Dampak Penurunan Omzet Pedagang Daring Hanya Sementara
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Komunikasi dan Informatika meminta maaf jika pembatasan akses media sosial telah merugikan pedagang daring. Namun, mereka menegaskan, pembatasan itu hanya berlangsung sementara dan akan kembali normal dalam waktu dekat.
Pelaksana Tugas Kepala Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu, Jumat (24/5/2019), mengatakan, pihaknya memang mendapat keluhan dari beberapa pihak, terutama pedagang daring yang menggunakan media sosial untuk memasarkan produk di Facebook dan Instagram. Akibat pembatasan media sosial, dalam tiga hari terakhir, omzet penjualan para pedagang daring menurun.
”Memang ada keluhan dari pedagang online, dalam beberapa hari omzet mereka menurun. Kami ingin menyampaikan kondisi ini bersifat temporer,” ucap Ferdinandus saat dihubungi pada Jumat (24/5/2019).
Menurut Ferdinandus, pembatasan akses akan diakhiri setelah situasi keamanan kembali kondusif. Namun, mengakhiri pembatasan itu Kementerian Kominfo masih menunggu lampu hijau dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Kementerian Kominfo menyarankan pedagang daring di medsos untuk beralih terlebih dahulu menggunakan jasa toko dagang elektronik atau e-dagang. ”Harapan idealnya seperti itu karena, kan, sudah ada platform berjualan daring. Apalagi seperti Tokopedia dan Bukalapak itu, kan, platform lokal. Tentunya akan membantu perkembangan lokal juga,” ujar Ferdinandus.
Kementerian Kominfo menyatakan, pihaknya terpaksa menerapkan pembatasan pada media sosial setelah adanya penetapan hasil Pemilihan Umum 2019. Hal itu untuk mengurangi peredaran berita bohong atau hoaks terkait dengan hasil pemilu.
Sejauh ini, pembatasan akses terbukti ampuh menekan informasi bohong sejak Selasa kemarin. Dalam satu hari jumlah berita hoaks yang beredar di media sosial menurun lebih dari 50 persen, yakni dari 20 konten hoaks menjadi 6-9 konten hoaks.
”Tujuan pembatasan ini mengurangi distribusi hoaks yang luar biasa banyaknya. Berdasarkan data kami, ada 40 juta dari 170 juta pengguna internet yang terpapar hoaks. Hal itu bisa berbahaya jika dibiarkan di kondisi genting saat terjadi kericuhan,” kata Ferdinandus.
Jessica (33), penjual tas wanita di laman daring, mengungkapkan, omzetnya sedikit menurun sejak pembatasan akses media sosial. Penurunan itu terjadi karena Instagram dan Facebook merupakan tempat mempromosikan produknya secara masif.
”Instagram dan Facebook, kan, tempat promosi. Calon pembeli bisa melihat barang di kedua medsos itu. Saya juga sering beriklan, endorse (merekomendasikan) barang ke (akun medsos) artis. Pelanggan pun mulai bertanya produk dari sana (akun medsos artis) sebelum lebih serius bertransaksi,” katanya.
Jessica yang sudah menjalankan usaha lewat e-dagang sejak 2016 pun mengungkapkan, pembatasan medsos menjelang Lebaran ini menyebabkan interaksi calon pembeli dengan produknya relatif rendah dibandingkan dengan masa yang sama pada tahun lalu. Padahal, selama ini, dua minggu menjelang Lebaran merupakan momen mendatangkan keuntungan bagi pedagang karena masyarakat membelanjakan uangnya lebih banyak.
Meski demikian, Jessica tetap mendukung kebijakan pemerintah. ”Ya, dukung sajalah kalau memang dibutuhkan untuk keamanan. Kalau ada kerusuhan, kan, malah saya tidak bisa berjualan lebih lama nanti,” ujarnya.
Dalam pembatasan akses, Kementerian Kominfo berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada Pasal 40 dikatakan, pemerintah wajib melakukan pencegahan dan penyebarluasan penggunaan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dapat mengganggu ketertiban umum.