Sang Penjaga Ritme
Ruangrupa tak pernah berhenti berubah rupa. Komunitas itu terus mencari jati diri untuk memajukan seni rupa. Ade Darmawan (44), pendiri Ruangrupa, berakrobat di sela-sela kesibukan sebagai organisator, sekaligus berpartisipasi dalam pameran-pameran global dengan karyanya.
Kiprah awal Ade dalam dunia seni rupa secara luas dikenal ketika ia mendirikan Ruangrupa pada tahun 2000. Bersama lima kawannya, Hafiz, Lilia Nursita, Oky Arfie, Rithmi, dan Ronny Agustinus, ia mewujudkan ruang untuk berkreasi.
”Mau berekspresi, tetapi tak punya ruang. Jadilah kami nongkrong di indekos teman atau pinjam ruang di studio, galeri, dan pusat kebudayaan,” ujarnya.
Jejak Ade selanjutnya kian diperhitungkan. Anggota Dewan Kesenian Jakarta tahun 2006-2009 itu juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Jakarta Biennale tahun 2013-2018 dan masuk nominasi penerima penghargaan seni dunia Benesse Prize tahun 2016.
Ade juga dilibatkan dalam proyek global, seperti Riverscapes in Flux pada tahun 2012 dan Media/Art Kitchen pada tahun 2013. Saat ini pun, beberapa karya Ade tengah dipamerkan di Nanyang Technological University (NTU) Centre for Contemporary Art Singapura dan The Mills Hong Kong. Meski malang melintang dalam dunia seni, sosok itu tetap lekat dengan Ruangrupa.
Kini, Ade tengah menyongsong Documenta, pameran seni rupa kontemporer lima tahunan di kota Kassel, Jerman. Pameran yang melahirkan banyak seniman global itu diselenggarakan sejak tahun 1955.
”Ruangrupa ditunjuk sebagai artistic director Documenta pada tahun 2022. Kami artistic director Documenta pertama dari Asia,” ucapnya. Ruangrupa terpilih melalui proses seleksi selama enam bulan hingga Februari 2019. Model eksperimen sebagai studi kolektif seni dan rekam jejaknya membuat Ruangrupa menerima kepercayaan tersebut.
Ade membiarkan masyarakat melihat Ruangrupa sebagai komunitas. Bagi Ade sendiri, Ruangrupa adalah swarm, kerumunan. ”Apakah Ruangrupa kerumunan yang imajinatif, bandel, lincah, atau penurut, ya, macam-macam. Tetapi, kerumunan itu sehat. Kalau yang aneh-aneh sedikit, pasti ada,” ujarnya sambil tertawa.
Gurauan Ade itu seakan menggenapkan warna pada ruang-ruang yang ”semrawut” dengan karya seni di lantai dua Gudskul. Potongan-potongan gambar, papan dengan kalimat kritik sosial, televisi, dan grafiti kecil tumpang tindih di antara kardus-kardus.
Ruangrupa menempati bangunan di Jalan Durian Raya, bilangan Jagakarsa, Jakarta. Ade terlihat santai dengan celana pendek khaki, kemeja biru langit lengan pendek, dan sandal. Ia menyapa dan bersenda gurau dengan beberapa teman kerja di sela menyusuri lorong Gudskul, Senin (13/5/2019).
Berbincang-bincang dengan Ade diwarnai banyak tawa dalam sikap yang bersahabat. Begitu pula keseharian Ade untuk menjaga harmoni di Ruangrupa.
”Kenapa Ruangrupa bisa bertahan begitu lama? Lucunya, gue sering susah jawab. Kalau berantem pasti, tetapi lebih ke ide. Bukan personal,” ujarnya.
Elemen humor
Ade tak punya formula yang paten untuk mempertahankan Ruangrupa. Namun, humor menjadi elemen penting yang selalu menyelamatkan Ruangrupa dari konflik.
”Masyarakat itu cenderung feodal dan hierarkis. Dalam kerja kolektif Ruangrupa dan ekosistem ini, gue dan teman-teman meruntuhkan itu secara sadar atau tidak. Feodalisme malah kami bikin becandaan,” katanya.
Proses konstruktif dan destruktif itu terus berulang. Jika feodalisme terbangun, mereka akan menghancurkannya lagi. Kiat lain, kerabat kerja Ruangrupa sebenarnya mengagumi satu sama lain.
