Kiprah SMK di Era Industri Gelombang Keempat
Pemerintah merumuskan lima industri manufaktur unggulan nasional di era revolusi industri keempat. Satu dari lima industri itu adalah makanan dan minuman, yang membuka celah sekaligus tantangan bagi lulusan sekolah menengah kejuruan.
Revolusi industri keempat yang digadang-gadang akan membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi di tahun 2030, direspons oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dengan menyusun peta jalan industri. Sebagai strategi, lima industri dirancang akan menjadi penguat perekonomian nasional yakni industri makanan dan minuman, otomotif, elektronik, industri kimia dan industri tekstil.
Secara keseluruhan, sektor industri pengolahan adalah sektor yang memberikan sumbangan terbesar bagi perekonomian Indonesia. Hal ini tecermin dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 21,04 persen pada tahun 2018.
Industri yang paling besar sumbangannya adalah industri makanan dan minuman. Publikasi BPS menunjukkan bahwa tahun 2018, industri makanan dan minuman menyumbang Rp 690,5 tirliun atau sekitar 35 persen dari total industri pengolahan non migas. Selain sebagai penyumbang terbesar, nilai kontribusi industri makanan dan minuman bagi ekonomi Indonesia konsisten dan selalu meningkat sejak tahun 2010 hingga 2018.
Bahkan, peningkatan industri makanan dan minuman tercatat melampaui peningkatan PDB secara keseluruhan pada tahun lalu. Tercatat oleh BPS, peningkatan PDB sektor industri makanan dan minuman mencapai lebih kurang delapan persen sepanjang 2017-2018, sedangkan peningkatan PDB seluruh sektor hanya sebesar 5,17 persen sepanjang kurun waktu yang sama.
Pesatnya pertumbuhan industri makanan dan minuman juga berkorelasi positif terhadap tingginya penciptaan lapangan kerja baru dan penyerapan tenaga kerja. Sebanyak 4,9 juta orang tenaga kerja atau seperempat lebih dari total 18,3 juta tenaga kerja yang terserap di sektor industri, mengisi sub sektor industri makanan dan minuman pada tahun 2018.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan adanya peningkatan serapan tenaga kerja di seluruh sektor industri., sektor industri secara keseluruhan mampu menyerap 18,3 juta tenaga kerja pada tahun 2018. Angka serapan tenaga kerja ke sektor industri itu meningkat sebesar lebih kurang 18 persen dari 15,5 juta orang di tahun 2015 menjadi 18,3 juta pekerja di tahun 2018.
Kesiapan SMK
Di tengah perlambatan ekonomi global, Kemenperin juga memproyeksikan peningkatan industri di Indonesia sebesar 5,4 persen pada tahun 2019. Industri makanan dan minuman diharapkan memberikan andil 9,9 persen untuk mencapai target pertumbuhan tersebut.
Kondisi ini bisa menjadi peluang bagi penyerapan tenaga kerja di sektor industri khususnya makanan-minuman. Hanya saja, sejauh mana tenaga kerja yang ada mampu mengisi peluang ini?
Data BPS bulan Agustus 2018 menunjukkan, sebanyak 5,3 persen dari penduduk usia kerja Indonesia dan tergolong angkatan kerja masih menganggur. Penduduk yang menganggur tersebut tersebar di berbagai jenjang pendidikan mulai dari tidak sekolah hingga lulusan universitas.
Berdasarkan tingkat pendidikannya, proporsi pengangguran terhadap angkatan kerja di jenjang pendidikan SMK mencapai 11,24 persen. Proporsi ini tercatat paling tinggi dibandingkan jenjang pendidikan lain. Ironisnya, proporsi pengangguran terhadap angkatan kerja di jenjang pendidikan SD dan tidak lulus SD bahkan di bawah tiga persen.
Hal ini sangat disayangkan mengingat pendidikan SMK diharapkan dapat mencetak sumber daya manusia terampil dan kompeten yang link and match dengan sektor industri. Harapan tersebut terangkum dalam Peraturan Menteri Perindustrian No 03/M-IND/PER/1/2017, tentang Pedoman dan Pengembangan SMK Berbasis Kompetensi yang Link and Match Dengan Industri.
