Mudik telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Indonesia. Tiap tahun, jutaan warga berbondong-bondong kembali ke kampung halamannya untuk bertemu dengan keluarga besar mereka.
Para pemudik rela bersusah-payah agar bisa pulang ke kampung halaman. Mereka bersedia mengeluarkan banyak uang dan menempuh perjalanan jauh yang penuh hambatan agar bisa mudik. Lalu, apa yang sebenarnya membuat tradisi mudik begitu melekat pada masyarakat Indonesia?
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Heddy Shri Ahimsa-Putra, menilai, mudik merupakan perwujudan dari keinginan manusia untuk kembali pada akar tradisi tempatnya berasal. “Mudik itu seperti kembali kepada akar tradisi,” ungkapnya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (23/5/2019).
Heddy menuturkan, mudik juga merupakan upaya untuk memperkuat kekerabatan atau hubungan sosial dengan keluarga besar. Apalagi, pada masa mudik, kerap digelar pertemuan trah atau keluarga besar. Dalam pertemuan semacam itu, para anggota suatu trah yang tinggal saling berjauhan akan bertemu sehingga mereka bisa saling memperkuat persaudaraan.
“Misalnya saya mengajak mudik anak saya. Itu kan supaya anak saya tidak kehilangan relasi dengan neneknya, kakeknya, pakdenya, budenya,” kata penulis buku Patron dan Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Fungsional-Struktural itu.
Heddy menambahkan, dengan mengikuti pertemuan keluarga besar saat mudik, seseorang juga bisa sekaligus memperluas jaringan sosial yang bisa jadi akan dibutuhkan nanti. “Dalam kondisi tertentu, trah (keluarga besar) itu bisa memberikan bantuan, baik bantuan moril maupun materiil,” tutur pria yang meraih gelar doktor dari Universitas Columbia, Amerika Serikat.
Di sisi lain, menurut Heddy, mudik juga kerap dimanfaatkan sebagai sarana untuk “memamerkan” keberhasilan seseorang pada keluarga besarnya. Itulah kenapa, saat mudik, seseorang kerap membawa mobil ke kampung halaman untuk menunjukkan kesuksesan yang telah diraihnya di kota.
“Kalau balik ke desa, mereka bawa mobil untuk menunjukkan hidupnya sudah berhasil. Padahal, mungkin mobil yang dibawa itu mobil rental, tapi kan enggak ada yang tahu,” ujar Heddy.
Namun, praktik “pamer” kesuksesan itu tidak selalu bermakna negatif. Heddy mengatakan, mereka yang telah sukses di perantauan itu bisa menjadi contoh bagi para kerabatnya di desa agar mau bekerja keras meraih kesuksesan. “Jadi, orang sukses yang mudik ke desanya itu bisa menjadi role model (panutan). Contoh-contoh begini penting untuk memotivasi,” paparnya.