Kerusuhan dan Demokrasi
Aksi massa terkait hasil Pemilu 2019 di Jakarta pada 21-22 Mei yang diiringi kerusuhan menarik perhatian media asing. Terselip pula gugatan terhadap demokratisasi di Indonesia.
Unjuk rasa pada Selasa (21/5/2019) di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta itu pada awalnya berlangsung tertib. Pada Selasa malam, sebagian massa pengunjuk rasa yang protes terhadap hasil Pemilu 2019 itu sudah meninggalkan lokasi unjuk rasa. Namun, belakangan muncul massa baru yang jadi perusuh. Bentrok massa dengan aparat, serta perusakan terhadap fasilitas publik dan kendaraan, pun terjadi. Bentrok juga berlanjut pada 22 Mei. Baru pada Rabu malam, situasi kembali tenang.
Massa berunjuk rasa sebagai bentuk penolakan terhadap hasil Pemilu 2019. Pada 21 Mei 2019 dini hari, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilu 2019. Pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dinyatakan mendapat suara 55,50 persen, sedangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat 44,50 persen.
Saksi pasangan calon Prabowo-Sandi menolak menandatangani berita acara penetapan Pemilu 2019 karena menganggap terjadi kecurangan selama proses pemilu.
Akibat kericuhan pada 21-22 Mei, Kepolisian menangkap 442 orang. Selain itu, data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Kamis (23/5/2019) menunjukkan, delapan orang meninggal dalam peristiwa itu.
Media asing
Peristiwa pada 21-22 Mei itu banyak diberitakan media-media asing. Al Jazeera, media Qatar, dalam laman daring berbahasa Inggris, pada Kamis menurunkan tulisan bertajuk ”Jakarta Clashes Continue for Second Night Over Election Result”. Tulisan itu menyoroti suasana saat terjadi bentrokan antara polisi dan massa perusuh. Di artikel itu juga dijelaskan mengenai latar belakang unjuk rasa yang didorong ketidakpuasan terhadap penetapan hasil pemilihan presiden pada Pemilu 2019. Di berita itu dikutip pernyataan dua calon presiden, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, terkait kerusuhan.
The Straits Times, Singapura, dalam ”Violence Was Coordinated: Jakarta Police” yang ditayangkan pada 23 Mei, menyoroti dampak unjuk rasa yang berakhir rusuh mendisrupsi aktivitas di Jakarta, ibu kota Indonesia, secara luas. Saat itu terjadi pengalihan arus, penghentian operasi kereta komuter di stasiun tertentu, bus, serta tutupnya pusat bisnis.
Penyebaran hoaks terkait kerusuhan dan juga pembatasan media sosial sebagai respons pemerintah juga diulas beberapa media asing, seperti New Straits Times (Malaysia), ABC, dan The Irish Times (Irlandia).
ABC dalam tulisan yang diunggah pada 23 Mei di laman daring bertajuk ”More than 250 Arrested as Indonesia’s Post-election Violence Enters Second Day”, menulis pembatasan sementara media sosial dilakukan guna menghindari penyebaran konten yang bisa memancing emosi massa. Artikel itu juga mendeskripsikan contoh hoaks yang tersebar. Disebutkan bahwa seorang pengunjuk rasa berusia muda memberi informasi ”absurd” kepada wartawan ABC bahwa polisi China sudah didatangkan ke Indonesia untuk menembak pengunjuk rasa.
”Pelambatan konten video dan foto di Whatsapp masuk akal sebab platform itu memungkinkan penyebaran secara masif konten yang bisa menghasut dan memancing kemarahan pada waktu sensitif seperti ini,” kata Ross Tapsell, Indonesianis dari Australia National University, seperti dikutip di New Straits Times, 23 Mei, bertajuk ”Indonesia Curbs Social Media, Blaming Hoaxes for Flaming Unrest”.
