Patuhi Putusan MK
JAKARTA, KOMPAS — Apa pun putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa hasil pemilu presiden bersifat final dan mengikat. Kepatuhan mengikuti putusan MK sebagai satu-satunya jalur konstitusional dalam mempersoalkan hasil pemilu merupakan cerminan dari kedewasaan berdemokrasi. Elite diharapkan memberikan teladan baik dalam menyikapi mekanisme hukum yang diatur undang-undang.
MK saat ini melakukan verifikasi dan pengecekan terhadap permohonan dan bukti-bukti yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Jumat (24/5/2019) malam. Pemohon perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) diberi kesempatan untuk memperbaiki dan melengkapi bukti-bukti sebelum ataupun di tengah-tengah berjalannya persidangan.
Dalam permohonannya yang diterima MK, pasangan Prabowo-Sandi mendalilkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Ada lima bentuk pelanggaran yang diuraikan pemohon, yakni penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program/kerja pemerintah; ketidaknetralan aparatur negara, seperti polisi dan intelijen; penyalahgunaan birokrasi dan badan usaha milik negara (BUMN); pembatasan kebebasan media dan pers; serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum.
”Kelima jenis pelanggaran dan kecurangan itu semuanya bersifat sistematis, terstruktur, dan masif, dalam arti dilakukan oleh aparat struktural, terencana, dan mencakup dan berdampak luas kepada banyak wilayah Indonesia,” demikian bunyi dalil pemohon dalam permohonan yang diterima MK, Jumat malam.
Sebanyak 51 bukti diserahkan pemohon terkait dengan dalil tersebut. Sebagian besar bukti yang diserahkan berupa file dan dokumentasi dari pemberitaan media massa. Sebelumnya, pasangan Prabowo-Sandi juga pernah membuat laporan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dengan dugaan pelanggaran TSM oleh pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada saat tahapan pemilu berlangsung.
Dari uraian dalilnya yang dijabarkan dalam permohonannya, pemohon menilai bukti-bukti yang ada memadai untuk mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Amin, dan menyatakan pasangan Prabowo-Sandi sebagai pemenang Pilpres 2019, atau paling tidak Pilpres 2019 diulang secara nasional.
Belum ada definisi
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono, Sabtu, yang dihubungi dari Jakarta, menuturkan, belum ada satu definisi yang pasti terkait dengan TSM. Namun, dari praktik yang dilakukan MK dalam mengadili perkara pilkada selama ini, pelanggaran TSM bisa dirinci menjadi sejumlah indikator yang terukur.
”Terstruktur ialah kecurangan yang dilakukan penyelenggara pemilu atau pejabat dalam struktur pemerintahan secara berjenjang untuk memenangkan satu calon,” kata Bayu.
Ia melanjutkan, sistematis artinya kecurangan tersebut sudah dilakukan dengan perencanaan dan pengoordinasian secara matang sejak lama. Adapun masif berarti pelanggaran dilakukan secara besar-besaran di mayoritas tempat pemungutan suara (TPS).
Berbekal pengertian TSM tersebut, pemohon diberi kesempatan untuk membuktikan di persidangan, baik melalui alat bukti yang berupa surat, tulisan, saksi, maupun informasi yang tersimpan dalam bentuk elektronik yang menunjukkan ketiga indikator tersebut.
”Perlu diingat bahwa alat bukti TSM yang dihadirkan di MK sebaiknya merupakan alat bukti baru yang belum pernah digunakan saat mengadukan dugaan pelanggaran TSM ke Bawaslu. Sebab, Bawaslu sendiri terkait dengan berbagai pelanggaran, baik politik uang, pelibatan aparatur negara dan fasilitas negara dalam kampanye telah melakukan penindakan, dan digolongkan sebagai pidana pemilu, dan bukan pelanggaran TSM,” tutur Bayu.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, MK merupakan forum yang fair dan elegan bagi pemohon dan termohon untuk membuktikan dalil masing-masing melalui pembuktian. Dugaan pelanggaran TSM pun sudah pernah diputuskan oleh MK dalam Pilkada Jawa Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat.
Oleh karena itu, konstruksi putusan MK yang menyatakan TSM terbukti di kedua pilkada itu menarik untuk dikaji dan didalami oleh pemohon ataupun termohon dalam mempertahankan dalil masing-masing terkait dengan dugaan pelanggaran TSM.
Dalam putusan Kotawaringin Barat, misalnya, MK menyatakan pelanggaran TSM terbukti karena setelah dicek, sekitar 60 persen pemilih dijadikan relawan dari pemenang pilkada. Dengan mengasumsikan 60 persen pemilih adalah relawan salah satu pasangan calon, bisa dipahami jika kemudian calon tersebut memenangi pilkada.
Dengan demikian, dalil yang mengatakan kecurangan dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif terbukti. Putusan MK akhirnya mendiskualifikasi pemenang Pilkada Kotawaringin Barat dan menetapkan pemohon sebagai pemenang pilkada.
”Belajar dari putusan-putusan terdahulu, baik pemohon maupun termohon harus mampu mempertahankan dalil masing-masing. Kekuatan bukti menjadi pertimbangan utama mahkamah dalam memutus dugaan TSM,” ujar Veri.
Setelah putusan MK keluar, baik pemohon maupun termohon harus menerima putusan itu. Sebab, tidak ada mekanisme banding atas putusan MK. ”Putusan MK final dan mengikat. Karena itu, persidangan di MK menjadi sarana untuk adu bukti dan argumentasi bagi peserta pemilu,” katanya.
Jamin independesi hakim
Juru bicara BPN Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, mengatakan, bukti-bukti yang diajukan ke MK itu masih akan diperbaiki dan ditambah kelengkapannya. BPN Prabowo-Sandi meyakini bukti yang mereka ajukan akan bisa menguatkan dalil adanya kecurangan TSM yang dilakukan pasangan Jokowi-Amin.
Sementara itu, kuasa hukum Jokowi-Amin, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, pengajuan sengketa ke MK merupakan langkah yang tepat dan terhormat. Pihaknya menjamin tidak akan melakukan hal-hal di luar koridor hukum atau melakukan upaya-upaya tidak elegan untuk memengaruhi hakim konstitusi.
”Pasangan 01 sebagai pihak terkait dalam persidangan juga diberi kesempatan yang sama untuk menyanggah argumen dan alat bukti kuasa hukum pasangan 02. Kami juga diberi kesempatan untuk mengajukan saksi dan ahli kami sendiri untuk didengar majelis hakim,” ucap Yusril.
Apa pun putusan MK, lanjut Yusril, semua pihak wajib menerima dan menghormati. Kalaupun nanti ada ketidakpuasan atas putusan MK, hendaknya diungkapkan dalam batas-batas kewajaran dengan menjunjung tinggi etika dan sopan santun.
Ketua MK Anwar Usman menjamin independensi hakim konstitusi dalam memeriksa perkara sengketa hasil pilpres. Desakan atau tekanan massa terkait dengan persidangan perkara itu tidak akan memengaruhi hakim. ”Kami hanya mengkaji bukti yang dihadirkan di dalam persidangan,” katanya.