Pertumbuhan ekonomi global tahun ini diproyeksikan 3,3 persen menurut Dana Moneter Internasional (IMF) dan 2,9 persen menurut Bank Dunia. Perkiraan semula sedikit lebih tinggi.
Sementara Bank Indonesia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dunia 2019 sebesar 3,3 persen. Sejumlah penyebab mendasari proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang tergolong rendah itu, antara lain pelambatan pertumbuhan ekonomi Uni Eropa, Jepang, dan China serta tekanan perang dagang Amerika Serikat-China. Perang dagang ini akan berdampak pada perdagangan global, yang angka pertumbuhannya juga diperkirakan turun.
Dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pekan lalu, muncul koreksi terhadap defisit transaksi berjalan. Semula, BI memperkirakan, defisit transaksi berjalan pada akhir tahun ini sebesar 2,5 persen produk domestik bruto (PDB). Namun, angka itu direvisi menjadi 2,5-3 persen PDB. Revisi itu, antara lain, mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan volume perdagangan yang turun.
Pada akhir 2018, defisit transaksi berjalan 31,06 miliar dollar AS atau 2,98 persen PDB. Dilihat dari besarannya, defisit transaksi berjalan 2018 nyaris dua kali lipat dari 2017 yang sebesar 16,196 miliar dollar AS atau 1,6 persen PDB.
Perihal pertumbuhan ekonomi Indonesia, BI memperkirakan besarannya 5-5,4 persen. Dengan catatan di bawah titik tengah kisaran itu atau di bawah 5,2 persen. Pertumbuhan ekonomi RI yang diperkirakan lebih rendah dari proyeksi semula ini antara lain akibat kondisi perekonomian global yang pertumbuhannya melambat. Beberapa hal, antara lain pemilu, yang diperkirakan akan mendorong ekonomi tumbuh tinggi, ternyata realisasinya tak setinggi perkiraan semula. Meski demikian, BI optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa di atas 5,1 persen.
Pada saat tekanan perang dagang AS-China kembali memanas pekan lalu, rupiah kembali tertekan. Kondisi ini juga dialami sejumlah negara berkembang lain karena ternyata dampak perang dagang tak hanya di sektor perdagangan, tetapi sudah merambat ke sektor keuangan. Mengacu pada Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar rupiah yang pada 2 Mei sebesar Rp 14.245 per dollar AS merosot menjadi Rp 14.513 per dollar AS pada 23 Mei. Penurunannya mencapai 1,88 persen dalam dua pekan. Pada asumsi makro APBN 2019, nilai tukar ditetapkan Rp 15.000 per dollar AS.
Nilai tukar merupakan salah satu unsur penting dalam penetapan rancangan bisnis perusahaan. Apalagi jika perusahaan tersebut bergerak di bidang ekspor-impor atau setidaknya berurusan dengan kegiatan ekspor-impor. Merujuk data Badan Pusat Statistik, impor bahan baku/penolong sekitar 70 persen dari total impor. Apalagi jika perusahaan memiliki utang luar negeri dalam dollar AS, kendati BI sudah mensyaratkan sejumlah hal bagi korporasi yang memiliki utang luar negeri, termasuk lindung nilai.
Di tengah kondisi perekonomian yang masih saja tak pasti, daya tahan, mau tak mau, mesti diperkuat. Bagi Indonesia, daya tahan kuat itu antara lain perbaikan defisit transaksi berjalan.