Pendidikan Gizi Bantu Entaskan Tengkes di Masyarakat
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya pendidikan gizi yang baik merupakan faktor besar yang menghambat berkurangnya jumlah anak tengkes atau stunting akibat kekurangan gizi. Penerapan pendidikan gizi di semua lini masyarakat dan segala usia mutlak untuk digiatkan, terutama untuk meningkatkan pengetahuan pola makan dan gaya hidup yang sehat sejak usia dini.
Tengkes (stunting) adalah ukuran tubuh anak yang pendek dibandingkan anak-anak seusianya secara berkelanjutan (kronis). Penyebabnya adalah kurangnya asupan gizi sehingga pertumbuhan badan tidak maksimal. Tengkes akan menghambat pertumbuhan otak yang memengaruhi perkembangan kecerdasan anak. Tengkes juga meningkatkan risiko penyakit seperti diabetes karena pertumbuhan yang terhambat mengakibatkan kelainan sel pankreas.
"Penyebab stunting sudah sejak bayi di dalam kandungan, dimulai dari asupan gizi kedua orangtuanya, terutama ibu. Akan tetapi, penampakan fisik anak yang stunting baru mulai terlihat pada usia 2 tahun," kata Manajer Penelitian Pusat Studi Regional Pangan dan Gizi Asia Tenggara (SEAMEO RECFON) Grace Wangge dalam diskusi mengenai "Pendidikan Gizi dan Generasi Emas Indonesia 2045" di Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Penyebab stunting sudah sejak bayi di dalam kandungan, dimulai dari asupan gizi kedua orangtuanya, terutama ibu. Akan tetapi, penampakan fisik anak yang stunting baru mulai terlihat pada usia 2 tahun.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mengungkapkan, prevalensi tengkes Indonesia masih pada angka 30,8 persen. Lebih tinggi dari prevalensi global, yaitu 21,9 persen. Bahkan, untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat kedua dengan kasus tengkes terbanyak. Peringkat pertama diduduki Timor Leste.
Prevalensi tengkes tertinggi, yaitu di atas 40 persen, berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. Prevalensi tengkes tinggi, yaitu 30-40 persen, ditempati provinsi Aceh, Sumatera Barat, Lampung, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Provinsi lainnya memiliki tingkat prevalensi 20-30 persen. Bali merupakan satu-satunya provinsi dengan prevalensi tengkes kurang dari 20 persen.
"Kemiskinan memang salah satu faktor, tetapi ditelusuri lebih dalam lagi, ternyata pendidikan gizi, sanitasi, kesehatan reproduksi, dan keluarga berencana lebih berpengaruh," tutur Grace.
Hal ini dibuktikan oleh Riskesdas 2018 yang menyatakan bahwa 20 persen anak-anak dari kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas Indonesia juga mengalami tengkes. Penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi tidak bergizi. Cenderung lebih banyak karbohidrat, gula, dan lemak seperti dari goreng-gorengan. Pemberian makanan secara tidak proporsional ini berlangsung semenjak anak diberi makanan pendamping ASI.
Riskesdas 2018 menyatakan bahwa 20 persen anak-anak dari kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas Indonesia juga mengalami tengkes. Penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi tidak bergizi.
Minim protein hewani
Peneliti senior SEAMEO RECFON Umi Fahmida menjelaskan, pada masyarakat berekonomi lemah, anak tidak diberi makanan yang padat gizi. Biasanya diberi nasi, kuah sayur, dan tahu atau tempe. Konsumsi protein hewani sangat kurang. Tahu dan tempe walaupun protein, berasal dari nabati. Kandungan seratnya tinggi sehingga ketika dicerna yang terserap oleh tubuh tidak seberapa.
"Protein hewani selain dari daging dan ikan juga bisa dari keju, susu, telur, dan hati. Di Asia Tenggara, konsumsi protein hewani Indonesia lebih rendah daripada negara-negara lain," ujar Umi.
Selain itu, konsumsi sayur dan buah segar ternyata juga minim. Survei Sosial dan Ekonomi Nasional mengungkapkan bahwa pengeluaran rumah tangga masyarakat secara rata-rata menghabiskan 12 persen untuk rokok, 8 persen untuk sayur, dan hanya 4,33 persen untuk buah.
Padahal, anak-anak dengan orangtua perokok berisiko tengkes 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak terpapar asap rokok. Ditambah dengan kurang gizi, tidak ada akses air bersih, sanitasi buruk, dan jauhnya akses pelayanan kesehatan membuat risiko tengkes semakin parah.
Anak-anak dengan orangtua perokok berisiko tengkes 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak terpapar asap rokok.
Umi memaparkan, Vietnam yang secara perekonomian di bawah Indonesia bisa mengatasi ketengkesan. Mereka menerapkan prinsip kolam, kebun, dan kandang. Artinya, masyarakat memanfaatkan sumber daya di sekitar mereka untuk mendapatkan pangan bergizi.
"Konsumsi pangan lokal menjadi kunci. Seperti di Laos, pemerintah tingkat kabupaten/kota memberi pendampingan pengolahan pangan lokal secara maksimal," ucapnya.
Dari sisi pemerintah, selain mengaktifkan posyandu dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, juga dilakukan advokasi ke sekolah-sekolah. Di Kabupaten Malang, Jawa Timur misalnya, kantin sekolah tidak lagi menjual mi instan, minuman bersoda, dan permen. Mereka menggantinya dengan jajanan bergizi.
Terdapat pula pendidikan anak usia dini (PAUD) holistik integratif yang tidak hanya mengembangkan kecerdasan anak, tetapi juga mendidik orangtua mengenai gizi dan pengasuhan yang baik. Direktur Jenderal PAUD dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar menjelaskan, PAUD hanya mengawasi anak tiga jam per hari, sisanya anak bersama keluarga. Jadi keluarga yang harus diberdayakan. (Kompas, 4 April 2019)