Sejarah Madiun Selain Komunisme
Judul Buku : Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX
Judul Asli : The Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century
Penulis : Ong Hok Ham
Penerjemah : Oni Suryaman
Cetakan : Pertama, November 2018
Halaman : I + 374 hlm
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
ISBN : 978-602-481-061-0
Buku Madiun dalam Kemelut Sejarah dibuka dengan narasi sejarah lokal di sekitar Madiun. Ong Hok Ham telaten menggali data melalui kronik-kronik setempat, seperti Babad Ponorogo dan Babad Patjitan yang sering diabaikan atau justru malah diharamkan para penulis sejarah. Namun, kita tahu, penulis buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara (2002) ini sangat akrab dengan mitos-mitos kecil ataupun besar yang membangun Indonesia.
Data dari kronik lokal itu digunakan Ong untuk mempertegas alur berbagai peristiwa besar yang pernah mewarnai Madiun di era lampau, seperti pemberontakan Trunojoyo-Kajoran abad ke-17, perlawanan Raden Surabrata abad ke-18, rembetan Perang Pecinan tahun 1742, hingga pecahnya aliansi dan ketidakstabilan politik di wilayah ini pasca-Perjanjian Giyanti tahun 1755.
Mula-mula buku ini berfokus pada pembahasan ”politik patronase” Jawa (manunggaling raja-rakyat), yang mengurai detail-detail simpul hubungan dunia priayi dan petani di Keresidenan Madiun dari abad ke abad dengan sorotan utama dunia agraris di Jawa abad ke-19. Topik perubahan desa dan berbagai resistensi yang pernah muncul antara kaum tani dan para elite jadi kajian pokok yang dibahas di buku ini.
Dalam sistem pemerintahan teokrasi Jawa, patron memegang monopoli kekuasaan penuh pada segenap perangkat dan hambanya, termasuk kaum petani. Namun, dalam sejarah kelembagaan agraris di Jawa pernah terdapat beberapa desa yang secara tradisional merupakan institusi otonom—bawaan konsep desa perdikan (sima) di masa Hindu-Buddha. Meski secara sosial politik seluruh tanah (termasuk institusi desa) tetap jadi milik raja, patron (raja/elite) secara teoretis punya kewajiban untuk menyejahterakan klien (para petani).
Menjadi masalah ketika memasuki abad ke-19, khususnya setelah tahun 1830, pemerintah kolonial mengklaim hak yang sama sebagai juru penerus raja-raja Jawa di wilayah Mancanegara. Struktur hubungan priayi dan petani yang feodal dimanfaatkan kolonial untuk menerapkan sistem pajak sebagai ganti sistem upeti yang melahirkan kelembagaan ganda: hak atas tanah sekaligus tenaga kerja.
Ditambah, para elite Jawa mendukung Belanda sesudah melihat pola kolonial ini menghasilkan jauh lebih banyak ketimbang sistem feodal (upeti) yang sudah berjalan.
Kita tahu sejak akhir abad ke-18, para Pakubuwana, Hamengkubuwana, dan Mangkunegara telah jadi raja-raja kecil yang berkuasa dengan perkenan kolonial sekaligus bertahan hidup secara ekonomi dengan subsidi dari Belanda (Anderson, 2000: hlm. 423). Sejak terpecahnya Mataram pada 1755, istana hancur dan terpecah-pecah. Seolah Keraton, Negara Agung, dan Mancanegara hanya bisa disatukan dengan bantuan Belanda.
Ketika era sebelum abad ke-18 karisma kerajaan banyak dilekatkan pada pribadi sang raja, di era-era sesudahnya sejarah para raja banyak dipenuhi noda-noda. Bahkan, sejak permulaan abad ke-19, dalam catatan Ong, sudah tidak ada lagi raja yang karismatik (hlm 73).
Relasi desa-negara yang berubah, khususnya pada pola kepemilikan tanah dan sistem administrasi desa abad ke-19, banyak mengubah besar-besaran aspek dan struktur kehidupan masyarakat perdesaan.
Di buku ini, Ong menelusuri hierarki desa periode Mataram hingga masa kolonial untuk meneropong perubahan sistem upeti ke pajak yang memengaruhi hierarki sosial hubungan priayi dan petani sekaligus meneroka perubahan status hierarki tanah-tanah perdesaan di wilayah Keresidenan Madiun.
Misalnya, sebelum tahun 1830 terdapat sawah pusaka (asli) yang berada dalam kepemilikan kelas sikep. Sawah pusaka ini dulunya dimiliki oleh para pendiri desa yang dilanjutkan oleh keturunannya. Perubahan tanah pusaka menjadi tanah komunal terjadi, terutama pasca-Perang Jawa, tersebab Belanda—yang dalam perang tersebut banyak bersekutu dengan para bupati di wilayah Mancanegara—membutuhkan banyak biaya untuk menambal kerugian selama Perang Jawa, dengan penerapan kebijakan Cultuurstelsel (Tanam Paksa).
