Diversifikasi Pangan Lokal Terkendala Perubahan Konsumsi
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diversifikasi pangan lokal di Indonesia menghadapi tantangan perubahan pola konsumsi masyarakat. Dibutuhkan perubahan pola pikir masyarakat dan konsistensi kebijakan agar keragaman pangan lokal kita yang berlimpah bisa dioptimalkan.
"Perubahan pola konsumsi masyarakat ini merupakan dampak dari puluhan tahun kebijakan pangan bias beras. Saat ini banyak konsumen mulai sadar pentingnya konsumsi pangan lokal, namun ketersediaannya masih terbatas dan harga juga masih mahal, dibandingkan beras atau tepung terigu impor," kata Manajer Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) Puji Sumedi, di Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Keluhan tentang sulitnya mendapatkan produk pangan lokal ini misalnya dikeluhkan Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo. “Cari sorgum atau sagu di supermarket tidak ada, apalagi beras konnyaku. Sementara tepung terigu ada di mana-mana dan murah,” kata dia.
Harga beras konnyaku di toko daring bisa mencapai Rp 200.000 per kilogram. Padahal bahan bakunya, yaitu umbi iles-iles atau porang (Amorphophallus muelleri) merupakan tanaman lokal yang sangat mudah dibudidayakan. Namun, bahan pangan rendah kalori yang biasa dipakai untuk diet ini kebanyakan diekspor ke Jepang dan China.
Harga beras konnyaku di toko daring bisa mencapai Rp 200.000 per kilogram. Padahal bahan bakunya, yaitu umbi iles-iles atau porang (Amorphophallus muelleri) merupakan tanaman lokal yang sangat mudah dibudidayakan.
“Baru-baru ini di Jawa Timur sudah ada pabrik yang mengolah umbi iles-iles, mestinya sekarang di pasar sudah lebih mudah,” kata anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Achmad Subagio.
Achmad yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jember dan memiliki usaha pembuatan tepung mocaf (dari singkong) ini mengatakan, edukasi terhadap konsumen ini harus dilakukan sejalan dengan pengembangan industri dan juga aspek produksi di tingkat petani. Ini membutuhkan pengaturan tata niaga dan melibatkan banyak kementerian dan lembaga.
“Misalnya saat ini pabrik mocaf kami kesulitan singkong sehingga dari permintaan pasar 600-700 ton per bulan baru bisa terpenuhi separuhnya karena kesulitan bahan baku,” kata dia.
Menurut Achmad, selama ini tata niaga pangan lokal belum mendapat perhatian. Dia mencontohkan kasus kelangkaan singkong yang dipicu oleh membanjirnya singkong impor dari Thailand. Harga singkong Thailand yang lebih murah menyebabkan singkong petani tidak laku dan sejak itu mereka tidak mau lagi menanamnya.
“Sekarang petani baru mulai tanam singkong lagi setelah singkong Thailand mulai kurang, tetapi mungkin butuh beberapa tahun lagi sampai stabil,” kata dia.
Berbeda dengan pangan lokal, tepung terigu yang bahan bakunya 100 persen gandum impor cenderung mendapat kemudahan. Selama puluhan tahun impor gandum bebas bea impor, dan baru pada 2009 pemerintah menetapkan bea impor 5 persen. “Ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan pajak yang harus dibayar oleh pabrik pangan lokal. Tidak heran jika terigu impor bisa lebih murah dibandingkan pangan lokal,” kata dia.
Berbeda dengan pangan lokal, tepung terigu yang bahan bakunya 100 persen gandum impor cenderung mendapat kemudahan.
Puji mengatakan, bea impor terigu harusnya dinaikkan. “Seperti biofuel. Sampai kapan pun pembauran biofuel 20 persen akan susah karena bensin masih murah. Jadi, harus ada intervensi kebijakan pemerintah,” katanya.
Achmad menambahkan, Indonesia bisa mencontoh kesuksesan Nigeria dalam mengoptimalkan pangan lokal. Hingga tahun 2004, Nigeria menjadi salah satu pengimpor gandum terbesar di dunia, namun pemerintahnya menerapkan kebijakan pengimpor gandum harus membaurkan produk hilirnya dengan tepung tapioka lokal. Hal ini kemudian menumbuhkan produksi tapioka. “Sekarang Nigeria menjadi eksportir tepung tapioka ke Eropa dan negara lain,” kata dia.
Kebijakan pangan
Menurut Puji, keberagaman pangan sebenarnya telah lama disadari urgensinya, bahkan juga telah tertuang dalam sejumlah kebijakan. Namun demikian, pemerintah tidak konsisten mengimplementasikan keberagaman pangan ini.
Kebijakan pertama terkait diversifikasi pangan adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Instruksi ini hanya mengamanatkan pentingnya diversifikasi pangan, namun tidak secara jelas mengatur pentingnya pengembangan keberagaman pangan lokal.
Gandum, yang hampir 100 persen impor dijadikan sebagai contoh diversifikasi pangan. Inilah yang menyebabkan, diversifikasi pangan kemudian menjurus ke peningkatan impor gandum sebagai bahan dasar produk terigu dalam bentuk mi instan, roti dan sejenisnya. Apalagi pemerintah kemudian memberikan subsidi terigu untuk mengurangi tekanan terhadap permintaan beras.
Namun demikian, Undang-Undang Pangan No 18 Tahun 2012, yang merupakan revisi dari UU Pangan No 7 Tahun 1996 secara jelas telah mengamanatkan diversifikasi pangan lokal sebagai bagian dari upaya untuk mencapai kedaulatan pangan.