”Selalu ada kelebihan yang gue kagumi dari teman-teman. Yang lain pun begitu. Saling mengagumi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mereka malah lebih baik dari sekadar keluarga,” katanya.
Sesama individu saling mendorong untuk lebih maju. Jika rekannya sudah lama tak berkarya atau berpameran, mereka selalu berusaha mendorong dan membantu.
”Kami tak membunuh keberadaan individu, apalagi brand (komunitas) lain. Ruangrupa masih belajar bersama. Kami harus bergerak, bukan sudah dianggap melakukan pencapaian,” katanya. Ruangrupa terus mencari bentuknya. Ade harus selalu menyediakan energi untuk berproses.
”Gue enggak punya bayangan ke depan tentang Ruangrupa sebagai bentuk yang tetap. Maunya, gue terus menemukan model-model lain dari estetika sampai kelembagaan, mulai seni hingga edukasi,” tuturnya.
Ade merasa harus selalu bertanya. Jika berhenti, Ruangrupa dianggap sudah berakhir. Ruangrupa pun terus membesar tanpa pola yang kaku.
”Kalau keanggotaan Ruangrupa, enggak ada. Kami enggak berbasis itu. Datang saja dan ngobrol-ngobrol. Kalau tertarik, lalu secara alami terbangun energi dan sinergi yang baik, kita bisa kerja bareng,” ucapnya.
Jumlah individu yang pernah datang dan pergi untuk bertaut dengan ekosistem Ruangrupa bertambah, dari puluhan orang pada saat dibentuk menjadi ribuan orang saat ini.
Kelenturan
Bisa jadi Ade menyelaraskan aspek manajerial Ruangrupa dengan hobinya menggebuk drum. Penggebuk drum menentukan irama, sementara pemain musik lain bereksperimen atau berimprovisasi. Seringnya, Ade menjadi penjaga ritme dinamika Ruangrupa.
Meski demikian, Ade sangat fleksibel untuk berganti peran jika dibutuhkan. Ia mengistilahkan solusi adaptif itu bagai bermain sepak bola dengan strategi total football. Lantaran senang, Ade menjalankan macam-macam peran tersebut dengan lancar.
Rotasi juga dapat mengurangi kejenuhan. ”Bermain dengan pola rotasi seperti total football butuh kemampuan dan daya tahan yang baik. Tetapi, capek kayaknya enggak ada dalam kamus gue. Kalau teman ada masalah, bukan lantas bilang itu bukan urusan gue,” katanya.
Kelenturan itu pula yang menguatkan Ade menghadapi pasang surut dunia seni dengan lintang pukangnya. Ia lantas menuturkan pengalamannya yang termasuk paling mendebarkan ketika menjadi tuan rumah berbagai acara bagi ribuan orang yang berkunjung ke Gudang Sarinah Ekosistem (GSE) pada tahun 2016-2018.
Saat itu, Ruangrupa menempati GSE yang berada di Pancoran, Jakarta. Di tempat itu dilakukan beragam kegiatan skala kecil hingga besar, seperti pameran, lokakarya, diskusi, bahkan konser musik berskala besar.
”Kami belajar banyak dari pengelolaan acara-acara itu. Membangun ekosistem kreatif yang berhubungan dengan infrastruktur dan lingkungan sekitar hingga menangani kerusuhan konser musik,” ujarnya sambil tersenyum.
Ketertarikan Ade terhadap seni tumbuh dengan sendirinya. Ibu Ade adalah seorang mantan guru sekolah dasar dan almarhum ayahnya dosen jurusan matematika. ”Gue suka matematika sejak kecil. Matematika sangat visual. Orangtua juga senang musik. Visual dan musik tertanam dalam benak gue,” ucapnya.
Hingga saat ini, Ade menjadikan penggalan lirik lagu ”Giorgio by Moroder” dari kelompok musik elektronik Perancis, Daft Punk, sebagai salah satu inspirasinya.
Berikut terjemahan bebas lirik tersebut, ”Saat kau bisa membebaskan pikiranmu mengenai konsep harmoni dan musik yang kaku, kau bisa melakukan apa pun yang kau suka”.
Ade Darmawan
Lahir: Jakarta, 19 Juli 1974
Pendidikan:
- Sekolah Dasar Negeri 8 Kayuputih, Jakarta 1980-1986
- Sekolah Menengah Pertama Negeri 99 Jakarta 1986-1989
- Sekolah Menengah Atas Negeri 21 Jakarta 1989-1992
- Jurusan Seni Grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta 1992-1997