasa (21/5/2019) pagi hingga Rabu (22/5/2019) pagi. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, bagaimana ini bisa terjadi ?
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·5 menit baca
Energi massa yang demonstrasi di sekitar kantor Badan Pengawas Pemilu di Jakarta seakan tidak ada habis-habisnya. Dari Selasa (21/5/2019) pagi hingga Rabu (22/5/2019) pagi. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, bagaimana ini bisa terjadi?
Tidak ada jawaban yang jelas dari pertanyaan itu. Penulis mencoba menelusuri potongan-potongan fakta menarik. Sepanjang siang, sore, malam, hingga dini hari, ada perbedaan massa yang bentrok dengan aparat kepolisian pada malam hari. Ada dugaan kuat, perusuh membaur dengan demonstran sehingga seakan-akan mereka adalah kelompok yang sama.
Rabu siang, perlahan massa mulai berkumpul di depan Gedung Bawaslu. Ada yang datang dari utara lewat Jalan MH Thamrin, ada juga yang datang dari arah barat melalui Jalan KH Wahid Hasyim. Mereka kemudian menggelar tikar atau menggelar kardus agar bisa duduk-duduk di jalanan.
Menjelang petang, massa terus berdatangan dan memakin memadati Gedung Bawaslu dan simpang jalan Gedung Sarinah. Dari depan Gedung Sarinah ke arah selatan ditutup oleh barikade polisi dari Korps Brimob.
Massa yang terdiri dari laki-laki dan perempuan itu mengular hingga sekitar perempatan Jalan Kebon Sirih. Banyak pula massa yang memenuhi pelataran parkir Gedung Sarinah dan Gedung Jakarta Theater.
Sambil duduk-duduk di jalan, mereka mendengarkan orasi dari para pembicara antara lain Neno Warisman, Fadli Zon, dan Amien Rais. Mereka bernyanyi yel-yel dan bersorak menjawab ajakan dari para orator. Namun, tidak sedikit juga mereka yang sekadar duduk-duduk meluruskan kaki bahkan tertidur.
”Capai. Sudah bangun dari sahur,” ujar Badrun (53), salah satu peserta unjuk rasa yang sempat memejamkan matanya.
Menjelang matahari terbenam, massa kembali bersemangat. Sebab, tiba waktunya berbuka puasa. Banyak dari mereka saling membagikan nasi bungkus dan air minum dalam kemasan kepada sesama peserta aksi unjuk rasa. Mereka berbuka puasa dalam kegembiraan dan canda tawa kebersamaan.
Para orator yang bergantian berbicara dengan megafon berulang kali mengingatkan agar massa segera pulang dan beristirahat. Massa juga diminta menjaga kebersihan dan ketertiban.
Sejak sekitar pukul 18.00, massa berangsur meninggalkan depan Bawaslu. Sebagian besar mereka berjalan ke arah utara. Di Jalan Kebon Sirih depan kantor Bank Indonesia, deretan bus terparkir di pinggir Sungai Saluran Cideng. Banyak dari mereka yang kemudian menumpang bus yang meninggalkan lokasi.
Mendadak bentrok
Unjuk rasa yang kelihatannya bakal berakhir dengan tertib itu tiba-tiba berubah menjadi bentrok. Sekitar pukul 19.00, dari kerumuman massa itu tiba-tiba saja banyak botol minum air dalam kemasan dan batu dilemparkan ke arah kepolisian yang berjaga di depan Gedung Bawaslu.
Tidak hanya itu, entah sejak kapan, massa meledakkan petasan dan mengarahkannya ke arah polisi. Bentrok pun pecah.
Sementara itu, di Jalan Kebon Sirih, satu per satu bus yang telah mengangkut peserta unjuk rasa mulai jalan. Namun, jumlah massa yang bentrok seakan tidak berkurang. Massa tambahan itu terlihat datang dari arah Jalan KH Wahid Hasyim. Mereka tiba berkelompok dengan menumpang angkot yang berhenti di kolong Pasar Blok A Tanah Abang.
Turun dari angkot itu sekitar 10 laki-laki dewasa sambil mengenakan baju koko, peci, dan sarung. Beberapa di antara mengenakan jins dan kaus bergambar huruf arab sambil mengenakan kain penutup muka. Mereka turun dari angkot berjalan kaki menuju Gedung Bawaslu sambil membawa tongkat dan benda tumpul lainnya.
Selang 15-30 menit kemudian, tiba angkot lainnya yang berhenti di kolong Pasar Blok A Tanah Abang. Serupa dengan angkot sebelumnya, turun sekitar 10 orang sambil membawa tongkat dan berjalan kaki ke arah Gedung Bawaslu.
Menurut pakar psikologi massa, Gustave Le Bon, dalam bukunya yang berjudul The Crowd, kerumunan massa itu seakan anonim dan tersamar satu dengan yang lain. Hilang sudah jati diri dan identitas yang melekat dalam individu. Akumulasi kondisi lapangan menyebabkan hilangnya rasionalitas dan mendorong massa melakukan kekerasan kolektif.
Tindakan hukum
Senada dengan temuan lapangan Kompas, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengemukakan, memang ada kelompok yang sengaja datang untuk merusuh.
”Itu (perusuh) bukan peserta aksi di Bawaslu, tapi kelompok yang sengaja membuat kerusuhan,” ujar Tito dalam jumpa pers di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Menko Polhukam Wiranto mengatakan, perusuh itu bukan peserta demo, melainkan preman yang dibayar untuk dengan sengaja membuat kerusuhan.
Polda Metro Jaya hingga Rabu malam telah menangkap 257 orang yang diduga menjadi provokator bentrokan massa dengan aparat keamanan. Mereka ditangkap di tiga lokasi, yaitu depan Gedung Bawaslu (72 orang), Petamburan (156 orang), dan Gambir (29 orang).
Para provokator itu ditetapkan sebagai tersangka dan kemungkinan jumlah yang ditangkap bisa bertambah. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menuturkan, tersangka di depan Gedung Bawaslu ditangkap karena melawan petugas dan memaksa masuk. Tersangka di Petamburan diringkus karena membakar mobil dan menyerang Asrama Brimob. Adapun tersangka di Gambir ditangkap karena menyerang Markas Polsek Gambir.
Menurut Argo, kerusuhan di ketiga lokasi tersebut telah diatur, direncanakan, dan dibiayai. Polisi masih menyelidiki pihak yang mengatur dan membiayai kerusuhan tersebut.
Argo menuturkan, di Petamburan, polisi menemukan uang di dalam amplop bertuliskan nama-nama orang yang di dalamnya terdapat uang Rp 200.000 sampai Rp 500.000. Polisi juga menemukan uang Rp 5 juta dan uang 2.470 dollar AS yang disebut sebagai uang operasional.
Selain itu, polisi mengungkap fakta bahwa ada benda-benda untuk menyerang petugas, seperti batu sudah disiapkan di pinggir jalan di Petamburan. Di Petamburan juga ditemukan celurit, anak panah, dan bom molotov.
Dihubungi terpisah, pengamat hukum Asep Iwan Iriawan mengatakan, para perusuh itu melanggar Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Pelanggaran Ketertiban Umum.
Ia juga meminta aparat keamanan untuk terus mengusut dan menyelidiki siapa dalang dan aktor intelektual yang menggerakkan perusuh. ”Ini bukan soal politis, melainkan pidana. Mau sedang pascapemilu atau tidak, para perusuh dan pelanggar ketertiban umum harus ditindak secara hukum,” ujar Asep.