Pada Januari-Mei 2019, Kementerian Ketenagakerjaan mencegah pemberangkatan 93 calon pekerja rumah tangga migran secara ilegal. Mereka ditemukan di rumah penampungan milik perusahaan pelaksana penempatan TKI swasta di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada Januari-Mei 2019, Kementerian Ketenagakerjaan mencegah pemberangkatan 93 calon pekerja rumah tangga migran secara ilegal. Mereka ditemukan di rumah penampungan milik perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Informasi mengenai rumah penampungan calon pekerja migran itu berasal dari masyarakat. Kementerian Ketenagakerjaan lantas mendatangi lokasi itu.
”Calon pekerja migran yang akan diberangkatkan secara ilegal diamankan ke rumah perlindungan dan pusat trauma milik Kementerian Sosial,” kata Kepala Subdirektorat Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Kementerian Ketenagakerjaan Yuli Adiratna, Rabu (22/5/2019), di Jakarta.
Menurut dia, tim Kementerian Ketenagakerjaan juga menyelidiki pemberangkatan tenaga kerja secara ilegal. Penyelidikan itu berdasarkan laporan pemerintah daerah dan organisasi nirlaba peduli hak pekerja migran.
Yuli tidak memungkiri, kasus pemberangkatan pekerja rumah tangga migran secara nonprosedural selalu terjadi setiap tahun. Biasanya, mereka diberangkatkan ke kawasan Timur Tengah dan Malaysia.
Sepanjang 2018, hasil sidak Kementerian Ketenagakerjaan menemukan 191 orang calon pekerja migran di rumah penampungan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang tersebar di DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Mereka akan diberangkatkan meskipun tidak mengantongi seluruh persyaratan bekerja legal.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, pelarangan penempatan pekerja rumah tangga migran ke 19 negara di kawasan Timur Tengah tidak menghentikan permintaan pekerja. Sebaliknya, permintaan terus datang.
Agen perekrut dari perusahaan PPTKIS tetap aktif, bahkan, mematok biaya penempatan yang tinggi.
Negara-negara itu antara lain Arab Saudi, Aljazair, Irak, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mesir, dan Oman.
”Biaya penempatan yang tinggi dibebankan kepada calon pekerja migran dipakai untuk menutup ongkos risiko. Misalnya, ongkos mengurus penyalahgunaan visa kunjungan untuk tujuan bekerja,” ujarnya.
Wahyu mengemukakan, pengawasan tata kelola yang lemah menyebabkan kejadian seperti itu terus terulang.
”Kasus seperti itu dianggap sebatas kewajaran. Penanganannya hanya berupa sidak ke penampungan,” lanjutnya.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobby Alwi menyampaikan hal senada. Berdasarkan pengamatan SBMI, agen perekrut dari PPTKIS tertentu biasanya menjanjikan, setelah Lebaran, lowongan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga melimpah.
Pada 2015-2018, SBMI menerima pengaduan kasus kekerasan dan pelanggaran hak 1.927 pekerja migran Indonesia. SBMI menerima pengaduan tersebut secara langsung dari pekerja dan hasil investigasi.
Sekitar 67 persen dari total atau 1.303 pekerja migran yang mengadu berlatar belakang pekerja rumah tangga. Sekitar 263 pekerja yang mengadu itu pernah masuk kasus perdagangan orang dengan berbagai modus. Manipulasi visa dipakai sebagai persyaratan untuk bisa masuk dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga.