Peluang Milenial di Kartu Pra Kerja
Rencana pemerintah menghadirkan kartu pra kerja, membuka peluang memperbaiki problem kesenjangan antara peluang kerja dan skill pekerja milenial.
Bagi Pemerintah, program Kartu Pra Kerja bisa menjadi investasi untuk meningkatkan kualitas pencari kerja dan bentuk optimisme menyambut era bonus demografi. Fungsi kartu itu untuk mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia agar dapat bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional.
Program ini juga memberikan angin segar bagi para pencari kerja. Program itu bisa menjadi terobosan bagi generasi milenial yang baru saja lulus sekolah atau kuliah untuk mencari pekerjaan di di tengah era disrupsi saat ini.
Kartu Pra Kerja idealnya mampu menjadi jembatan bagi para pencari kerja untuk menjawab kebutuhan dunia usaha melalui layanan pelatihan vokasi. Melalui Kartu Pra Kerja, lulusan pendidikan menengah dan tinggi akan memperoleh pelatihan pada berbagai bidang secara khusus guna meningkatkan kualitas calon pekerja sebelum memasuki dunia kerja.
Pelatihan bisa dilakukan di dalam maupun di luar negeri. Di samping mendapat pelatihan, pemegang kartu juga bakal mendapat tunjangan selama masa tertentu. Pemerintah menargetkan ada dua juta orang yang akan bekerja di tahun 2020.
Peliknya Pengangguran
Jika ditelisik lebih jauh, munculnya gagasan kartu Pra Kerja tidak terlepas dari peliknya persoalan pengangguran yang masih membelit negeri ini. Dengan tingkat pengangguran sebesar 5,34 persen, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara di Asia Tenggara dengan tingkat pengangguran tertinggi.
Angka pengangguran Indonesia berada di peringkat kedua, di bawah Brunei Darussalam. Kondisi itu mencerminkan kondisi pasar tenaga kerja Indonesia masih relatif terbatas.
Data lain juga menunjukkan lapangan kerja di Indonesia cenderung menyempit. Hasil survei konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja sejak bulan Maret 2018 selalu berada di bawah angka 100.
Terbaru, pada bulan Maret 2019 indeks berada di posisi 95,2. Hal itu berarti sudah lebih dari satu tahun masyarakat mendapatkan kesulitan yang lebih dalam untuk mendapat pekerjaan.
Masyarakat tidak hanya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain tidak sedikit pekerja yang keluar dari pekerjaannya karena kemampuannya tidak cocok dengan pekerjaan yang dipilih.
Hasil penelitian Bank Mandiri yang berjudul EconMark edisi Desember 2018, mengungkapkan sepanjang tahun 2016-2017, jumlah orang yang keluar dari pekerjaan karena alasan kemampuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan meningkat hingga 90,2 persen atau hampir dua kali lipat.
Hal ini terjadi lantaran sebuah sektor pekerjaan terlihat menarik bagi lulusan baru tetapi setelah dijalani, mereka menyadari bahwa kemampuannya tidak cocok untuk pekerjaan yang dipilih. Hal itu mengindikasikan bahwa jalur pendidikan yang dipilih oleh para pelajar semakin banyak yang tidak mampu menjawab kebutuhan industri.
Mencermati angka pengangguran berdasarkan jenjang pendidikan yang ditamatkan, tampak bahwa pengangguran lulusan SMK masih yang tertinggi dibanding dengan lulusan dari jenjang pendidikan lainnya.
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2018 jumlah pengangguran tertinggi di Indonesia merupakan lulusan SMK dengan persentase mencapai 11,24 persen dan SMA dengan persentase 7,95 persen.
Sementara, pengangguran di jenjang pendidikan SMK dan SMA tersebut berada pada kelompok generasi milenial. Mengacu pada Profil Generasi Milenial Indonesia 2018 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik, generasi milenial Indonesia adalah Penduduk Indonesia yang lahir antara tahun 1980-2000.
