Kepolisian menginvestigasi video berisi konten penganiayaan yang diduga dilakukan personel Polri. Analisis komprehensif akan dilakukan untuk mengetahui kapan dan di mana peristiwa dalam video itu terjadi.
JAKARTA, KOMPAS - Kepolisian Negara RI menginvestigasi sejumlah video yang viral di dunia maya yang berisi konten penganiayaan yang diduga dilakukan anggota kepolisian. Hasil investigasi terhadap video dan kontennya akan disampaikan secara terbuka kepada publik.
Penyelidikan terhadap konten-konten video yang viral di media sosial itu akan dilakukan tim Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
”Kami belum bisa memastikan video itu kapan dan di mana kejadian sebenarnya, kemudian siapa saja yang terlibat, karena perlu klarifikasi. Kami belum bisa sampaikan sebelum ada proses pembuktian berdasarkan analisis dan penelitian komprehensif ilmiah yang dilakukan tim siber,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo di Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Di sejumlah media sosial menyebar rekaman video yang diberi narasi sebagai pemukulan oleh anggota Polri terhadap seorang remaja. Di video itu disebutkan, remaja itu menjadi salah satu korban tewas akibat kerusuhan seusai unjuk rasa terkait hasil Pemilu 2019 di Jakarta.
Menurut Dedi, setelah proses penyelidikan selesai, Polri akan menyampaikan hasil investigasi untuk mengungkap fakta dan mengklarifikasi narasi yang muncul dalam video itu.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam pernyataan persnya, menyampaikan, saat ini yang harus menjadi prioritas aparat berwenang ialah meluncurkan investigasi yang efektif dan menyeluruh terhadap kematian akibat kerusuhan, sekaligus mencegah kekerasan lebih lanjut. Kegagalan menginvestigasi dan membuat pelakunya bertanggung jawab bisa memberi sinyal impunitas, sekaligus menimbulkan risiko berlanjutnya lingkaran kekerasan.
”Polisi bertugas menjaga ketertiban umum, dan dalam menjalankannya, mereka diperbolehkan menggunakan kekuatan (kekerasan), hanya saat hal itu amat dibutuhkan,” katanya.
Hoaks Brimob
Masih terkait kerusuhan pada 21-22 Mei, Polri menangkap SDA (59) yang diduga menyebarkan informasi bohong terkait anggota Brimob Polri yang disebut merupakan warga negara asing.
Kepala Subdirektorat II Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Besar Ricky Naldo Chairul, Jumat, mengungkapkan, SDA ditangkap di Bekasi, Jawa Barat, Kamis. Penangkapan SDA dilakukan setelah viral sebuah pesan di grup Whatsapp terkait adanya anggota Brimob Polri asal China yang ikut serta mengamankan aksi massa 21 Mei di Jakarta.
Dari hasil patroli siber, menurut Ricky, SDA menggunakan foto hasil swafoto seorang peserta unjuk rasa yang berlatar tiga anggota Brimob Polri yang bertugas mengamankan unjuk rasa di Jalan Thamrin. Dalam foto itu tiga anggota Polri menggunakan penutup muka sehingga hanya terlihat matanya. Foto itu ditambahi narasi bahwa Polri memperbolehkan anggota kepolisian dari China menjaga keamanan aksi massa itu.
”Yang bersangkutan menyebarkan pesan itu ke 3-4 grup Whatsapp sehingga informasi itu viral. Penegakan hukum dilakukan kepada yang bersangkutan karena ia melakukan hal itu sengaja untuk menyebabkan keonaran,” ujar Ricky.
Adapun dua dari tiga anggota Brimob Polri dalam foto itu, yaitu Brigadir Polisi Satu (Briptu) Raja Hiskia Rambe dan Briptu Ib Benuh Habib, memastikan mereka anggota Polri dan warga negara Indonesia.
Dalam kesempatan itu, SDA mengaku hanya menerima informasi itu dari seseorang, lalu meneruskannya. ”Saya khilaf sehingga saya ikut menyebarkan berita itu,” kata SDA.
Terkait pembatasan fitur media sosial beberapa hari terakhir, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, di Jakarta, memastikan, pemerintah tak memblokir media sosial, tetapi hanya mengatur agar pengiriman gambar atau video melalui media sosial atau Whatsapp menjadi lebih lambat.
Menurut Rudiantara, gambar ataupun video yang beredar melalui media sosial, termasuk WA, terkait penolakan hasil Pemilu 2019 tak seluruhnya benar. Ada yang merupakan kabar bohong. Padahal, gambar atau video itu lebih gampang menyulut emosi masyarakat.
Rudiantara belum bisa memastikan masa pembatasan fitur media sosial itu. Apabila perkembangan di masyarakat kian kondusif, pembatasan bermedia sosial bisa diakhiri.