Mereka yang Gigih Memberi Pertolongan
Tidak ada helm dan rompi yang melindunginya. Abdul Bashith hanya mengenakan masker saat masuk ke dalam kerumunan massa yang terlibat bentrok dengan polisi. Setiap ada yang terluka, baik pengunjuk rasa maupun aparat, ia bergegas mengobati.
Mendengar kabar ada bentrokan di Petamburan, Jakarta Barat, Rabu (22/5/2019) dini hari, Abdul, petugas Palang Merah Indonesia (PMI), bergerak tanpa perintah dan berinisiatif menuju lokasi, dari rumahnya di Ciracas, Jakarta Timur. Tak lupa dia membawa peralatan medis seperti tabung oksigen, perban, gunting anatomi, dan benang. Semua peralatan medis itu disimpan di dalam tas hitam.
Abdul sudah tiba di lokasi sejak pukul 06.00. Dia menyusur sepanjang Jalan KS Tubun, yang hingga pukul 15.30 masih mencekam. Tak ada rasa takut. Kakinya terus melangkah meski gas air mata yang dilepaskan polisi beradu dengan lemparan batu dan petasan dari massa perusuh.
Sekitar pukul 11.00, bentrokan kembali pecah. Akibatnya, seorang remaja berpakaian putih mengalami luka. Abdul bergegas menarik pemuda itu. Dia membawanya menjauh dari lokasi bentrokan menuju trotoar di depan Rumah Sakit Pelni untuk diberi pertolongan pertama. Menerobos barisan massa dengan membawa korban luka membuat mata Abdul memerah dan berair.
Setelah selesai memberikan pertolongan pertama, ia meminta petugas satpam RS Pelni untuk membawa pemuda tersebut masuk ke rumah sakit agar dapat ditangani lebih lanjut oleh dokter.
Abdul membujuk si pemuda yang awalnya tidak mau dibawa masuk ke RS Pelni. ”Dalam situasi seperti ini tidak ada musuh, tidak ada keberpihakan. Yang ada adalah korban, entah itu masyarakat atau polisi. Saya siap bersiaga membantu. Ini tugas kemanusiaan,” kata Abdul yang tak ingat berapa jumlah korban luka yang sudah ia tangani.
Dalam bertugas, Abdul sadar sewaktu-waktu bisa terkena lemparan batu, bom molotov, atau gas air mata. Namun, katanya, atas nama kemanusiaan ia akan tetap membantu jika ada korban luka.
Tak pilih kasih
Abdul tidak sendiri. Kepolisian pun menerjunkan tim medis. Salah satunya Ajun Komisaris dr Dimas Arya Ramdhana dari Polda Metro Jaya. Sejak Rabu pagi, Dimas tak hanya memberikan pertolongan pertama kepada sesama polisi. Warga yang menjadi korban luka turut dibantunya. ”Tidak boleh pilih kasih. Di depan mata saya ada yang terluka, saya tolong,” kata Dimas.
Pada Rabu sekitar pukul 16.00, polisi berhasil mengendalikan massa perusuh di Petamburan. Sebagian polisi berkesempatan beristirahat bergantian. Namun, tidak bagi Dimas. Pada saat seperti ini, ia justru sibuk memeriksa dan mengobati mereka yang terluka.
”Saya hanya tidur lebih kurang dua jam. Baru istirahat sudah dipanggil lagi. Tidak apa-apa. Hal ini merupakan tugas dan tanggung jawab saya,” ujarnya.
Para pekerja kemanusiaan ini seperti tak mengalami rasa lelah. Guthfan Saltsa (39), seorang sukarelawan PMI Jakarta Timur, tetap bertahan meskipun sudah berjaga di Jalan MH Thamrin, Jakarta, sejak Rabu dini hari. ”Dari pukul 03.00 kami terus bersiaga,” ujar Guthfan.
Sejak dini hari ia mulai bekerja membantu orang terluka di sekitar Petamburan, Jalan MH Thamrin (Bawaslu), dan Slipi. Sebagian besar dari mereka menderita luka tembak peluru karet, lemparan batu, sesak napas, dan perih akibat gas air mata.
