Pustaka Bentara akan membedah buku Putu Setia “Lentera Batukaru“ (Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, 2019), sebuah novel memoar yang bertutur tentang keluarga-keluarga sederhana di lereng Gunung Batukaru, Bali, Rabu (29/5/2019) pukul 19.00 di Bentara Budaya Bali.
Sekitar tahun 1960-an, keluarga-kekuarga miskin tanpa pendidikan memadai di Batukaru terbawa pusaran arus sejarah yang kemudian disebut tragedi G-30-S/PKI, berlanjut hingga pemilu pertama Orde Baru, 1971. Kemelut itu, yang sering tidak jelas siapa kawan mana lawan, sering diwarnai sederetan kisah kemanusiaan yang pilu.
Putu Setia, yang kini menyandang nama pendeta Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda menuturkan cerita pedih tersebut dengan memilih pendekatan jurnalistik. Dia mengedepankan reportase dan teknik jurnalistik yang berimbang dan tidak sepenuhnya menggunakan bahasa sastra, dengan demikian tragedi dituturkan tanpa kemarahan, bahkan tanpa nada benci.
Pesan yang dikedepankan adalah bagaimana seseorang pasrah menerima takdir namun tetap beritikad memperbaiki diri lewat pendekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dia mengajak untuk memilih jalan kedamaian atau jalan spiritual, dengan menyalakan lentera di lereng Batukaru yang indah dan sejuk itu.
Pergulatan panjang Putu Setia itu terkisahkan juga dalam bukunya. Bagaimana perjuangannya bersekolah, upaya meraih masa depan melalui profesi jurnalistiknya (Bali Post, Tempo, dan sejumlah media lain), hingga berketetapan hati mendirikan pasraman Manikgeni di Pujungan, Tabanan dan ditasbihkan sebagai Pendeta Nabe pada 3 Juli 2012.
Kali ini, Pustaka Bentara bekerja sama dengan Penerbit KPG, menghadirkan narasumber Widminarko (77), pelaku sejarah pada era 1960-an, sekaligus seorang jurnalis yang meraih puncak karir sebagai pimpinan redaksi di Bali Post dan Ketua PWI Bali selama dua periode. Turut bertimbang pandang sebagai narasumber budayawan Wayan Westa (54) yang juga menekuni dunia jurnalistik.
Widminarko adalah jurnalis senior Bali, lahir di Banyuwangi, 8 April 1942 dan menetap di Bali sedari tahun 1962. Ia pernah menempuh pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Mengawali karir sebagai wartawan di Bali Post sejak tahun 1965 dan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi/Wakil Penanggung Jawab Bali Post sejak 1 Mei 1968 hingga 31 Desember 2000.
Ia juga pernah menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Tokoh serta menjabat Ketua PWI Bali (periode 1983-1991). Ia juga menerbitkan sejumlah buku, antara lain Widminarko Mandiri Belajar Sendiri (2013), Bali Dalam Ledakan Penduduk (2012), Era Aji Mumpung (2012), Tantangan Profesi Wartawan Berita Kisah (2001).
Adapun Wayan Westa, lahir di Klungkung, 27 Januari 1965. Menekuni dunia jurnalistik, tulisannya tersebar di sejumlah media; Mingguan Karya Bhakti, Harian Nusa, Bali Post, Kompas, dan Radar Bali. Tahun 2000-2009 bekerja sebagai Redaktur Majalah Gumi Bali SARAD. Tahun 2010-2012 dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi Majalah SABDA.
Wayan juga menyunting sejumlah buku diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, Wulan Sedhuwuring Geni (antologi cerpen dan puisi daerah), Seribu Kunang-Kunang di Manhatan (terjemahan dalam 13 bahasa daerah), dan Sunari (novel bahasa bali karya Ketut Rida); Rabindranath Tagore, Puisi Sepanjang Zaman (Penerbit Yayasan Darma Sastra, 2002). Dia juga menulis buku Tutur Bali, diterbitkan Yayasan Deva Charity, Utrecht, The Netherlands.
Sementara Putu Setia yang kini bergelar Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda merupakan putra kelahiran Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, 4 April 1951. Ia pernah pula menjadi wartawan di beberapa media, di antaranya Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara, Berita Yudha, Bali Post, dan Forum Keadilan. Ia menulis kolom bertajuk Cari Angin di Koran Tempo (dirangkum dan diterbitkan tahun 2014). Cerita-cerita pendeknya terkumpul dalam sebuah buku antologi berjudul Intel dari Comberan (1994). Dua cerita pendeknya juga pernah dimuat dalam sebuah antologi berjudul Bali Behind The Seen (1996), yang disunting oleh Vern Cork. Ia juga menulis esai tentang kehidupan di Bali, yang dikompilasikan ke dalam buku berjudul Menggugat Bali (1986), edisi revisi terbit tahun 2014 dengan judul Bali Menggugat. Buku ini pun memiliki sekuel berjudul Mendebat Bali (2002) dan Bali yang Meradang (2006). Menerbitkan buku berjudul Wartawan Jadi Pendeta (2013), yang berisi tentang kisah hidupnya beralih profesi dari wartawan menjadi pemuka agama. (ABK)