JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan akses media sosial dan aplikasi pesan singkat atau Whatsapp yang diterapkan pemerintah sejak kemarin merupakan solusi jangka pendek yang diperlukan untuk meredam penyebaran hoaks. Namun, untuk jangka panjang, dibutuhkan solusi yang konkret dan segera untuk mengatasi hoaks secara permanen. Pasalnya, jika tak segera diputuskan solusi konkret dan permanen, penyebaran hoaks pasca-Pemilu 2019 semakin masif. Hal itu tak hanya mendelegitimasi penyelenggara pemilu, tetapi juga mengancam demokrasi.
Hal itu diungkapkan Ketua Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia Septiaji Eko Nugroho saat dimintai tanggapannya pada Kamis (23/5/2019), di Jakarta. Pemerintah, sejak Rabu, membatasi sementara sebagian fitur media sosial menyusul aksi unjuk rasa yang rusuh pada Selasa dan Rabu lalu di Jakarta. Untuk itu, masyarakat diimbau menjadikan media arus utama sebagai acuan informasi.
Hoaks membuat rasa kemanusiaan kita turun. Karena itu, kita mengapresiasi langkah pemerintah membatasi media sosial sementara, tetapi sekaligus membuka mata kita, soal hoaks butuh pemikiran bersama dan jangka panjang. (Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia)
Sejauh ini, tambah Septiaji, penyebaran hoaks di media sosial dan aplikasi pesan instan meningkat. Narasi utama hoaks berupaya membentuk persepsi publik agar tak percaya penyelenggara pemilu. Dampak hoaks juga bisa dilihat dari kehadiran sebagian massa aksi unjuk rasa,yang banyak terprovokasi karena hoaks, salah satunya Situng KPU. Bahkan, muncul hoaks, antara lain, anggota Polri bukan warga Indonesia.
”Hoaks membuat rasa kemanusiaan kita turun. Karena itu, kita mengapresiasi langkah pemerintah membatasi media sosial sementara, tetapi sekaligus membuka mata kita, soal hoaks butuh pemikiran bersama dan jangka panjang,” ujar Septiaji.
Ia memberi contoh pemblokiran sementara media sosial di Sri Lanka pasca-serangan bom di gereja. Apalagi, masalah di Indonesia lebih kompleks. Sebab, dampak hoaks semakin besar karena literasi bermasalah dan fanatisme berlebihan.
Dampak ke UMKM
Pandangan berbeda datang dari Ketua Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja. Meskipun berdampak positif terhadap keamanan siber nasional, pembatasan sementara dan bertahap sebagian akses platform media sosial dan pesan instan berdampak pada pelaku bisnis digital yang sehari-hari menggantungkan operasionalnya pada platform.
Dia berpendapat, negara dan pemerintah berhak membatasi sesuai kewenangan dan regulasi. Namun, langkah itu lebih efektif jika operator seluler sukarela menangguhkan konektivitas internet. Sebab, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sering hanya mengandalkan ponsel pintar dan data seluler untuk produknya.
Vice President Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak menyampaikan, hingga kini, belum ada dampak signifikan ke seluruh transaksi di ekosistem usahanya. Praktisi digital forensik Ruby Alamsyah melihat, solusi pembatasan akses lebih efektif dan dampaknya masif dibandingkan mematikan satu per satu akun media.