Anak Susah Makan Hambat Penanggulangan Tengkes
Minimnya literasi pangan dan gizi yang baik menghambat penanggulangan tengkes. Untuk itu, sistem pendidikan anak usia dini yang holistik integratif perlu diterapkan disertai sosialisasi pendidikan pangan dan gizi di masyarakat.
Literasi pangan dan gizi di masyarakat, terutama orangtua, menjadi kunci dalam penanggulangan masalah gizi kurang pada anak sejak usia dini.
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya literasi pangan dan gizi yang baik menghambat penanggulangan tengkes. Untuk itu, sistem pendidikan anak usia dini yang holistik integratif perlu diterapkan disertai sosialisasi pendidikan pangan dan gizi di masyarakat, terutama orangtua, demi memenuhi kebutuhan gizi pada anak agar tumbuh kembang mereka optimal.
Selama ini, ketidaktahuan masyarakat, terutama orangtua terhadap gizi seimbang dan pola makan yang baik merupakan hambatan utama pemenuhan asupan nutrisi bagi anak untuk bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.
Hasil penelitian Pusat Studi Regional Pangan dan Gizi Asia Tenggara (SEAMEO RECFON) mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah anak tengkes (stunting) terbanyak nomor dua setelah Timor Leste di Asia Tenggara. Tengkes adalah keadaan pertumbuhan anak yang jauh di bawah standar minimal usianya atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronis.
Riset Kesehatan Dasar 2018 mengungkapkan, prevalensi tengkes Indonesia adalah 30,8 persen, di atas prevalensi global 21 persen. Penyebab utamanya adalah ketidaktahuan masyarakat mengenai pemberian makanan yang padat gizi dan pola makan yang baik.
Terkait hal itu, pemerintah melakukan intervensi dengan melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga, antara lain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Agama, Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan, untuk melakukan advokasi serta pelayanan di masyarakat.
Saat ini Kemdikbud membuat program pendidikan anak usia dini (PAUD) yang holistik integratif dengan mewajibkan penyelenggara PAUD untuk mendidik siswanya mengenai pola dan cara makan yang baik. Para guru juga harus mendampingi orangtua untuk menyosialisasikan pentingnya pemenuhan gizi seimbang bagi anak.
Salah satu contohnya adalah PAUD Wangi Melati di Desa Blado, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Masyarakat desa ini merupakan petani sayur, tetapi ternyata anak-anak mereka tidak memakan sayur. Bahkan, tidak memakan nasi, karbohidrat alami yang lain, ataupun buah.
”Dari 37 siswa, hanya 15 orang yang memiliki pola makan cukup baik, yaitu sumber karbohidrat, lauk, sayur, dan buah. Sisanya hanya mau makan jajanan seperti keripik dalam kemasan setiap hari,” kata Kepala Sekolah PAUD Wangi Melati Gerlang Kusmiyarsih saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (26/5/2019).
PAUD itu menerima siswa dari usia empat tahun hingga enam tahun. Gerlang menuturkan, ketika siswa pertama masuk PAUD, orangtua mengatakan anak mereka tidak memakan sayur, buah, lauk, dan sumber karbohidrat seperti beras, ubi, atau singkong. Anak-anak lebih senang memakan jajanan dalam kemasan dan minum soda ataupun sirup. Meski demikian, orangtua tidak menganggap hal itu sebgai masalah karena postur tubuh anak mereka gemuk.
Kewajiban di PAUD adalah tiap anak harus membawa bekal dari rumah yang menunya ditentukan pihak sekolah sehingga dipastikan harus ada sayur, lauk, dan buah segar. Lauk bisa berupa tahu, tempe, telur, ikan, ataupun daging.
”Mayoritas anak menangis ketika membuka kotak bekal dan menemukan isinya bukan makanan ringan. Mereka kemudian mogok makan sehingga guru harus benar-benar membujuk agar mereka mau makan,” ujarnya.
