Warga desa yang merambah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dirangkul untuk memulihkan kawasan konservasi yang rusak.
BOLAANG MONGONDOW, KOMPAS— Sekitar 17.600 hektar hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, yang membentang dari Sulawesi Utara hingga Gorontalo, telah dirambah warga desa di sekitarnya. Alih-alih menuntut lewat jalur hukum, pengelola taman nasional berkolaborasi dengan warga untuk memulihkan hutan lindung demi menjaga keunikan keanekaragaman hayatinya.
Pengindraan jauh oleh Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) menunjukkan, sekitar 6,2 persen dari 282.000 hektar luas taman nasional dirambah selama 2018. Area paling terdampak pembalakan antara lain Kecamatan Dumoga Timur dan Dumoga Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulut.
Kepala Seksi Pengelola Taman Nasional Wilayah II TNBNW Agung Triono mengatakan, pengecekan di lapangan oleh petugas 11 resor teridentifikasi perambahan 1.120,3 hektar. ”Sebagian ditinggalkan menjadi area terbuka tidak aktif,” katanya, Sabtu (25/5/2019),
Menurut Agung, pembalakan yang sudah terjadi merupakan bentuk ketelanjuran. Hal ini karena TNBNW berbatasan langsung dengan area penggunaan lain milik warga, seperti permukiman, perkebunan, dan sawah. Perambahan belum benar-benar diatasi.
Protected Area Specialist Enhancing the Protected Area System in Sulawesi Hanum Bashari mengatakan, pembalakan di TNBNW, terutama di daerah Lembah Dumoga, mudah terjadi karena ketiadaan hutan penyangga, seperti hutan produksi. ”Di Dumoga, hutan ditebang, kemudian masyarakat menanam tumbuhan yang bukan asli kawasan, seperti jagung, cengkeh, dan cokelat,” kata Hanum.
Selama ini, pelanggaran disikapi dengan pendekatan litigasi melalui jalur hukum, tetapi tidak efektif. Memidana masyarakat, kata Agung, tidak akan memulihkan ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Untuk itu, rehabilitasi kawasan perlu melibatkan masyarakat sebagai mitra. Hal ini sesuai Peraturan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor 6 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Agung mengatakan, TNBNW mengembangkan konsep pemulihan ekosistem kolaboratif. Masyarakat diajak menanam tanaman kayu khas ekosistem TNBNW yang bernilai ekonomis, seperti pala, kemiri, durian, matoa, dan aren. Mereka mendapatkan keuntungan dari hasil hutan bukan kayu (HHBK) tersebut.
Selama 2018, warga 15 desa di Bolaang Mongondow bekerja sama dengan TNBNW dalam pemulihan ekosistem kolaboratif. Warga desa menanam pohon tanpa insentif uang, seperti di lahan 21 hektar di Tabang Mororok dan Toraut. ”Masyarakat tak lagi menjadi obyek hukum konservasi, tetapi subyek berdasarkan rasa saling percaya dan menghargai. Mereka harus jadi mitra sejajar yang dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pemulihan ekosistem kolaboratif menumbuhkan rasa ikut memiliki hutan lindung,” kata Agung.
Selain pemulihan ekosistem kolaboratif, warga sekitar TNBNW mendapatkan keuntungan dari izin usaha pemanfaatan air. Ada pula HHBK, seperti getah damar dan madu hutan, yang bisa dimanfaatkan. (OKA)