Potret seorang lelaki menjual sepatu di antara aksi damai yang berujung rusuh, Rabu (22/5/2019) malam, diunggah David Lipson, koresponden ABC Australia untuk Asia Tenggara di Twitternya. Beberapa pasang sepatu jualannya rapi berjajar di trotoar. Sementara di latar belakang tampak rombongan massa.
”This legend was trying to sell me a pair of shoes in the middle of a riot. Mister! Only 100 thousand”, cuit Lipson.
This legend was trying to sell me a pair of shoes in the middle of a riot. Mister! Only 100 thousand. (David Lipson)
Selain pedagang sepatu itu, sejumlah pedagang kopi keliling atau ”starling”, pelesetan dari ”Starbuck Keliling”, lalu lalang di antara kerumunan massa dan petugas keamanan. Mereka tidak peduli bahaya mengancam saat kerusuhan pecah.
Aksi unjuk rasa yang semula damai di seputaran Gedung Badan Pengawas Pemilu, di Jalan Thamrin, itu berubah menjadi ”perang” batu, botol kaca, gas air mata, petasan, dan tembakan peluru.
Sifat khas pedagang jalanan, termasuk pedagang kaki lima yang liat dan tahan banting, itu pula yang menyebabkan semakin banyak kantong pedagang kaki lima (PKL) di sejumlah wilayah Jakarta. Kendornya penertiban menyebabkan bukan saja di Tanah Abang, Jakarta Pusat—yang sebelumnya tertib—tetapi juga di sejumlah kawasan lain kini PKL berkembang.
Kehadiran pengojek berbasis aplikasi yang kini turut merubung berbagai pusat keramaian, seperti mal, stasiun kereta api, dan (terbaru) sekitar stasiun MRT, juga otomatis menjadi pusat PKL, terutama penjual makanan dan minuman. Para pengojek daring biasa mangkal di trotoar, duduk lesehan sambil mengobrol di atas fasilitas pejalan kaki.
Seperti diwartakan Kompas, Senin (20/5/2019), okupasi PKL di trotoar Ibu Kota semakin mengkhawatikan. Fasilitas pejalan kaki di sejumlah kawasan dipenuhi PKL dan membuat para pejalan kaki ”mengalah” berjalan di aspal.
Para PKL yang berdagang di trotoar bukan melulu pedagang sementara. Di sejumlah lokasi malah disiapkan lapak-lapak permanen dengan konstruksi baja ringan. Kehadiran PKL di trotoar ini tampaknya mendapat toleransi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, penataan PKL akan disinkronkan dengan penataan trotoar. Ada syarat khusus, seperti trotoar harus selebar lebih dari 1,5 meter. Ada pula klasifikasi khusus PKL yang akan berjualan di trotoar.
Namun, kehadiran PKL di trotoar sebenarnya bukan saja sedikit banyak merampas fasilitas ruang pejalan kaki, tetapi juga menghadirkan keruwetan baru. Kendaraan yang diparkir para pembeli akan menjadi titik-titik kemacetan baru.
Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2015 memang memungkinkan trotoar dipergunakan untuk lokasi PKL sementara. Namun, hal itu memungkinkan dengan sejumlah persyaratan, seperti memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan, dan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah daerah, kecuali jika tujuannya memang Jakarta boleh kumuh semrawut asal warganya bahagia.