Awal 1830, penduduk Madiun terkena kewajiban sewa tanah, dibayarkan dalam bentuk kerja bakti. Mereka yang tak punya tanah meminta bagian lahan dan bupati lantas mengubah kepemilikan individu (tanah-tanah sikep) menjadi milik komunal. Pihak kolonial mengganti sistem, kaum elite menekan para pemilik tanah pusaka (tanah pribadi) menjadi tanah komunal (hlm 171).
Perubahan tanah pusaka menjadi tanah komunal dan tanggungan sistem tanam paksa yang memberatkan kaum petani ini kelak menimbulkan akibat buruk, di antaranya—seperti dalam temuan J.H Boeke dan Clifford Geertz—dualisme ekonomi dan involusi pertanian.
Alih-alih sistem machiavellianisme racikan Van den Bosch ini mampu melahirkan perubahan signifikan terhadap (ekonomi) masyarakat petani. Dengan diberlakukannya tanam paksa, kebudayaan masyarakat agraris di Jawa kian mengalami kemunduran.
Bisa dikatakan pengelolaan tanah dan sawah dengan mencangkok sistem kolonial ini sebagai biang kerok yang turut mengubah budaya masyarakat Jawa, terutama organisasi sosial dan struktur kelembagaan pemerintahan desa.
Pemerintah Belanda banyak mengenalkan institusi kolonial di ranah peradilan, hukum, juga sistem administrasi desa. Sebagai contoh, penghapusan sejumlah kabupaten di Keresidenan Madiun untuk menyederhanakan administrasi guna mempermudah pelaksanaan tanam paksa (di tahun 1877 dari total 32 kabupaten yang pernah ada di keresidenan ini dihapus jadi tinggal 5, seperti bisa kita saksikan hingga kini).
Sistem Tanam Paksa yang berciri menumpuk pekerja membuat lahan-lahan hutan berganti sawah. Pertumbuhan penduduk meledak tanpa diimbangi lahan memadai. Kemelaratan menjalar. Cara bertani dan beririgasi masyarakat menjadi kian rumit.
Meningkatnya kebutuhan tenaga kerja, perubahan penggunaan lahan, dan perubahan kebudayaan agraris masyarakat Indonesia, di antaranya memicu bangkitnya perlawanan-perlawanan agraria yang acak dan sporadis, seperti pemberontakan Raden Wanengsentika di Pacitan; peristiwa Pulung di Ponorogo, dan Gerakan Samin di Madiun-Ngawi.
Perlawanan dan pembangkangan di ranah agraris ini dalam catatan sejarah banyak mengilhami lahirnya gerakan Ratu Adil/Mesianisme (perlawanan terhadap kolonial atas ketidakadilan yang menimpa petani) dan memupuk tumbuhnya kepercayaan lokal/agama-agama penghayat (sebagai cara menolak perubahan tatanan sosial yang mendadak).
Betapa pun—dalam catatan Sartono Kartodirdjo—orang-orang Jawa yang secara fisik berbaku hantam dengan kaum penjajah ini hanyalah kelompok kecil para haji, jagoan setempat, petani dan unsur-unsur lain dalam kalangan orang kebanyakan.
Sementara kelas-kelas elite (priayi) telah menjadi perangkat yang patuh bagi Belanda untuk turut merayakan sistem Cultuurstelsel, yang sejatinya mengekploitasi habis-habisan lembaga dan dunia agraris pribumi (Ben Anderson, 2000: hlm. 424).
Buku-buku ”sejarah lokal” serupa yang ditulis sejarawan dan antropolog sebenarnya tidak bisa dibilang minim. Terjemahan disertasi sejarawan yang meninggal tahun 2007 ini bisa jadi salah satu buku babon tentang sejarah Madiun yang bisa disejajarkan dengan karya monumental Sartono Kartodirdjo mengenai perlawanan petani Banten abad ke-19.
Buku yang ditulis hampir 45 tahun lampau ini akan semakin menyemarakkan buku-buku penelitian sejarah lokal yang lebih dulu ada dalam edisi Indonesia.
Namun, ketika memasuki abad 20, Madiun, yang dulu bernama kawasan Mancanegara Wetan ini, jadi kelewat lekat dengan kisah-kisah pergolakan kaum merah.
Karena itulah buku ini perlu dibaca untuk membuka tabir historiografi daerah-daerah berpelat nomor AE supaya Madiun tak melulu pekat dengan horor komunisme.
Misbahus Surur Esais dan Pengajar di Fakultas Humaniora, UIN Maliki, Malang