Penataan permukiman nelayan di Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, dinilai mendesak. Selain kumuh, kawasan tersebut juga banyak mengokupasi sempadan sungai sehingga justru merugikan aktivitas nelayan.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Penataan permukiman nelayan di Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, dinilai mendesak. Selain kumuh, kawasan tersebut juga banyak mengokupasi sempadan sungai sehingga justru merugikan aktivitas nelayan.
Kepala Dinas Permukiman dan Tata Ruang Kota Tegal Eko Setyawan mengatakan, di Kota Tegal ada empat daerah permukiman nelayan, yakni Tegalsari, Panggung, Muarareja, dan Mintaragen. Namun, yang masuk kategori mendesak untuk ditata adalah Tegalsari dan Muarareja.
Daerah tersebut dipilih sebagai kawasan yang harus ditata karena permukiman tersebut cukup padat penduduk dan terbilang kumuh. Kawasan Tegalsari memiliki luas 27 hektar dan dihuni 2.456 jiwa yang sebagian besar adalah nelayan.
”Wilayah itu dipilih karena sanitasinya buruk, tidak ada drainase, elevasi jalannya rendah, dan kepadatannya cukup tinggi. Tak hanya itu, sebagian warga juga membangun rumah mereka di sempadan Sungai Siwatu hingga tak ada lagi jarak antara rumah dan sungai,” tutur Eko, Rabu (22/5/2019) di Tegalsari.
Berdasarkan pantauan, rumah-rumah warga di RW 001 dan RW 002 Tegalsari tersebut berdempetan satu sama lain. Kondisi jalan di lingkungan itu cukup sempit, sekitar 1 meter. Di kawasan tersebut tidak ada saluran drainase.
Pipa-pipa saluran pembuangan yang mengarah ke sungai juga terlihat di sebagian besar bagian belakang rumah warga. Tak jauh dari pipa tersebut, kakus-kakus dari kayu bertengger di atas sungai.
Parmin (61), warga setempat, mengatakan, kebiasaan membuang kotoran ke sungai berlangsung sejak belasan tahun lalu. Di wilayah tersebut, hampir tidak ada warga memiliki tangki septik sehingga limbah domestik dipastikan mencemari sungai.
Di wilayah tersebut, hampir tidak ada warga memiliki tangki septik sehingga limbah domestik dipastikan mencemari sungai.
Pencemaran telah membuat air tanah di sekitar rumah Parmin tak layak dikonsumsi. Ia mengatakan harus membeli air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tak hanya pencemaran, pendangkalan dan penyempitan sungai juga terus terjadi dari tahun ke tahun. Menurut Parmin, warga masih sering membuang sampah sembarangan di sungai. Tak hanya itu, beberapa kali warga juga menguruk sungai hingga sungai semakin menyempit.
”Dahulu, Kali Siwatu memiliki lebar sekitar 8 meter, kini lebarnya tinggal 5 meter. Kedalaman sungai dulu sekitar 4 meter, kini tinggal 1,5 meter,” ucap Parmin.
Dampak penyempitan dan pendangkalan sungai membuat kapal nelayan tradisional seperti Parmin merugi. Parmin yang biasa menyandarkan kapalnya di sungai harus menunggu air laut pasang agar debit air sungai bertambah dan bisa mengantarkan kapalnya ke lautan.
Tak hanya rugi waktu, mesin kapal Parmin juga kerap rusak karena tersangkut endapan pasir atau sampah yang dibuang warga secara sembarangan ke sungai.
Persoalan lahan
Warga lain, Idah (43), mengatakan, meski senang dengan penataan kawasan, dirinya khawatir tak mendapatkan ganti rugi. Idah dan keluarganya sudah menempati sempadan Sungai Siwatu sejak 1999.
”Selama ini, kami tidak punya sertifikat tanah. Yang kami punya adalah surat keputusan penggunaan lahan. Surat itu kami perpanjang setiap tiga tahun sekali,” tutur Idah.
Idah menyadari sepenuhnya bahwa yang dilakukannya salah. Ia pun tahu kemungkinan dirinya mendapatkan uang ganti rugi kecil. Meski begitu, Idah berharap bisa mendapatkan ganti rugi atau setidaknya tempat relokasi yang layak.
Pembebasan lahan yang saat ini dihuni sekitar 59 keluarga harus segera dilakukan supaya pembangunan fisik bisa segera dilakukan.
Menurut Koordinator Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) Kota Tegal Bambang Rudihartono, ada empat rencana penataan yang akan dilakukan di Kota Tegal. Rencana tersebut meliputi pembangunan ruang terbuka hijau di Tegalsari, perbaikan bengkel kapal di Tegalsari, perbaikan lingkungan dan kawasan di sekitar Sungai Siwatu Tegalsari, serta pembangunan saluran drainase dan pembetonan jalan di Muarareja.
”Dari keempat rencana tersebut, yang sudah selesai dilakukan adalah pembangunan ruang terbuka hijau dan taman bermain anak di Tegalsari. Sementara tiga rencana lain masih dalam tahap pembebasan lahan,” ujarnya.
Menurut Bambang, pembebasan lahan yang saat ini dihuni sekitar 59 keluarga harus segera dilakukan supaya pembangunan fisik bisa segera dilakukan. Sebab, seluruh rencana penataan ditargetkan selesai pada 2021.
Sementara itu, Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono, Rabu pagi, mengadakan pertemuan dengan warga terdampak rencana penataan kawasan permukiman nelayan. Dalam kesempatan itu, ia menjelaskan, penataan dilakukan demi kebaikan masyarakat. Untuk itu, Dedy meminta kerja sama warga dalam proses penataan termasuk untuk pembebasan lahan.
”Konsep penataan ini nanti akan membuat lingkungan masyarakat tidak kumuh lagi. Selain menata kawasan permukiman, ada juga pembangunan pusat usaha mikro, kecil, dan menengah sera tempat wisata. Hal itu akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat,” ucap Dedy.