Ia menuturkan, luka-luka tersebut harus mendapatkan pertolongan pertama sebelum dibawa ke rumah sakit. ”Hidup matinya seseorang bergantung pada pertolongan pertama. Kalau terlambat, bisa berakibat fatal,” kata Guthfan.
Salah satu sukarelawan PMI Jakarta Selatan, Siti Sundari (22), mengungkapkan, rasa kemanusiaan mendorongnya ikut bersiaga. Ia hanya ingin berbagi kebaikan dengan orang lain. Hal ini memotivasinya untuk menahan rasa takut saat berada di tengah bentrokan.
”Semua orang pasti merasakan takut di tengah kondisi seperti itu. Namun, sebagian hidup ini milik orang lain. Jika kita kalah dengan rasa takut, lalu siapa yang akan menanganinya?” ujar Siti.
Kepala Bidang Penanggulangan Bencana PMI Jakarta Timur Budhi Pranoto mengatakan, tugas utama PMI adalah membantu masyarakat. ”Masyarakat tahu, jika mereka terluka pasti mencari kami,” ujarnya.
Tanggung jawab itulah yang mendorongnya terus bertahan di tengah bentrokan massa sejak dini hari. Ia juga harus memastikan ketika ada informasi korban meninggal. ”Kami harus datang ke lokasi untuk memastikan kebenaran informasi itu,” kata Budhi yang sehari-hari bekerja sebagai perawat.
Setia pada tugas
Tak berbeda dengan sukarelawan kesehatan, petugas keamanan yang menjaga agar unjuk rasa berlangsung damai juga tak kenal lelah. Ajun Inspektur Dua Nahar sudah lebih dari satu bulan berada di Jakarta. Nahar yang berasal dari Batalyon C Pelopor Brigade Mobil (Brimob) Aceh itu di-BKO (bawah kendali operasi) untuk menjaga keamanan Pemilu 2019 di Jakarta.
Saat ditemui pada Rabu siang kemarin, Nahar dan ratusan personel Brimob lainnya sedang mengamankan aksi massa di perempatan Sarinah, Jalan MH Thamrin. Dia tetap berpuasa di tengah tugas berat menjaga agar unjuk rasa tetap berlangsung damai.
”Kalau bolong sekali, sisanya pasti bolong terus,” kata Nahar sembari tertawa. Nahar dan rekan-rekannya sejak Rabu pagi berjaga di sekitar Bawaslu. Sebelumnya, mereka mengamankan kantor KPU. ”Ini baru tidur-tidur ayam saja. Kalau lagi rehat, tidur,” ujarnya.
Bagi Nahar, mengamankan Pemilu 2019 adalah panggilan tugas. Oleh sebab itu, dia tidak keberatan jika harus menjalani Lebaran di Jakarta. Dia beroleh kabar satuannya akan tetap berada di Jakarta hingga Lebaran nanti.
Di Aceh Barat, istri dan tiga anaknya menunggu sang ayah. Nahar sudah menjelaskan risiko pekerjaannya kepada keluarga. Tak hanya kepada istri, Nahar juga berpesan kepada tiga anaknya bahwa ia tak akan menelepon setiap saat. Nahar hanya sekali-sekali saja menelepon anaknya.
”Mereka harus mengerti bahwa ayahnya adalah anggota Brimob yang bisa ditugaskan di mana saja. Kalau nanti awak pergi, terus dia menangis, kasihan dia,” katanya.
Fahri (28), anggota Korps Brimob dari Polda Lampung, bersama puluhan rekannya tetap kokoh berdiri membuat penjagaan ketat di lokasi unjuk rasa Jalan MH Tamrin. Panas terik matahari siang itu tak menyurutkan fisik dan mentalnya. ”Unjuk rasa di Jakarta ini masih jauh lebih tertib dibandingkan dengan unjuk rasa atau kerusuhan-kerusuhan di daerah terpencil di Lampung,” kata Fahri.
Seperti Nahar, Fahri juga tetap berpuasa selama menjalankan tugas. Puasa bukanlah beban bagi Fahri. Justru selama Ramadhan ini, dia dapat berlatih sabar saat menghadapi perilaku massa. (GIO/PDS/MTK/FAI)