Perkuat Literasi Agama
Napas keagamaan merupakan kebaikan universal, bukan eksklusivitas dan primordialisme yang mengotak-ngotakkan masyarakat.
DEPOK, KOMPAS — Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional mengacu pada asas Pancasila dan UUD 1945. Namun, kenyataannya, di sekolah dan kampus nilai-nilai Pancasila semakin tergerus. Paham yang menggunakan agama tetapi anti-Pancasila menyusup ke lembaga pendidikan.
Hasil survei Badan Intelijen Negara pada 2017, 39 persen mahasiswa terpapar paham-paham radikal. Dari data ini, 24 persen mahasiswa setuju menegakkan negara Islam melalui jihad. Bibit radikalisme juga ditemukan pada pelajar SMA (Kompas, 4/6/2018).
Salah satu upaya untuk mengatasi hal itu adalah dengan memperkuat literasi keagamaan untuk memupuk dan mengembangkan toleransi. Mengutip falsafah cendekiawan Muslim, Ahmad Mustofa Bisri, penasihat Pusat Rahmatan Lil Alamin, Dimas Ranadireksa, mengatakan, dalam Islam, literasi keagamaan dilakukan dengan menyusuri ilmu keagamaan dari hilir ke hulu.
”Melalui penelusuran sumber-sumber dalil keagamaan, akan terlihat dalil yang sesuai dengan amanat Islam dengan yang keluar dari jalur,” kata Dimas dalam Ngabuburit Toleransi Aliansi Universitas Indonesia Toleran di kampus UI Depok, Kamis (23/5/2019).
Islam dan Islamisme
Dalam diskusi itu, sosiolog Universitas Nahdlatul Ulama, Neng Dara Affiah, mengajak mahasiswa memahami perbedaan antara Islam dan Islamisme. ”Islam adalah agama yang berlandaskan pemahaman Tuhan sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Namun, Islamisme adalah sebuah gerakan politik praktis yang membawa-bawa nama Islam dengan tujuan politik praktis,” katanya.
Islamisme adalah sebuah gerakan politik praktis yang membawa-bawa nama Islam dengan tujuan politik praktis.
Pemahaman itu penting untuk mendidik siswa dan mahasiswa bahwa napas keagamaan merupakan kebaikan universal, bukan eksklusivitas dan primordialisme yang mengotak-ngotakkan masyarakat sehingga memecah bangsa. Narasi ini harus dikuatkan di kalangan siswa dan mahasiswa.
Neng menjabarkan pentingnya mengenal perbedaan idealisme ini. Agama Islam sejatinya tidak untuk saling menyakiti apalagi menindas sesama. Justru, yang diutamakan adalah perilaku welas asih dan berkeadilan kepada semua anggota masyarakat tanpa memandang perbedaan.
Sebaliknya, islamisme berkedok menggunakan dalil-dalil agama demi meraih kekuasaan politik, sosial, dan akses ekonomi. Tanpa adanya literasi yang baik, masyarakat rentan terjerumus kesalahpahaman bahwa islamisme adalah nilai agama Islam.
Tanpa adanya literasi yang baik, masyarakat rentan terjerumus kesalahpahaman bahwa islamisme adalah nilai agama Islam.
Neng memaparkan, pemahaman agama Islam terbagi menjadi dua. Pertama adalah Islam ideal yang mengacu kepada tata cara universal di alam Alquran seperti berbuat kebaikan terhadap sesama, menjalankan salat lima waktu, menerapkan keadilan beserta kesetaraan, dan membayar zakat. Ini adalah nilai-nilai yang mutlak dipercaya dan diterapkan semua aliran Islam.
Di dalam pemahaman ini juga terdapat unsur partikular, yakni memahami praktik keagamaan berdasar konteks latar belakang kebudayaan dan zaman. Contohnya adalah hukuman potong tangan untuk pencuri karena sistem peradilan Timur Tengah pada masa pertengahan menganut paham itu.
"Namun, harus kita pahami bahwa perkembangan zaman dan ilmu memberi kita sistem peradilan yang lebih humanis dan ada sanksi berefek jera tanpa perlu memberi hukuman fisik," tutur Neng.
