PT Pertamina (Persero) selalu kebagian blok migas sisa-sisa operator lain. Sumur minyak yang dikelola sendiri usianya uzur. Menemukan lapangan migas baru dengan cadangan raksasa terasa makin sulit.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
PT Pertamina (Persero) selalu kebagian blok migas sisa-sisa operator lain. Sumur minyak yang dikelola sendiri pun usianya uzur, ada yang di atas 50 tahun. Menemukan lapangan migas baru dengan cadangan raksasa terasa makin sulit.
Demikian stigma terhadap perusahaan migas milik negara tersebut. Bahkan, Pertamina kerap disebut perusahaan yang hanya kuat memperjualbelikan bahan bakar minyak (BBM). Rasanya tak salah memang. Separuh dari kebutuhan BBM nasional yang mencapai 1,5 juta barel per hari sampai 1,6 juta barel per hari diperoleh dari impor dan dijual kembali kepada konsumen.
Soal hak kelola blok bekas, Pertamina baru-baru ini mendapat keistimewaan dari pemerintah. Keistimewaan itu adalah hak untuk mengelola langsung blok migas yang sebelumnya dikelola swasta setelah habis masa kontraknya. Contohnya adalah Blok Mahakam, yang sebelumnya dikelola Total (Perancis) dan Inpex (Jepang) selama 50 tahun, sejak 1 Januari 2018 diserahkan penuh kepada Pertamina. Begitu pula Blok Rokan yang dikelola Chevron mulai diserahkan kepada Pertamina pada 2021 nanti.
Kemampuan produksi minyak di dalam negeri kurang dari 800.000 barel per hari.
Kemampuan produksi minyak di dalam negeri kurang dari 800.000 barel per hari. Itu pun sudah memasukkan produksi dari lapangan yang dikelola perusahaan selain Pertamina, seperti Chevron, Shell, dan Exxon. Sampai April lalu, dari total produksi dalam negeri, Pertamina hanya menyumbang 200.000 barel per hari.
Apa persoalannya? Bukannya enggan mencari, Pertamina tetap agresif berusaha menemukan lapangan baru dengan cadangan migas signifikan. Ukuran suatu lapangan migas memiliki cadangan berskala raksasa, menurut versi Pertamina, adalah setidaknya mengandung simpanan 500 juta barel setara minyak.
Sayangnya, wilayah yang menjadi sasaran utama pencarian adalah di wilayah kerja yang sedang dikelola Pertamina. Pencarian di wilayah yang sama sekali baru tampaknya belum agresif. Tahun ini ada 24 sumur eksplorasi yang akan dibor Pertamina di wilayah kerja mereka sendiri. Padahal, data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, masih ada 72 cekungan hidrokarbon di Indonesia yang sama sekali belum tersentuh untuk diteliti.
Pemerintah pun tak cukup sumber daya untuk menyediakan data dan informasi tentang wilayah kerja migas baru.
Faktanya, tak mudah memang mendapat cadangan migas yang baru. Apalagi, wilayah pencarian minyak kian sulit, yaitu sebagian besar ada di lepas pantai dan laut dalam. Tingkat dengan keberhasilannya pun rendah, sebagian kurang dari 50 persen. Artinya, apabila pengeboran tak menemukan apa pun alias sumur kering, uang triliunan rupiah sebagai ongkos pengeboran bisa menguap percuma.
Pemerintah pun tak cukup sumber daya untuk menyediakan data dan informasi tentang wilayah kerja migas baru. Anggaran untuk survei seismik amat terbatas. Survei sangat penting untuk memperkuat data rekomendasi penetapan wilayah kerja migas sebelum dilelang.
Belum lagi masalah birokrasi. Setumpuk perizinan yang harus diurus perusahaan justru kontraproduktif. Ada 300-an perizinan yang harus diurus investor hulu migas di Indonesia. Perizinan itu meliputi izin di kementerian dan lembaga, baik yang ada di pusat maupun di daerah. Banyaknya perizinan berdampak pada proses produksi yang molor dan pembengkakan biaya. Bahkan, salah satu pengusaha hulu migas mengatakan, sejak ditemukannya cadangan sampai bisa diproduksi bisa butuh waktu 15 tahun!
Sebagai satu-satunya perusahaan negara di sektor hulu migas, Pertamina memang harus didorong untuk terus mencari dan mendapatkan sumber cadangan migas baru berskala raksasa. Pemerintah juga sebaiknya mempermudah perizinan dan memangkas birokrasi yang terlalu panjang di sektor hulu migas. Publik akan terus menunggu Pertamina berhasil menemukan sumber cadangan migas yang baru, bukan hanya mengandalkan impor melulu.