Sekitar separuh dari jumlah penduduk usia produktif menurut BPS, pada dasarnya merupakan generasi milenial. Adapun sekitar dua pertiga dari generasi milenial masuk merupakan angkatan kerja dan lebih kurang satu dari 10 dari mereka berstatus pengangguran.
Industri Keempat
Jika ditelisik lebih jauh, tingginya persentase pengangguran lulusan SMA atau SMK antara lain disebabkan mereka belum memiliki keahlian yang sejalan dengan kebutuhan pasar kerja. Penyebab lain dari mulai daya serap industri yang tidak seimbang dengan jumlah lulusan SMK, hingga guru yang tidak menguasai bidang ajarannya.
Selain soal pendidikan yang kurang sesuai dengan kebutuhan pasar, perkembangan revolusi industri 4.0 saat ini juga mendorong terjadinya disrupsi dalam berbagai bidang yang memberikan tantangan dan peluang bagi generasi milenial.
Teknologi baru dalam proses produksi dapat mengakibatkan hilangnya sejumlah pekerjaan. Studi-studi memperlihatkan bahwa sejumlah pekerjaan yang melibatkan tugas rutin menghadapi ancaman terbesar dari otomatisasi dan mesin. Akibatnya lapangan pekerjaan menjadi semakin berkurang akibat kemajuan teknologi.
Studi dari International Labour Organization (ILO) menjelaskan bahwa 56 persen pekerjaan di Asia Tenggara terancam tergantikan oleh otomatisasi dalam dua dekade mendatang. Di Indonesia sendiri, 64 persen pekerja industri garmen dan tekstil terancam otomatisasi.
Dalam EconMark edisi Desember 2018, tercatat sejumlah Industri yang berkembang pesat sepanjang periode Juni 2017-Mei 2018. Industri perangkat lunak dan jasa sistem informasi merupakan yang paling pesat pertumbuhannya di Indonesia, ASEAN, maupun secara global. Disusul oleh industri pariwisata dan industri keuangan.
Artinya bidang-bidang itulah yang masih tumbuh berkembang dan membuka kesempatan yang lebih banyak untuk para generasi milenial. Mereka yang ingin masuk dalam industri tersebut semestinya sudah harus bersiap dengan teknologi. Tidak hanya di Indonesia, pola yang hampir sama juga terjadi secara global.
Tantangan Implementasi
Harapan besar terhadap Kartu Pra Kerja itu tentu juga berhadapan dengan sejumlah tantangan. Paling tidak, ada ada dua tantangan yang layak dicermati yakni terkait pendanaan dan kejelasan roadmap atau peta jalan implementasi program ini.
Dengan angka pengangguran saat ini yang mencapai 5,34 persen atau sekitar 6,9 juta orang, dana yang dibutuhkan untuk merealisasikan program itu tentu tidak sedikit. Jika diasumsikan setiap orang mendapatkan tunjangan Rp 1 juta, maka anggaran yang perlu disiapkan bisa mencapai sekitar Rp 7 triliun.
Selain soal anggaran, belum jelasnya peta jalan atau roadmap untuk mewujudkan program itu masih dipertanyakan. Seperti dikutip dari laman Kompas.com (14/03/2019) menurut Guru Besar bidang Ilmu Manajeman Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Rhenald Kasali, kartu Pra Kerja akan bermanfaat bila terealisasi. Hanya saja Rhenald menilai perlu ada roadmap program tersebut yang dibuat oleh Kementerian Tenaga Kerja.
Sementara, peta jalan diperlukan untuk memperjelas subyek yang berhak mendapatkan jaminan sosial, bentuk bantuan dan jangka waktu pemberian bantuan pemerintah tersebut. Kemudian penting juga pemerintah mempertimbangkan rancangan pembiayaan, transformasi balai-balai latihan kerja, sertifikasi profesi dan keterlibatan perusahaan swasta dalam program ini. (LITBANG KOMPAS)