JAKARTA, KOMPAS – Jumlah keseluruhan pengajuan sengketa perselisihan hasil pemilu atau PHPU legislatif tahun 2019 turun dibandingkan dengan pengajuan PHPU dalam Pemilu 2014. Kecenderungan ini menunjukkan membaiknya mekanisme penyelesaian sengketa dalam proses pemilu, karena sebagian persoalan itu telah ditangani olen Badan Pengawasan Pemilu yang kini memiliki kewenangan eksekutorial yang lebih kuat.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur Bawaslu sebagai lembaga pengawasan dan ajudikasi yang menyidangkan sengketa dan persoalan tahapan pemilu, termasuk persoalan kecurangan dan pelanggaran administratif. Penguatan kelembagaan Bawaslu ini dipandang sebagai salah satu faktor menentukan dalam penyelesaian dan pencarian keadilan dalam Pemilu 2019.
Hingga Jumat (24/5/2019) malam, tercatat ada 327 pengajuan permohonan PHPU pileg. Permohonan itu terdiri atas 318 PHPU calon legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sisanya, 9 PHPU diajukan oleh calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan pengajuan sengketa pileg tahun 2014 yang mencapai 903 permohonan. Dari 903 permohonan itu, 263 perkara telah diregistrasi oleh MK.
Hampir semua partai politik (parpol) mengajukan sengketa Pileg dalam Pemilu 2019. Parpol yang mengajukan sengketa ialah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Berkarya, Partai Garuda, Partai Golkar, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Hanura, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasdem, Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai lokal Aceh.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, turunnya permohonan sengketa pileg itu dipandang sebagai sesuatu hal yang positif, karena hal ini antara lain menandai mekanisme penanganan perkara pemilu di level penyelenggara pemilu, terutama Bawaslu, membaik. Sementara itu, MK di sisi lain memandang turunnya permohonan itu antara lain dipicu perbedaan mekanisme registrasi perkara antara Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
“Kewenangan Bawaslu makin jelas pada setiap tahapan pemilu. Begitu juga sistem kontrol penyelenggara pemilu yang lebih tertata melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hal ini memicu munculnya rasionalitas bagi peserta pemilu, karena electoral justice bisa ditangani di tahapan penyelenggara pemilu,” kata Titi.
Kewenangan Bawaslu makin jelas pada setiap tahapan pemilu. Begitu juga sistem kontrol penyelenggara pemilu yang lebih tertata melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hal ini memicu munculnya rasionalitas bagi peserta pemilu, karena electoral justice bisa ditangani di tahapan penyelenggara pemilu
Kondisi ini berbeda bila dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang seolah menempatkan MK sebagai “keranjang sampah,” sehingga setiap perkara dibawa ke MK. Dengan mekanisme keadilan pemilu yang lebih baik, menurut Titi, peserta pemilu tidak perlu lagi membawa semua persoalan ke MK, karena mereka bisa mendapatkan keadilan melalui Bawaslu. Hal ini memicu turunnya permohonan sengketa pileg ke MK.
“Peserta pemilu atau caleg juga lebih menimbang betul untuk maju atau tidak ke MK, bilamana mereka telah mendapatkan putusan di level penyelenggara pemilu. Sebab, ketika putusan Bawaslu keluar, dan mereka maju ke MK, ada risiko biaya dan tenaga yang lebih besar. Terlebih kini, dalam sengketa hasil, Bawaslu juga memiliki data C1 sebagai pembanding bagi hasil rekapitulasi KPU,” kata Titi.
Di sisi lain, sebagian besar sengketa hasil pileg juga melibatkan persaingan antarcaleg dalam satu parpol. Kondisi ini kerap diselesaikan melalui mekanisme internal oleh parpol bersangkutan, dan tidak sampai dibawa ke MK. Panjangnya masa kampanye di satu sisi juga disinyalir membuat parpol dan caleg kehabisan logistik dan sumber daya untuk maju ke MK.
Perbedaan basis
Ketua MK Anwar Usman mengatakan, pada dasarnya perkara atau kasus yang muncul dalam Pemilu 2019 sama banyaknya dengan Pemilu 2014. Hanya saja persoalan itu muncul di daerah-daerah pemilihan (dapil). Dari catatan MK, sudah ada 900 perkara atau kasus yang muncul di dapil bila dirinci dari 327 permohonan yang didaftarkan ke MK. Namun, tidak semua perkara itu diregistrasi.
Wakil Ketua MK Aswanto mengatakan, perbedaan basis registrasi perkara menjadi pembeda antara sengketa Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
“Kalau dari sisi persoalan yang muncul, sebenarnya sama tingginya. Hanya saja, basis registrasi di MK sekarang ialah provinsi. Artinya, untuk satu parpol yang mendaftarkan lebih dari satu sengketa di daerah atau provinsi yang sama, MK hanya mencatatkannya sebagai satu perkara. Dengan demikian, jumlah perkara teregister menjadi lebih sedikit,” katanya.
Kalau dari sisi persoalan yang muncul, sebenarnya sama tingginya. Hanya saja, basis registrasi di MK sekarang ialah provinsi. Artinya, untuk satu parpol yang mendaftarkan lebih dari satu sengketa di daerah atau provinsi yang sama, MK hanya mencatatkannya sebagai satu perkara. Dengan demikian, jumlah perkara teregister menjadi lebih sedikit
Dari 327 permohonan yang masuk hingga Jumat malam, Aswanto memerkirakan akan ada 280-300 perkara yang bisa diregister. Jumlah ini sebenarnya tidak terlalu berbeda bila dibandingkan dengan perkara yang diregister tahun 2014, yakni 263 perkara. Bahkan, bila dilihat dari perkara yang diregister, ada kecenderungan naik.
“Kami sejak awal memperkirakan ada 300 perkara yang akan ditangani MK dalam Pemilu 2019,” ujarnya.
Aswanto mengatakan, pihaknya tidak membeda-bedakan penanganan sengketa pileg dan pilpres. Namun, UU Pemilu memberikan batas waktu yang berbeda bagi kedua sengketa itu. MK diberi waktu untuk 30 hari untuk memutus sengketa pileg, sedangkan untuk sengketa pilpres hanya diberi waktu 14 hari. Dengan batasan itu, MK akan lebih dulu memutus pilpres, yakni pada 28 Juni 2019, sedangkan sengketa pileg paling lambat diputus 9 Agustus 2019.
“Untuk pilpres tidak ada perbaikan permohonan karena waktunya sempit, sedangkan untuk pileg ada kesempatan perbaikan,” katanya.