Daya tarik dan daya saing berusaha mesti dibangun agar investor berminat menanamkan modal di Indonesia. Tujuan ini dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas tenaga kerja. Langkah ini diharapkan dapat menjadikan tenaga kerja Indonesia semakin kompetitif.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Daya tarik dan daya saing berusaha mesti dibangun agar investor berminat menanamkan modal di Indonesia. Tujuan ini dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas tenaga kerja. Langkah ini diharapkan dapat menjadikan tenaga kerja Indonesia semakin kompetitif.
Ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, menuturkan, pemerintah perlu melakukan reformasi struktural pada periode kedua pemerintahan. ”Kualitas tenaga kerja Indonesia masih kurang kompetitif jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain. Belum lagi undang-undang ketenagakerjaan terlalu kaku dan tidak memberikan kepastian berusaha,” ujar Satria di Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja, integrasi antara program vokasi dan industri yang saat ini sudah terjalin perlu lebih ditingkatkan untuk menyiapkan tenaga kerja berkualitas. Saat ini, ketersediaan tenaga kerja berkeahlian khusus dan terampil juga masih terbatas.
Kenaikan upah buruh yang terjadi tanpa alat ukur yang jelas terkadang tidak sebanding dengan peningkatan produktivitas industri. Kondisi itu menyebabkan investasi asing langsung sulit masuk ke dalam negeri.
Menurut Satria, sistem pengupahan tenaga kerja di Indonesia belum menciptakan iklim yang kondusif bagi investor. Pasalnya, kenaikan upah minimum tidak terukur dan masih bergantung pada ”adu urat” yang terjadi antara buruh dan dewan pengupahan.
Di Jakarta, misalnya, pada rentang 2013-2015, tingkat upah minimum provinsi (UMP) naik 21,81 persen dengan volatilitas yang sangat tajam. Sebelumnya pada 2012, upah buruh naik hingga 43,87 persen. ”Regulasi harus memudahkan dan menguntungkan investor saat membuka lapangan pekerjaan dan menyerap tenaga kerja di Indonesia,” kata Satria.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal asing (PMA) di Indonesia Rp 392,7 triliun. Nilai ini turun 8,8 persen dibandingkan dengan realisasi pada 2017. Adapun realisasi PMA pada triwulan I-2019 mencapai Rp 107,9 triliun, turun 0,9 persen dari realisasi PMA pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 108,9 triliun.
Kemitraan
Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indoneisa (ISEI) yang juga menjabat Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Halim Alamsyah menilai, perjanjian kemitraan berpotensi memperkuat kerja sama di sisi perdagangan dan investasi.
Satu upaya yang dilakukan ISEI adalah menggandeng Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Swiss. Selain menjajaki kerja sama penelitian dengan perguruan tinggi setempat, ISEI memamerkan produk kerajinan dan memaparkan gambaran prospek ekonomi Indonesia kepada pelaku usaha dan otoritas negara Swiss.
”Kami menjelaskan juga terkait dengan industri kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia untuk menjawab keprihatinan masyarakat Eropa mengenai komoditas ini,” ujarnya.
Menurut Halim, perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif dengan Swiss dapat mendorong industri makanan-minuman Swiss meningkatkan kembali investasi di Indonesia. Hal itu akan menguntungkan Indonesia, terlebih Swiss merupakan investor Eropa terbesar ketiga di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan Swiss yang menanamkan investasi di Indonesia antara lain Nestle, ABB, dan Phillip Morris. Total ada 150 perusahaan Swiss yang berinvestasi di Indonesia melalui Kamar Dagang dan Industri Swiss.