Selain itu, rerata nilai UNBK SMK menurun dari 62,15 tahun ajaran 2014/2015 menjadi 45,21 tahun ajaran 2017/2018. Hasil evaluasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara keseluruhan pun menurun dari kategori “cukup” menjadi “kurang”.
Dalam konteks yang lebih mikro, persoalan kuantitas Tenaga terampil siap kerja di bidang industri makanan masih terbilang minim. Siswa dengan program keahlian yang mensuport industri makanan dan minuman yaitu Tata Boga dan Kuliner baru sebanyak 99.539 di Indonesia atau sebesar 1,98 persen dari total siswa SMK di Indonesia.
Sisi positifnya, kondisi mikro menunjukkan lulusan SMK masih memiliki celah secara kuantitas untuk mengisi pasar industri makanan dan minuman. Sementara sisi negatifnya, gambaran pendidikan SMK secara umum menyiratkan problem kualitas pendidikan SMK yang menanti perbaikan dari berbagai pihak khususnya pemerintah.
Sistem Pendidikan
Sejauh ini, pemerintah juga telah memahami dan merespons kelemahan mutu lulusan SMK. Dari aspek yuridis, pemerintah merespons kondisi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian No 03/M-IND/PER/1/2017, tentang Pedoman dan Pengembangan SMK Berbasis Kompetensi yang Link and Match Dengan Industri. Presiden juga mengeluarkan instruksi No 6/2016 Tentang Revitalisasi SMK Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia.
Salah satu aspek yang menjadi fokus pembenahan mutu lulusan SMK adalah keterkaitan dan kesepadanan (link and match) kompetensi SMK dengan kebutuhan dunia industri. Guna mewujudkan ini, pemerintah menerapkan model pembelajaran teaching factory di SMK.
Mengacu pada publikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayan RI Tahun 2017, Pembelajaran teaching factory merupakan konsep pembelajaran di SMK dengan basis produksi/jasa. Pembelajaran ini mengacu kepada standar dan prosedur yang berlaku di industri dan dilaksanakan dalam suasana seperti industri sesungguhnya.
Besarnya kebutuhan keterkaitan dan kesepadanan SMK dengan dunia industri memang kian relevan dengan tuntutan zaman saat ini. Konsep semacam ini tak lagi hanya diterapkan di Indonesia. Bahkan, di sejumlah negara konsep ini sudah jauh lebih berkembang dan mapan.
Salah satu contohnya adalah pendidikan kejuruan di Jerman, yang menjadi contoh dan diterapkan sejumlah negara lain di Benua Eropa sejak tahun 2012. Model pendidikan kejuruan Jerman diadopsi juga oleh Yunani, Portugal, Italia, Slowakia dan Latvia serta Spanyol. Tahun 2013, tercatat hanya delapan persen warga Jerman berusia di bawah 25 tahun yang menganggur karena kesuksesan penerapan model pendidikan kejuruannya.
Jerman dikenal dengan pendidikan kejuruan yang menerapkan sistem pendidikan duale ausbildung, atau di kalangan internasional dikenal sebagai dual system. Prinsip pendidikannya adalah, para pelajar langsung belajar praktek di perusahaan. Lalu selama beberapa hari dalam seminggu mereka mendapat pelajaran di sekolah kejuruan.
Lulusan sekolah kejuruan di Jerman mendapatkan sertifikat kompetensi dari Kamar Dagang dan Industri Jerman (Industrie-und Handelskammer/IHK) yang dihargai oleh semua industri di Jerman. Bahwa SMK ada untuk menciptakan sumber daya yang siap bekerja adalah benar adanya.
Namun, bekal yang diberikan harus sesuai dengan peluang yang ada dan apa yang akan dicapai di masa depan. Utamanya industri makanan dan minuman, harus disiapkan tenaga kerja yang siap menggarapnya. (AGUSTINA PURWANTI/LITBANG KOMPAS)