KPU telah merampungkan rekapitulasi hasil Pemilu Presiden 2019 yang menyimpulkan keunggulan pasangan Jokowi-Amin. Pasangan ini menguasai hingga 21 provinsi di negeri ini. Sebaliknya, pasangan Prabowo-Sandi unggul di 13 provinsi. Pertanyaannya, apakah kemenangan dan kekalahan di suatu provinsi terkait dengan besaran prestasi yang ditoreh Presiden Jokowi dalam periode kepemimpinannya?
Oleh
BESTIAN NAINGGOLAN
·6 menit baca
Rekapitulasi suara KPU pada Pemilu Presiden 2019 menunjukkan kemenangan Jokowi-Amin tidak lepas dari keberhasilan pasangan ini menguasai hingga 21 provinsi di negeri ini. Sebaliknya, pasangan Prabowo-Sandi unggul di 13 provinsi. Pertanyaannya, apakah kemenangan dan kekalahan di suatu provinsi terkait dengan besaran prestasi yang ditoreh Presiden Jokowi dalam periode kepemimpinannya?
KPU telah merampungkan rekapitulasi hasil Pemilu Presiden 2019 yang menyimpulkan keunggulan pasangan Jokowi-Amin, dengan proporsi 55,5 persen suara. Sebaliknya, pasangan Prabowo-Sandi mengumpulkan 44,5 persen suara pemilih. Dengan keterpautan hingga 10 persen tersebut, Jokowi mampu memperluas penguasaannya dibandingkan rivalitas mereka pada Pemilu 2014 tatkala hasil keduanya terpaut 6,3 persen saja.
Jika ditelusuri sebaran di setiap provinsi, sekalipun Jokowi mengungguli Prabowo, penguasaan kedua pasangan tersebut nyatanya tidak merata. Hampir di setiap provinsi terbangun peta penguasaan pemilih dengan proporsi keunggulan yang berjarak sangat signifikan. Pasangan Prabowo-Sandi, misalnya, besaran suara yang dikuasai dalam pemilu kali ini didominasi dari hasil kontribusi di 13 provinsi.
Secara khusus, pada 13 provinsi yang menjadi wilayah kekalahan Presiden Jokowi, didapati justru terjadi peningkatan signifikan laju pertumbuhan IPM dalam lima tahun terakhir.
Di Sumatera, mulai dari Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu berhasil dikuasai. Di Kalimantan, Prabowo berhasil mempertahankan Kalimantan Selatan. Sementara di Sulawesi, ia menguasai Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Wilayah Jawa, Jawa Barat dan Banten tetap terkuasai. Di luar Jawa, NTB dan Maluku Utara juga berhasil dipertahankan.
Secara keseluruhan, pada 13 provinsi tersebut, Prabowo-Sandi mampu mengungguli pasangan Jokowi-Amin dengan selisih keunggulan yang signifikan, hingga 25 persen.
Begitu pula pasangan Jokowi-Amin. Mereka mampu mengungguli Prabowo-Sandi oleh karena besaran dukungan suara yang juga besar di 21 provinsi. Selisih di antara keduanya bahkan mencapai 34 persen.
Peta penguasaan pemilih semacam ini semakin menunjukkan geopolitik keterpilahan yang semakin dalam di negeri ini. Gambaran paling nyata jika dicermati hasil perolehan dari kedua pasangan calon presiden dan membandingkannya dengan hasil yang mereka torehkan pada Pemilu 2014.
Bagi Jokowi, porsi penguasaan suaranya pada total Sumatera menurun sangat signifikan. Jika pada Pemilu 2014 menguasai hampir separuh pemilih, kalah tipis dari Prabowo, kini menyusut menjadi 42,6 persen.
Penyusutan dukungan terbesar Jokowi terjadi pada Sulawesi, khususnya di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Dari semula di Sulawesi ia menguasai 62,2 persen, kini menjadi 51,5 persen. Selain itu, kekalahan Jokowi di Kalimantan Selatan dengan selisih yang semakin membesar juga turut mengurangi penguasaannya di seluruh Kalimantan.
Akan tetapi, di sisi lain Jokowi mampu mendongkrak penguasaan suara pemilih di kawasan kunci seperti Pulau Jawa. Pada kawasan dengan jumlah pemilih terbesar tersebut, ia mampu memperlebar jarak keterpilihannya dengan Prabowo, dari hanya sekitar 3 persen menjadi hampir 16 persen. Sekalipun Jokowi tidak mampu memperluas penguasaannya di Jawa Barat, di Jawa Tengah dan Jawa Timur suaranya meningkat drastis.
Peningkatan drastis juga terjadi di Bali, NTT, Papua, dan Papua Barat. Seperti juga di wilayah kemenangan lainnya, pada wilayah-wilayah tersebut pendukung Jokowi menjadi kian dominan.
Kondisi yang tidak berbeda juga pada wilayah yang berhasil dikuasai Prabowo. Selain mampu meningkatkan suara secara signifikan di Sumatera, Prabowo semakin memperkuat basis keterpilihannya di tingkatan provinsi seperti Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Selatan. Pada ketiga wilayah tersebut, nyaris tidak ada perlawanan berarti yang ditampilkan Jokowi.
Dengan keterpilahan wilayah dukungan semacam ini, secara khusus menjadi pertanyaan besar bagi kepemimpinan Presiden Jokowi selama ini. Persoalannya, seberapa jauh faktor kinerja kepemimpinan ikut memengaruhi keterpilihan seseorang pemimpin dalam hal ini para petahana di setiap wilayah di negeri ini?
Apakah keterpilahan wilayah, antara provinsi yang dikuasai Jokowi dan provinsi yang menjadi wilayah kekalahannya, terkait dengan keberhasilan ataupun kegagalannya dalam memajukan wilayah-wilayah tersebut?
