Akhir pekan lalu, eskalasi ketegangan atas sejumlah isu cenderung mereda. Dalam kunjungannya ke Jepang, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penundaan negosiasi dagang AS-Jepang. Dalam kesempatan itu pula, Trump—sosok yang kerap menjadi sorotan karena kebijakannya yang cenderung unilateral—juga tidak mengecam uji coba senjata oleh Pyongyang. Bahkan, ia menyatakan keyakinannya yang positif terhadap Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Pernyataan itu tentu mewakili ”membaiknya” situasi di kawasan. Pertama, terkait negosiasi dagang, Jepang tentu layak cemas melihat sikap AS yang tidak mau mengendurkan kebijakannya saat menggelar negosiasi dagang dengan China.
Pada saat yang sama, di belahan bumi lain, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dan wakilnya, Abbas Araghchi, menggelar lawatan ke Irak dan negara-negara mitra di kawasan. Misi mereka sama, yaitu menggalang dukungan untuk memediasi Iran-AS. Prinsipnya, Teheran tidak mau ketegangan antara Iran dan AS di kawasan Teluk Persia terus meningkat. Teheran sama sekali tidak berminat memulai konflik, apalagi perang. Washington, sejatinya, setali tiga uang.
Konflik, di mana pun, pasti akan menyedot banyak biaya, sangat mahal. AS yang memiliki segudang kemampuan pun enggan, apalagi Iran yang telah bertahun-tahun dihantam sanksi ekonomi. Selain itu, konflik dan perang akan memakan korban manusia dan menyebabkan jutaan lainnya mengungsi. Beban yang dipikul dunia semakin tidak ringan.
Negara-negara yang tidak terlibat pun turut terimbas. Setidaknya, mereka harus menyisihkan dana dan perhatian untuk turut menanggapi dampak-dampak konflik, salah satunya pengungsi. Tentang hal itu, publik dunia bisa melihat ke Lebanon di mana jutaan pengungsi Suriah tinggal, atau di Bangladesh di mana jutaan pengungsi Rohingya menetap.
Saat duduk sebagai presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mei ini, Indonesia dengan sengaja mengangkat tema Investing in Peace atau Menabur Benih Perdamaian. Dalam catatan Kementerian Luar Negeri, tema itu beranjak dari kesadaran bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang diterima begitu saja. Perdamaian harus senantiasa dibangun dan dijaga. Perdamaian juga membutuhkan komitmen yang berkesinambungan.
Bagi Indonesia, perdamaian yang dimaksud adalah: bukan sekadar tidak adanya perang. Lebih dari itu, Indonesia mendorong adanya implementasi hak asasi manusia, tata kelola pemerintahan yang baik, kesetaraan, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Indonesia mengidamkan, perdamaian menjadi sebuah wadah sekaligus energi utuh dengan setiap tindakan diarahkan semata-mata demi terciptanya kesejahteraan bagi setiap warga. Perdamaian menjadi tempat setiap individu dapat dengan leluasa meraih finalitasnya sebagai manusia. Apakah itu menjadi sebuah gagasan utopis?
Sejatinya tidak. Catatan-catatan kecil di awal tulisan menunjukkan bahwa manusia sejatinya lebih memilih mengambil sikap positif daripada sebaliknya. Mereka mencoba menebar benih perdamaian....