Pembatasan Akses Tak Masalah, Asal Jelas Dasarnya
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah membatasi sementara beberapa fitur media sosial tidak masalah asalkan memiliki dasar yang jelas. Apabila situasi negara sudah kondusif, sebaiknya pembatasan segera dilepas.
Pembatasan atau limitasi penyebaran video, foto, dan meme di jejaring-jejaring media sosial berlangsung sejak Rabu (22/5/2019). Pembatasan ini bertujuan menekan peredaran informasi-informasi palsu yang berpotensi memperkeruh suasana dan mengancam keutuhan bangsa pasca rekapitulasi hasil Pilpres 2019.
“Apabila pemerintah melakukan ini demi kestabilan negara pemerintah silahkan, asalkan jelas dasarnya apa. Tentu pengaruh pembatasan ini terhadap kepentingan masyarakat ada karena tidak semua platform jejaring media sosial digunakan untuk hal-hal negatif, entah itu untuk memperlancar pekerjaan, koordinasi, bisnis, dan sebagainya. Yang jelas, ada hal yang harus dikedepankan yaitu demi kestabilan negara,” kata Izza.
Mesti berdasarkan hukum
Menanggapi hal serupa, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan, pembatasan akses komunikasi seperti yang dilakukan pemerintah ini harus dilakukan berdasarkan hukum. Menurut Anggara, pembatasan tersebut bertentangan dengan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta kebebasan berekspresi.
Pembatasan akses komunikasi seperti yang dilakukan pemerintah ini harus dilakukan berdasarkan hukum.
“Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dilindungi dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” ujarnya.
Selain itu, pembatasan akses terhadap media sosial dan aplikasi pengiriman pesan tanpa pemberitahuan sebelumnya menurutnya tidak tepat. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat.
Kategori keadaan darurat sendiri dapat terjadi karena berbagai faktor entah dari luar negeri atau dari dalam negeri. Adapun, ancaman dari keadaan darurat itu dapat berupa ancaman militer/bersenjata atau non militer/bersenjata seperti teror bom dan keadaan darurat lainnya. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa tersebut, konstitusi memberikan kekuasaan kepada kepala negara atau pemerintah untuk menilai dan menentukan negara dalam keadaan darurat.
Pasal 4 ICCPR mensyaratkan ada dua kondisi mendasar yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan pembatasan hak asasi manusia yaitu: pertama, situasinya harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan kedua, Presiden harus menetapkan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden.
Selain itu, tindakan-tindakan pembatasan HAM harus dijalankan dengan batasan-batasan yang jelas beserta ukuran-ukuran yang tidak membuka peluang terjadinya penyalahgunaan yang merugikan kepentingan lebih luas. Karena itu, tindakan pembatasan akses media sosial secara langsung tanpa ada pengumuman sebelumnya adalah tidak tepat.
Tindakan-tindakan pembatasan HAM harus dijalankan dengan batasan-batasan yang jelas beserta ukuran-ukuran yang tidak membuka peluang terjadinya penyalahgunaan yang merugikan kepentingan lebih luas.
Anggara mengatakan, ICJR merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah. Pertama, pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pembatasan akses terhadap media sosial harus benar-benar mengkaji batas-batasannya yang jelas agar tidak membuka peluang terjadinya pengurangan hak dan kepentingan yang lebih luas seperti hak untuk berkomunikasi.
Kedua, apabila ada suatu keadaan darurat yang menyebabkan pembatasan terhadap HAM tertentu sebagaimana diatur dalam ICCPR, maka Presiden harus membuat penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden.
Ketiga, apabila suatu keadaan tidak termasuk keadaan darurat namun pemerintah merasa perlu untuk menetapkan suatu kejadian tertentu yang menyebabkan pembatasan HAM, maka tindakan tersebut seharusnya merupakan tindakan hukum yang diumumkan oleh pejabat hukum tertinggi di Indonesia, yaitu Jaksa Agung. "Sehingga kebijakan yang diambil pemerintah merupakan kebijakan hukum dan bukan kebijakan politis,” paparnya.
Kekang kebebasan berekspresi
Sementara itu, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sebagai organisasi yang mengadvokasi hak digital di Asia Tenggara melihat langkah yang diambil pemerintah ini adalah salah satu bentuk pencekikan akses internet (internet throttling) yang berpotensi menjadi preseden buruk dalam menjamin hak kebebasan berekspresi di Indonesia. “Pembatasan internet bukan keputusan yang bisa semena-mena diterapkan dengan dasar ‘demi keamanan negara’ belaka tanpa ada parameter yang jelas mengenai situasi darurat yang mendorong pemberlakuan pembatasan internet ini,” kata Unggul Sagena, Kepala Divisi Akses Atas Informasi SAFEnet.
Pembatasan internet bukan keputusan yang bisa semena-mena diterapkan dengan dasar ‘demi keamanan negara’ belaka tanpa ada parameter yang jelas mengenai situasi darurat yang mendorong pemberlakuan pembatasan internet ini.
SAFEnet juga meminta pemerintah memberikan laporan yang transparan dan akuntabel atas keputusan ini pada publik, tidak hanya terbatas pada alasan atau parameter situasi darurat negara dan dasar hukum, namun juga beserta informasi akses dan wilayah yang dibatasi, durasi pembatasan internet, efektivitas pemberlakuannya, serta pengukuran dampak dari pemberlakuan pembatasan internet ini. Di luar itu, pemerintah perlu mencari langkah alternatif untuk mencegah pemberlakuan pembatasan internet yang berdampak pada hak berkomunikasi dan kebebasan berekspresi warga negara Indonesia.
“Kami meminta pemerintah mengusut dan menindak tegas pelaku penyebaran hoaks dan provokator ujaran kebencian alih-alih membatasi perilaku warganet Indonesia. Selain itu, perusahaan penyedia media sosial juga harus lebih keras dan responsif dalam menangani potensi penyebaran hoaks yang disertai ujaran kebencian dan bermuatan politis. Di sisi lain, masyarakat mesti tetap bijak dalam berinternet dan tidak mudah terprovokasi hoaks atau informasi-informasi yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya,” tambah Unggul.