Pertanyaan demikian menjadi penting diketahui, pasalnya dalam ukuran-ukuran rasionalitas kinerja kepemimpinan selalu diposisikan sebagai penyebab dari keterpilihan sosok petahana. Semakin berhasil kepemimpinan seseorang dalam memajukan wilayah beserta penduduknya, dengan sendirinya semakin besar pula peluang kemenangannya.
Tidak berbanding lurus
Akan tetapi, dalam kasus kepemimpinan Presiden Jokowi tidak selamanya antara kinerja dan kemenangannya berbanding lurus. Analisis terhadap besaran proporsi penguasaan suara pemilih Jokowi di setiap provinsi dengan variabel-variabel pertumbuhan kesejahteraan dan pembangunan di daerah tersebut tidak menunjukkan suatu pola hubungan yang bersifat searah.
Semakin besar suara dukungan kemenangan pemilih di suatu provinsi yang dikuasai Jokowi tidak terkait dengan besaran kemajuan wilayah tersebut dalam lima tahun terakhir. Begitu juga sebaliknya, laju pertumbuhan kesejahteraan ataupun pembangunan yang rendah di suatu provinsi tidak terkait dengan semakin rendahnya angka keterpilihan Jokowi di daerah tersebut.
Dengan menggunakan beberapa indikator kesejahteraan dan pembangunan, seperti laju peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) setiap provinsi dalam lima tahun terakhir, laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) setiap provinsi juga dalam lima tahun terakhir, serta rata-rata angka pengangguran di tiap provinsi, terbukti tidak selalu paralel dengan besaran kemenangan Jokowi.
Begitu pula jika dipilah menjadi provinsi-provinsi yang menjadi wilayah kemenangan dan wilayah kekalahan. Secara khusus, pada 13 provinsi yang menjadi wilayah kekalahan Presiden Jokowi, didapati justru terjadi peningkatan signifikan laju pertumbuhan IPM dalam lima tahun terakhir. Bahkan, jika dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh 21 provinsi sebagai wilayah kemenangan Jokowi, masih relatif lebih besar.
Pada grafik di atas, selama lima tahun terakhir di 21 provinsi yang menjadi wilayah kemenangan Jokowi terjadi peningkatan IPM rata-rata 0,87 setiap tahun. Artinya, pada wilayah tersebut terjadi kualitas pembangunan manusia yang lebih baik.
Peningkatan IPM, yang sering disandingkan dengan indeks kesejahteraan manusia dari hasil suatu pembangunan baik aspek kesehatan, pendidikan, maupun pengeluaran tersebut, menunjukkan prestasi bagi pemerintahan dalam pengelolaan kualitas masyarakat di tiap daerah.
Hanya saja, laju rata-rata peningkatan di 21 provinsi kemenangan Jokowi masih relatif lebih rendah daripada capaian di 13 provinsi kekalahannya. Pada wilayah tersebut, laju rata-rata IPM 0,90 dan justru berada di atas rata-rata nasional (0,89). Artinya, pada 13 provinsi menjadi lebih berkualitas capaian kesejahteraan dalam lima tahun terakhir justru tidak menginginkan pergantian kepemimpinan negara.
Jika dalam IPM terjadi perbedaan capaian yang cenderung menempatkan wilayah kekalahan Jokowi sebagai wilayah dengan laju peningkatan lebih besar, justru sebaliknya dalam beberapa indikator ekonomi wilayah. Terkait dengan segenap kegiatan pengelolaan potensi ekonomi dalam setiap sektor lapangan usaha, misalnya, pada 21 provinsi yang berhasil dikuasai Jokowi tergolong unggul.
Pada grafik di atas, tampak bahwa 13 provinsi yang menjadi wilayah kekalahan Jokowi mencatatkan pertumbuhan rata-rata 3,5 persen setiap tahun. Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan kegiatan ekonomi wilayah yang dikontribusikan oleh sektor-sektor PDRB, seperti pertanian, pertambangan, manufaktur, jasa, dan perdagangan. Hanya saja, capaian ke-13 provinsi tersebut masih di bawah capaian dari rata-rata 21 wilayah provinsi yang dimenangi Jokowi (3,8 persen).
Indikator lain yang sejalan dengan kondisi di atas juga tampak pada angka pengangguran sepanjang lima tahun terakhir. Secara keseluruhan, angka pengangguran dari waktu ke waktu menjadi semakin menurun. Hanya saja, jika dipilah terlihat penurunan laju pengangguran yang lebih baik di wilayah kemenangan Jokowi dibandingkan dengan wilayah kekalahannya.
Dengan segenap pencapaian yang tergambarkan dari berbagai indikator ekonomi dan kesejahteraan di atas, tampak benar jika pemilahan wilayah kemenangan ataupun kekalahan Jokowi tidak menunjukkan relasi yang konsisten.
Pada wilayah kemenangan dijumpai kondisi peningkatan ekonomi sepanjang lima tahun yang cukup signifikan. Berbagai upaya pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintahan Jokowi sepanjang lima tahun terakhir diikuti oleh peningkatan ekonomi pada 21 wilayah kemenangannya.
Namun, kondisi tersebut tidak berarti menjadi jaminan keterpilihan bagi 13 wilayah lainnya. Hanya saja, sekalipun laju pertumbuhan ekonomi tidak sebesar pada wilayah yang memenangkan Jokowi, capaian kesejahteraan pada wilayah tersebut relatif lebih tinggi.
Peningkatan pembangunan kesejahteraan dan derajat keterpilihan yang tidak terkait tersebut lebih banyak menempatkan sisi di luar rasionalitas yang menuntun pilihan. (LITBANG KOMPAS)