Bakteri antraks yang menyerang sejumlah sapi di Kabupaten Gunung Kidul, DIY, diduga berasal dari luar provinsi tersebut. Dugaan itu muncul mengingat bakteri dengan jenis tersebut belum pernah ditemukan di sana sebelumnya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Bakteri antraks yang menyerang sejumlah sapi di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, diduga berasal dari luar provinsi tersebut. Dugaan itu muncul mengingat bakteri dengan jenis tersebut belum pernah ditemukan di sana sebelumnya.
Awal Mei, Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul mendapatkan laporan lima sapi mati mendadak di RT 003 dan RT 005, Dusun Grogol 4, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul. Gejalanya, demam dan kejang-kejang.
Menurut hasil uji laboratorium dari Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, terdapat bakteri antraks pada salah satu tempat sapi mati itu disembelih, di RT 003. Temuan itu diperoleh setelah menguji sampel tanah yang telah bercampur dengan darah sapi.
Selain itu, terjadi pembengkakan pada bagian limpa dari sapi. BB Veteriner Wates juga telah mengambil sampel tanah dari 42 lokasi lain di Desa Bejiharjo, yang dicurigai terdapat bakteri antraks. Sampel tanah itu masih dalam tahap pengujian di laboratorium.
”Kemungkinan masuknya bakteri itu lewat lalu lintas ternak maupun produk ternak yang dipotong dan dijual ilegal melewati daerah itu (Gunung Kidul). Itu menjadi faktor risiko munculnya antraks di Gunung Kidul. Sebelumnya, daerah itu bebas antraks,” kata Kepala BB Veteriner Wates Yogyakarta Bagoes Poermadjaja saat ditemui di kantornya, di Wates, Kabupaten Kulon Progo, DIY, Jumat (24/5/2019).
Dugaan itu muncul setelah melihat dua peristiwa antraks terjadi sebelumnya di daerah lain yang jaraknya cukup dekat. Pada 2016, bakteri antraks menyerang ternak di Kabupaten Pacitan dan Wonogiri. Kedua daerah itu masing-masing berjarak 83 kilometer dan 70 kilometer dari Kabupaten Gunung Kidul. Selain itu, kendaraan dari kedua daerah tersebut juga kerap melintas di Kabupaten Gunung Kidul.
Bagoes mengungkapkan, demi mencegah penyebaran bakteri antraks di Gunung Kidul, lokasi ditemukannya bakteri tersebut perlu diisolasi untuk sementara waktu. Tidak boleh ada perpindahan ternak dari dalam ataupun ke luar desa. Kemudian, tempat-tempat ditemukannya bakteri itu perlu disiram dengan formalin. Alasannya, bakteri tersebut bisa hidup dalam waktu lama.
”Bakteri itu bisa hidup bertahun-tahun. Bahkan, usianya bisa sampai 40-60 tahun. Jadi, bakteri perlu dimatikan agar tidak menyebar dan menyerang manusia. Ke depan, pemilik ternak juga harus memperhatikan vaksinasi. Paling tidak, satu tahun ternak itu diberi vaksin untuk mencegah penyakit,” tutur Bagoes.
Ia menambahkan, dalam mengantisipasi masuknya, pengawasan terhadap perpindahan ternak dari satu daerah ke daerah lain itu perlu diperketat. Hal itu untuk memastikan ternak yang masuk ke suatu daerah benar-benar bebas dari penyakit atau bakteri yang membahayakan manusia.
”Tentu ini membutuhkan kerja sama dari semua pihak. Perlu ada sinergi dengan dinas lain untuk mencegah masuknya bakteri ini. Misalnya, dengan meningkatkan pengawasan terhadap ternak-ternak yang masuk,” kata Bagoes.
Sekretaris DIY Gatot Saptadi menyatakan, kecamatan tempat ditemukannya bakteri tersebut bakal diisolasi untuk sementara waktu. Perpindahan ternak keluar dan masuk desa dilarang. Pihaknya juga menjanjikan akan lebih memperhatikan berbagai ternak yang masuk di kabupaten itu.
Ia mengakui, sebelumnya pengawasan tentang keluar masuknya ternak ke kabupaten tersebut memang agak kendur.
”Lalu lintas ternak akan diperketat. Ini untuk mengantisipasi di waktu mendatang,” kata Gatot.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pertanian DIY Sasongko mengungkapkan, peternak juga masih banyak yang belum terlalu memedulikan surat keterangan kesehatan hewan. Kondisi itu justru meningkatkan risiko penyebaran penyakit. Sebab, ternak yang diperjualbelikan itu tidak diketahui dengan jelas kondisi kesehatannya.