Untuk membuat anak mau makan makanan yang bergizi seimbang, pihaknya membutuhkan waktu dua bulan. Itu pun jika orangtua benar-benar melaksanakan saran yang diberikan oleh guru sehingga ketika di rumah mereka juga membiasakan anak untuk makan dengan benar.
Kendala yang kerap terjadi adalah orangtua menuruti nasihat guru pada pekan pertama. Namun, hari-hari berikutnya bekal anak kembali berupa mi instan dan beberapa bungkus keripik. Guru harus telaten mendampingi orangtua agar tidak keluar dari jalur.
Diet buruk juga dialami para siswa PAUD dan Tempat Penitipan Anak (TPA) Quantum Kids di Pekanbaru, Riau, yang siswanya dimulai dari usia 3 bulan. Kepala Sekolah PAUD dan TPA Quantum Kids Farida Nasri mengatakan, meski diisi oleh anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas, pola makan mereka juga buruk.
Di rumah anak-anak tidak makan karbohidrat, protein, sayur, dan buah. Mereka hidup dengan diet susu formula dan biskuit dalam kemasan. Fenomena itu terjadi dalam tujuh tahun terakhir ini di sekolahnya. ”Orangtua menganggap biskuit dan susu formula sudah memiliki gizi yang lengkap,” kata Farida.
Orangtua menganggap biskuit dan susu formula sudah memiliki gizi yang lengkap.
Sekolah mewajibkan orangtua mengemas bekal untuk makan tiga kali sehari di sekolah dengan menu bergizi seimbang. Apabila orangtua tidak sempat memasak, mereka boleh membeli dengan syarat dari warung atau rumah makan yang bersih dan makanannya tidak mengandung penyedap serta vetsin.
”Makanan cepat saji, keripik, permen, soda, goreng-gorengan dilarang di sekolah,” kata Farida. Orangtua cukup mudah untuk dinasihati karena mayoritas berpendidikan. Ketika diinformasikan bahwa pola makan anak selama ini salah, mereka segera berubah. Kalaupun harus makan di restoran, mereka memastikan makanan yang dipesan sehat.
Pendampingan kepada orangtua juga dilakukan kepada mereka dengan anak bayi. Fari menerangkan, hal ini untuk persiapan orangtua memberi makanan pendamping air susu ibu (ASI) ketika bayi genap berumur enam bulan. Jangan sampai bayi hanya memakan bubur instan tanpa ada tambahan sayur, buah, dan protein.
Faktor budaya
Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan SEAMEO CECCEP (Pusat Pendidikan Anak Usia Dini dan Parenting Asia Tenggara) Edi Rukmana memaparkan, budaya Indonesia masih condong kepada pemahaman makan untuk mengenyangkan perut. Jadi, makan tidak dianggap sebagai sumber energi dan penjamin mutu tumbuh kembang anak hingga kesehatan orang dewasa.
”Ditambah lagi masih ada tradisi di beberapa daerah makanan yang enak, seperti ikan dan ayam, hanya diberikan kepada ayah, kadang-kadang juga anak laki-laki. Ibu dan anak perempuan makan seadanya sehingga gizi tidak tercukupi,” ucapnya.
Akibat tumbuh kembang bermasalah, ketika dewasa tubuh juga tidak berfungsi maksimal. Perempuan yang tengkes di masa kecil ataupun kurang gizi akan mengalami berbagai permasalahan di kala hamil sehingga bayi yang dilahirkan kecil dan tidak sehat.
Edi menuturkan, salah satu program yang dilakukan adalah memperkuat diversifikasi pangan. Warga diajak untuk memaksimalkan pangan lokal, yaitu mencukupi kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat, zat besi, dan seng dari sumber pangan yang ada di sekitar mereka sehingga tidak memberatkan pengeluaran keluarga. Prinsip ini sukses diterapkan di Vietnam dengan landasan kolam, kandang, dan kebun sebagai sumber pangan.