Artikel dari media asing juga ada yang menyoroti rangkaian unjuk rasa, kericuhan, dan demokrasi Indonesia. ABC Australia dalam artikel yang sama juga menyampaikan, di Indonesia kericuhan sejenis itu bukan sebuah keanehan. Namun, sudah bertahun-tahun kerusuhan dalam skala sebesar dan ”sekeras” itu tidak terjadi di Indonesia.
Sementara itu, The Irish Times menarik kejadian itu dalam konteks lebih besar. Di tulisan itu disebutkan pula perjalanan demokratisasi di Indonesia, yakni sebagai negara yang meninggalkan rezim diktator dua dekade silam, di tengah tekanan krisis finansial Asia tahun 1997-1998.
The Irish Times menulis, peristiwa pada 21-22 Mei itu ”merupakan sebuah kemunduran bagi negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini”. Padahal, Asia Tenggara selama ini memandang demokrasi Indonesia sebagai sebuah contoh sukses transisi politik.
Negara demokrasi
Apakah kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei itu akan merusak citra Indonesia sebagai negara demokrasi di dunia internasional?
”Tidak akan ada perubahan persepsi yang cukup signifikan terhadap demokrasi Indonesia di dunia internasional. Sebab, dunia internasional juga menghadapi fenomena global polarisasi politik yang sama,” kata pengajar Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Jakarta, Benni Yusriza.
Menurut dia, selama dua hari berlangsungnya unjuk rasa, aparat keamanan cenderung bisa meredam meluasnya kerusuhan. Namun, unjuk rasa itu bisa menjadi sentimen negatif ketika pemerintah membatasi ekspresi warga, seperti membatasi fitur media sosial. Akan tetapi, dia menilai tak banyak muncul kritik karena hal itu sudah diterima publik sebagai upaya mengatasi ancaman eksistensial bangsa.
Dari perspektif kematangan demokrasi, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz menyampaikan, Pemilu 2019 merupakan pemilu demokratik kelima yang diselenggarakan bangsa Indonesia sejak reformasi. Sebuah negara bisa menjadi contoh baik demokrasi bagi negara lain apabila mampu menyelenggarakan pemilu demokratik lima kali tanpa terputus. Sejauh ini, kata dia, Indonesia masih dalam jalur tersebut.
Unjuk rasa yang berakhir rusuh terkait ketidakpuasan terhadap hasil pemilu, menurut dia, merupakan wujud persoalan budaya demokrasi. Namun, sampai saat ini belum muncul alasan menginterupsi pemilu demokratik. Apalagi, belakangan pasangan calon yang kalah dalam pemilihan presiden sudah menyatakan akan menyalurkan ketidakpuasan lewat jalur konstitusional.
”Demokrasi yang berkelanjutan terwujud ketika para elite dan masyarakat menganggap demokrasi sebagai satu-satunya ’cara bermain’ di situ,” kata August Mellaz.
Menurut dia, kecurigaan dan keberatan merupakan hal yang wajar, tetapi pemilu akan semakin memiliki legitimasi apabila semua pihak melembagakan kecurigaan itu dalam skema hukum dengan menyiapkan bukti. Kemudian pihak termohon, yakni KPU, juga bisa menunjukkan buktinya.
Meski demikian, pemilu kali ini, menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, juga menjadi penanda demokrasi Indonesia belum terkonsolidasi. Masih ada persoalan dalam respons elite terhadap hasil pemilu yang juga berdampak terhadap persepsi masyarakat.
Selain itu, dari sisi substansi, lanjut Aditya, pemilu Indonesia juga belum sepenuhnya bebas dari kecurangan. Jual beli suara masih terjadi, terutama pada pemilihan anggota legislatif. ”Memang bisa dianggap lebih baik dibandingkan pemilu era Orde Baru, tetapi sekarang ukurannya pada rezim yang sudah demokratis,” kata Aditya.
Jalan untuk mematangkan demokratisasi di Indonesia tampaknya masih akan panjang....