Pemahaman kedua adalah Islam historis, yaitu melihat bahwa Islam lahir di Timur Tengah, wilayah beriklim keras yang membuat persaingan hidup sangat ketat. Menurut Neng, patut diperhatikan bahwa nilai sosiologis suatu masyarakat berbeda dengan nilai teologis.
Sistem budaya wilayah gurun pasir pada masa itu sangat rawan menimbulkan konflik. Dalam beberapa kesempatan, perang tidak bisa terelakkan. Akan tetapi, bukan berarti jalan itu adalah satu-satunya untuk mempraktikkan agama.
"Narasi islamisme selalu merujuk Perang Badar dan Perang Uhud sebagai metode utama penegakan nilai-nilai Islam. Padahal, ini jelas bertentangan dengan perintah Alquran agar manusia selalu adil dan penuh kasih sayang," ujarnya.
Narasi islamisme selalu merujuk Perang Badar dan Perang Uhud sebagai metode utama penegakan nilai-nilai Islam.
Menurut dia, pengarusutamaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 harus diperkuat. Ia mengkritisi bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengacu kepada kedua asas negara, tetapi kenyataan di sekolah dan kampus nilai-nilai kepancasilaan semakin tergerus.
Moderasi
Dimas Ranadireksa menjelaskan bahwa kecenderungan umat muslim global, termasuk Indonesia, kini adalah berwatak kaku dan keras. Hal ini akibat berkembangnya anggapan bahwa kelompok tertentu lebih baik daripada yang lain sehingga memunculkan perilaku intoleran di masyarakat.
"Watak ini terpengaruh ideologi Pan-Arabisme yang muncul ketika negara-negara Timur Tengah melawan penjajahan Turki Ottoman di abad ke-19, yang ditonjolkan bukan keislamannya karena Timur Tengah maupun Turki Ottoman sama-sama Islam, tapi primordialisme kearabannya," katanya.
Pemahaman ini menyebar ke negara lain ketika negara-negara Arab menjadi pengekspor minyak utama dunia dan mulai memberi bantuan pendidikan, termasuk ke Indonesia. Namun, dengan menurunnya kebutuhan impor minyak dari Timur Tengah, kini negara-negara Arab juga mengikuti gelombang moderasi beragama.
Oleh sebab itu, butuh kesadaran masyarakat untuk melakukan literasi keagamaan. Dalam hal ini juga pendalaman penafsiran Alquran, tidak sekadar menghafal. Literasi ini akan memberi masyarakat pengertian ada ayat-ayat yang muhkamaat atau mutlak dipercayai semua aliran Islam. Ada pula ayat mutasyabihat yang penafsirannya beragam, bergantung konteks budaya masing-masing.
Mencegah ekstremisme
Sekretaris Jenderal Aliansi UI Toleran Pamela Cardinale mengatakan, aliansi ini berdiri pada 2018 berdasarkan keprihatinan berbagai aksi intoleransi dan terorisme di Indonesia. Apalagi ada laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bahwa ide-ide ekstrem memasuki perguruan tinggi negeri.
”Setelah melakukan diskusi terpumpun dengan mahasiswa, mereka mengatakan perlunya banyak kegiatan yang inklusif dan diskusi untuk membuka wawasan,” ujarnya.
Dari pihak perguruan tinggi juga sudah mulai melakukan deradikalisasi di kampus-kampus. Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (24/5/2019), mengatakan, perkuliahan Pancasila dan agama diampu terpusat oleh Fakultas Filsafat.
Sebelum kuliah dimulai selalu ada pertemuan para dosen untuk menyamakan persepsi, materi, dan metode pemelajaran. Setelah itu perkuliahan diwujudkan melalui studium generale untuk semua program studi yang bersifat banyak diskusi mengenai topik-topik kekinian.
Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Semarang Fathur Rokhman mengungkapkan tengah menelusuri laporan dari berbagai pihak yang mengatakan ada penyebaran paham ekstrem di kampus itu. Apabila terbukti, individu terkait akan diproses sesuai aturan universitas.
"Mahasiswa baru selalu wajib menandatangani pakta komitmen antinarkoba, plagiasi, dan ekstremisme," katanya.