Menakar Kualitas Lingkungan Jakarta Tanpa Predikat Ibu Kota
Banyak sedikitnya penduduk pada suatu wilayah menjadi faktor utama pengaruh tekanan pada lingkungan. Semakin padat penduduk, maka tekanan terhadap lingkungan akan semakin besar yang akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.
Semakin banyak jumlah penduduk, yang diikuti dengan berbagai aktivitas sosial ekonomi, menciptakan beragam fungsi lahan, antara lain permukiman, industri, perdagangan, dan perkantoran, yang membutuhkan ketersediaan lahan.
Lahan di Jakarta sudah semakin padat dan hampir terlampaui. Pasalnya, dengan luas 662,33 kilometer persegi (km2), ibu kota Indonesia ini dihuni 10.466 ribu jiwa (BPS, 2018). Kepadatan penduduknya mencapai 15.804 jiwa per km2.
Namun, dengan kepindahan 1,5 juta orang, penduduk Jakarta berkurang menjadi sekitar 8,9 juta jiwa. Kepadatan penduduknya berkurang menjadi 13.527 jiwa per km2. Angka itu lebih kurang sama dengan kepadatan penduduk Jakarta tahun 2008 (13.809 jiwa per km2).
Masalahnya, persebaran penduduk Jakarta tidak merata. Data BPS menunjukkan, kepadatan tertinggi terjadi di Jakarta Barat dengan 19.757 jiwa per km2 dan Jakarta Pusat dengan 19.212 jiwa per km2. Apakah aparatur sipil negara (ASN) dan keluarganya yang akan dipindah tinggal di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat? Tidak bisa dipastikan.
Jadi, meski di atas kertas kepadatan penduduk berkurang, hal itu tidak terlalu signifikan untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jakarta yang tidak merata. Apalagi jika berkembangnya Jakarta sebagai pusat ekonomi akan memicu migrasi penduduk ke Jakarta. Bisa jadi pendatang yang masuk akan lebih banyak dibandingkan ASN pemerintah pusat yang keluar.
Lingkungan
Bagaimana dampak pada kebutuhan air dan sampah yang dihasilkan? Menurut Standar Kementerian Pekerjaan Umum, setiap hari setiap orang menghasilkan sampah 0,4 kilogram. Kepindahan 1,5 juta penduduk, di atas kertas, sampah akan berkurang 600.000 kg per hari atau 600 ton per hari.
Namun, berkurangnya volume sampah tersebut hanya mengurangi volume sampah 6.400 ton dari 7.000 ton yang setiap hari dihasilkan warga Jakarta. Sampah tetap akan membebani TPST Bantargebang. Kecuali ada langkah besar untuk melakukan pemilahan sampah organik dan anorganik sehingga hanya tersisa sampah anorganik yang ditumpuk di pengolahan akhir Bantargebang.
Sampai saat ini, sampah yang mengalir ke Bantargebang berkisar 6.500 hingga 7.000 ton. Hal itu berarti, belum ada upaya pengolahan sampah signifikan dari masyarakat untuk mengurangi beban sampah yang masuk ke Bantargebang.
Ketersediaan air yang masih defisit juga menjadi persoalan bagi Jakarta. Catatan PAM Jaya pada 2015 menunjukkan, dengan 10,6 juta jiwa, dibutuhkan 29.474 liter per detik. Padahal, kapasitas produksi air hanya 17.875 liter per detik. Hasilnya, Jakarta masih kekurangan air sekitar 10.099 liter per detik.
Jika 1,5 juta penduduk pindah, hanya akan mengurangi kebutuhan air menjadi 18.807 liter per detik. Namun, berkurangnya kebutuhan air tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas produksi air. Bahkan, diprediksi oleh PAM Jaya, tahun 2030, kapasitas produksi akan berkurang menjadi 16.500 liter per detik.
Berkurangnya jumlah penduduk tidak akan membuat Jakarta surplus air. Peningkatan kapasitas produksi air perpipaan yang selama ini mengandalkan dari sumber air permukaan Waduk Jatiluhur dan Sungai Cisadane tersebut harus dilakukan. Pasalnya, penduduk mulai beralih menggunakan air tanah sebagai sumber air baku sehari-hari.
Banjir
Bagaimana dengan ancaman banjir? Penyebab banjir di Jakarta menurut Kementerian Pekerjaan Umum adalah faktor alam dan manusia. Faktor alam antara lain topografi Jakarta, curam di wilayah hulu dan datar di hilir, 60 persen wilayah Jakarta di bagian utara ada di bawah permukaan laut, dan 40 persen wilayah Jakarta berada di dataran banjir 13 sungai (Ciliwung, Angke, Pesanggrahan, dan lain-lain).
Selain itu, kapasitas 13 sungai yang melalui Jakarta kecil dibandingkan dengan debit banjir yang lewat dan akan semakin parah jika ada kondisi pasang air laut yang menghalangi aliran air ke laut.
Faktor manusia karena intervensi manusia pada alam sehingga keseimbangan alam terganggu. Penyebabnya adalah alih fungsi sungai dan situ, pemanfaatan bantaran sungai dan dataran banjir untuk permukiman, serta penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah berlebihan.
Aktivitas manusia di hulu juga berdampak pada meningkatnya risiko banjir di Jakarta. Alih fungsi lahan konservasi menjadi permukiman dan sarana rekreasi (hotel, vila, restoran) akan semakin meningkatkan aliran permukaan.
