Stop Diskriminasi, Usia Minimal Perkawinan Laki dan Perempuan Harus Sama
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan khusus perubahan Pasal 7 Ayat (1) yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun secepatnya dilakukan sebelum masa bakti DPR berakhir. Targetnya paling lambat revisi tersebut dilakukan pada September 2019, bahkan jika revisi selesai pada Juli 2019 akan menjadi kado di Hari Anak 2019.
Karena itu pemerintah beserta organisasi masyarakat sipil sepakat mendorong dan mengawal DPR agar segera mewujudkan usia minimal perempuan dan laki-laki untuk menikah. Soal usia minimal perkawinan, semua sepakat tidak boleh lagi ada diskriminasi usia antara laki-laki dan perempuan. Sebagian besar mengusulkan usia ideal adalah di atas 19 tahun, bahkan 21 tahun adalah usia yang paling layak untuk perkawinan.
“Kalau bisa kita fokus langsung, targetkan kapan disahkan, kita bekerja. Apalagi Menteri Agama mendorong secepatnya. Kita harus berani memperjuangkan kepentingan anak-anak kita,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise, Jumat (24/5/2019), pada pertemuan terbatas tingkat pimpinan kementerian/lembaga dan organisasi masyarakat sipil terkait langkah pemerintah pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 13 Desember 2018.
Pada pertemuan yang dipandu Deputi Tumbuh Kembang Anak KPPPA Lenny N Rosalin, Yohana yang juga didampingi Sekretaris Menteri PPPA Pribudiarta Nur Sitepu dan Deputi Perlindungan Anak Nahar menegaskan, pasca putusan MK dirinya telah bertemu pimpinan MK dan Menteri Agama serta kementerian terkait, dan semua memberikan dukungan agar revisi secepatnya dilakukan di DPR.
Selain pimpinan dari Kementerian Koordinator PMK, Kantor Staf Presiden, Staf Khusus Presiden, Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, BKKBN, hadir juga pimpinan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Antikekerasaan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ikatan Bidan Indonesia, UNICEF Indonesia serta pimpinan sejumlah organisasi masyarakat sipil antara lain Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Kapal Perempuan, Aliansi Remaja Independen, Kalyanamitra, dan Rumah Kitab.
Seperti diberitakan, MK pada akhir tahun lalu, memutuskan bahwa perkawinan anak, khususnya perempuan berusia 16 tahun, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 7 Ayat (1) UU No 1/1974 yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun dinilai diskriminatif.
Pasal 7 Ayat (1) berbunyi, ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dalam putusannya, MK memerintahkan pembentuk UU dalam jangka waktu tiga tahun mengubah UU itu.
Soal proses revisi, Pelaksana Tugas Kepala Biro Hukum dan Humas KPPPA Margareth Robin Korwa menyatakan tidak membutuhkan waktu yang lama. Hal ini karena jika merujuk pada putusan MK, pemrakarsa untuk revisi adalah pemerintah yang secara substansinya untuk perkawinan ada di Kemenag dan perlindungan anak ada di KPPPA.
Karena itu pembahasan revisi UU Perkawinan bisa dilakukan di luar prolegnas. Pemrakarsa bisa mengajukan izin hanya berkirim surat kepada DPR. “Karena ini menyangkut kepentingan anak-anak dari Sabang sampai Merauke, bisa dibahas di luar proglegnas,” kata Margareth
Pembahasan revisi UU Perkawinan bisa dilakukan di luar prolegnas. Pemrakarsa bisa mengajukan izin hanya berkirim surat kepada DPR.
Karena itu, setelah pertemuan dengan pimpinan kementerian/lembaga dan organisasi masyarakat sipil, Yohana menyatakan akan dibentuk tim teknis untuk menyusun mekanisme revisi UU Perkawinan. "Pemerintahan sebentar lagi bulan Oktober sudah selesai. Bukan hanya menteri, DPR juga muncul yang baru. Kalau misalnya kita biarkan sampai pemerintahan yang baru bisa saja kita mulai dari nol. Jadi kalau masih bisa memperjuangkan supaya bisa direvisi secepatnya," kata Yohana.
Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional Siti Ruhaini menyatakan isu perkawinan anak sudah menjadi perhatian internasional. Karena itu, semakin bisa menaikkan angka usia minimal perkawinan akan jauh lebih baik, apalagi untuk anak perempuan karena terkait kesehatan reproduksi. “Proses ini harus kita kawal. Setidaknya (usia perkawinan) mencapai di atas UU Perlindungan Anak,” ujarnya.
Usia minimal di atas 19 tahun
Pada pertemuan tersebut, semua sepakat Pasal 7 Ayat (1) UU 1/1974 yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun tidak bisa lagi diterapkan karena perbedaan usia tersebut sangat diskriminasi. Sejumlah usulan disampaikan terkait usia minimum perkawinan, mulai dari 19 tahun hingga 21 tahun.
Semua sepakat Pasal 7 Ayat (1) UU 1/1974 yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun tidak bisa lagi diterapkan karena perbedaan usia tersebut sangat diskriminasi.
Komitmen dan langkah pemerintah untuk mempercepat revisi UU Perkawinan Anak disambut gembira kalangan organisasi masyarakat sipil yang selama ini gencar mengampanyekan Stop Perkawinan Anak. Bahkan Zumrotin K Susilo (YKP) dan Misiyah Lia (Kapal Perempuan) menilai langkah tersebut merupakan kemajuan yang besar. Keduanya berharap batas minimal usia perkawinan sama yakni usia 21 tahun untuk laki-laki dan perempuan.
Kendati demikian, sebagian besar peserta pertemuan juga menyoroti praktik perkawinan anak yang terus terjadi karena tingginya angka dispensasi perkawinan. Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan, angka dispensasi perkawinan tiap tahun mencapai 8.000 kasus (2018). Karena itu upaya merevisi UU Perkawinan harus dibarengi dengan perbaikan sistem pendidikan.
Menutup pertemuan tersebut, Lenny menyatakan upaya mempercepat revisi UU Perkawinan terkait usia minimal perkawinan merupakan wujud kepedulian terhadap anak-anak Indonesia, demi kepentingan terbaik bagi sekitar 80 juta anak-anak di Indonesia. Selanjutnya, setelah pertemuan tersebut akan ada tim teknis antara KPPPA dan Kemenag, yang akan dilanjutkan pertemuan.