Air hujan yang jatuh ke tanah tidak bisa cepat terserap ke tanah karena tertutup oleh bangunan. Akibatnya, air akan cepat masuk ke drainase dan sungai. Peningkatan koefisien air larian ini mengakibatkan meningkatnya debit banjir. Sedimentasi di sungai juga semakin tinggi karena peningkatan erosi. Risiko erosi makin tinggi karena tidak ada tanaman yang menahan.
Menilik faktor alam yang ada, banjir di Jakarta tidak akan hilang. Kepindahan 1,5 juta warga ke luar Jawa pun tidak akan signifikan mengurangi risiko banjir. Namun, risiko menimbulkan kerugian bagi masyarakat bisa dikurangi asalkan masyarakat tidak menghuni bantaran sungai dan dataran banjir serta tidak membuang sampah sembarangan. Sungai dan saluran air harus rutin dikeruk untuk mengurangi sedimentasi lumpur dan sampah.
Kepergian 1,5 juta warga juga tidak akan mengurangi penurunan permukaan tanah yang terjadi. Berdasarkan data Bappeda DKI, penurunan muka tanah di Jakarta Utara sudah mencapai 7,5 sentimeter per tahun.
Kunci untuk mengurangi penurunan permukaan tanah adalah menegakkan aturan pengambilan air tanah dan mengatur kembali tata ruang. Peningkatan kapasitas produksi air perpipaan juga harus dilakukan sebagai upaya lain mengurangi pemakaian air tanah.
Tetap macet
Apakah kepergian 1,5 juta orang akan mengurangi kemacetan lalu lintas? Jumlah kendaraan di Jakarta, menurut Statistik Perhubungan Jakarta 2016, sekitar 18 juta unit. Kendaraan tersebut terdiri dari sepeda motor 13,3 juta, mobil pribadi 3,5 juta, dan kendaraan lain (angkutan umum, bus, dan mobil beban) ± 1,03 juta unit.
Diasumsikan dari 1,5 juta warga yang pindah terdiri atas 375.000 keluarga. Satu keluarga diperkirakan mempunyai 1 mobil dan 2 sepeda motor. Hal tersebut berarti akan ada 375.000 mobil dan 750.000 sepeda motor atau yang akan keluar dari Jakarta. Dari total jumlah tersebut, kendaraan di Jakarta tersisa sekitar 16,8 juta unit.
Jumlah kendaraan yang tersisa tidak akan signifikan mengurangi kepadatan lalu lintas di Jakarta. Pada jam sibuk pagi dan sore, kepadatan lalu lintas di Jakarta juga berasal dari kendaraan penduduk komuter yang bermukim di Bodetabek.
Berdasarkan survei komuter (BPS, 2014), ada sekitar 3,6 juta komuter yang melakukan perjalanan harian dari Bodetabek ke Jakarta. Sebanyak 56,83 persen menggunakan sepeda motor dan 12,63 persen menggunakan mobil.
Kemacetan akan berkurang signifikan jika masyarakat mengubah kebiasaan hariannya untuk menggunakan angkutan umum. Hal tersebut akan mengurangi padatnya lalu lintas di Jakarta. Catatan BPS (2014) menyebutkan, kendaraan di Jakarta 58 persen didominasi sepeda motor dan mobil pribadi.
Selain itu, untuk menarik minat masyarakat menggunakan moda umum, peran pemerintah dinanti untuk menyediakan angkutan umum yang memadai. Juga ditambah dengan aturan pembatasan kendaraan bermotor seperti sistem electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar dan sistem nomor kendaraan ganjil genap.
Prioritas pembangunan
Muncul kekhawatiran, jika bukan sebagai pusat pemerintahan, apakah Jakarta sebagai pusat bisnis akan mendapat keistimewaan prioritas pembangunan? Selama ini pembangunan fasilitas umum, sosial, dan sarana transportasi seperti jalan dan angkutan umum terpusat di Jakarta sebagai ibu kota negara.
Singkat kata, berbagai fasilitas dengan kualitas memadai diadakan di kota sebagai pusat pemerintahan negara. Selain itu, berbagai masalah perkotaan seperti banjir, macet, pengangguran, dan kriminalitas berusaha diselesaikan dengan berbagai daya upaya.
Bagaimana kelanjutan proyek-proyek besar setelah Jakarta tidak lagi menjadi daerah khusus ibu kota? Mengutip laman Kompas.com, sejumlah proyek transportasi seperti proyek MRT Tahap II, LRT, pengembangan rute Transjakarta, pembangunan jaringan rel elevated loopline, dan revitalisasi angkot akan tetap terwujud. Juga dengan penyediaan fasilitas permukiman serta perluasan cakupan air bersih dan air limbah.
Namun, bisa jadi setelah proyek-proyek besar tersebut terwujud, prioritas pembangunan akan beralih ke ibu kota baru di luar Jawa. Jakarta sebagai pusat perekonomian akan terus menjadi gula-gula ekonomi bagi kaum urban.
Jika kaum urban yang datang melebihi jumlah penduduk yang pergi dan dengan kualitas sumber daya yang rendah, hal itu akan memberikan pengaruh besar pada sosial, ekonomi, dan lingkungan Jakarta. Jakarta akan tetap berkutat dengan masalah yang sama: banjir, macet, wilayah padat, kekurangan air baku, dan masalah sosial ekonomi lainnya. (LITBANG KOMPAS)