Kisah Lautan Lapak Mobil Pasar Tasik
Keriuhan semarakkan satu lahan lapang disesaki ratusan mobil, Kamis (9/5/2019), di Jalan Cideng Timur Raya, Jakarta Pusat. Jaraknya sekitar 10 menit berjalan kaki ke arah timur laut dari Stasiun Tanah Abang. Selain mobil boks untuk mengangkut barang, tak terhitung mobil pengangkut penumpang yang turut parkir di sana.
Tingginya transaksi garmen di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, tidak hanya jadi magnet bagi pedagang kaki lima hingga mereka meluber ke trotoar. Pasar sandang dadakan di sejumlah titik, dijuluki sebagai Pasar Tasik, turut menggairahkan roda perekonomian di Tanah Abang. Mobil yang mereka gunakan membawa berbal-bal baju, khususnya busana muslim, juga difungsikan sebagai lapak berjualan.
Keriuhan semarakkan satu lahan lapang disesaki ratusan mobil, Kamis (9/5/2019), di Jalan Cideng Timur Raya, Jakarta Pusat. Jaraknya sekitar 10 menit berjalan kaki ke arah timur laut dari Stasiun Tanah Abang. Selain mobil boks untuk mengangkut barang, tak terhitung mobil pengangkut penumpang yang turut parkir di sana.
Pintu boks mobil ataupun pintu bagasi dibiarkan terbuka, dan ada pula yang menambah memasang tenda. Di belakang mobil masing-masing, para pemilik menggantungkan baju beragam jenis dan model, terutama busana muslim. Ada yang memajang gamis atau gaun syar’i untuk perempuan, serta gamis dan baju koko untuk kaum adam. Jadilah lapak sandang dadakan yang menjual untuk partai besar.
Karena mobil-mobil terparkir dengan rapi, seolah-olah terbentuk gang-gang yang memungkinkan pengunjung berkeliling. Para pedagang yang kebanyakan sekaligus produsen pakaian silih berganti mengajak pengunjung untuk singgah di lapak masing-masing. Meski debu beterbangan karena lahan di sana hanya berupa tanah, semangat berbelanja menguatkan langkah para pengunjung, memburu komoditas sandang untuk dijual lagi di toko atau lapak mereka.
Salah satu yang bersemangat adalah Nyonya Rahmat (61). Ia selesai membeli empat kodi (80 lembar) busana muslim dewasa dan anak-anak. ”Saya sudah empat tahun biasa berbelanja di Pasar Tasik, sejak masih di Tanah Abang (di Pasar Tasik Bongkaran),” tuturnya.
Saya sudah empat tahun biasa berbelanja di Pasar Tasik sejak masih di Tanah Abang (di Pasar Tasik Bongkaran).
Pasar Tasik Cideng baru beroperasi April 2018 lalu. Para pedagang yang berjualan di sana sebelumnya menempati lahan PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang dikenal sebagai Pasar Tasik Bongkaran. Mereka mesti direlokasi karena lahan tersebut jadi obyek sengketa. Menurut Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi, ada 500-an pedagang yang saat ini mencari peruntungan di Pasar Tasik Cideng.
Ny Rahmat memilih berbelanja busana muslim di Pasar Tasik karena bisa mendapatkan harga lebih murah dibandingkan dengan membeli di kios-kios Tanah Abang. Ia mencontohkan, salah satu jenis busana yang dibeli dengan harga Rp 85.000 per lembar di Tanah Abang bisa didapatkan dengan harga Rp 75.000 per lembar di Pasar Tasik.
Baca juga: Dari Layar Kaca Turun ke Pasar Tasik
Ia lantas menjual kembali pakaian-pakaian itu di lokasi binaan usaha kecil (LBUK) Pasar Embrio, Kampung Makasar, Jakarta Timur. Berkat Pasar Tasik, ia bisa menjual busana muslim dengan harga yang sama dengan toko atau lapak di Tanah Abang sehingga pembeli yang lebih dekat dengan Pasar Embrio tidak perlu jauh-jauh ke sana.
Nama Pasar Tasik muncul karena pelopor pasar tersebut adalah para pengusaha konfeksi asal Tasikmalaya, Jawa Barat. Uniknya, mereka hanya berjualan dua kali sepekan, hari Senin dan Kamis, sejak subuh hingga pukul 12.00. Sasaran utama mereka adalah pedagang grosir dan eceran yang mencari produk untuk dijual kembali. Produk yang tersohor dari Pasar Tasik adalah busana muslim dengan bordir khas Tasikmalaya.
Nama Pasar Tasik muncul karena pelopor pasar tersebut adalah para pengusaha konfeksi asal Tasikmalaya, Jawa Barat. Uniknya, mereka hanya berjualan dua kali sepekan, hari Senin dan Kamis, sejak subuh hingga pukul 12.00.
Saat ini, selain di Cideng, Pasar Tasik dengan konsep serupa bisa ditemui di Pasar Sandang Said Naum dan Pasar Tasik Jatibaru sebelah Hotel Pharmin. Ada pula Pasar Tasik yang tidak lagi menggunakan mobil sebagai toko berjalan, yakni di Pasar Tanah Abang Blok F2 lantai 5 dan di Mal Thamrin City.
Baca juga: Pedagang Pasar Tasik Mulai Raup Kenaikan Omzet
Kompas mendapatkan cerita historis yang cukup lengkap malah dari pedagang yang sudah beralih dari berjualan di mobil ke menjajakan sandang di kios Blok F2. Namanya Haji Dedi Warso (52), pedagang sekaligus pengusaha konfeksi asal Kecamatan Karangnunggal, Tasikmalaya.
Baca juga: Liat Bersiasat Taklukkan Tantangan
Soal hari Senin dan Kamis yang jadi pilihan, menurut Dedi, itu agar tidak bentrok dengan jadwal pasar dadakan di tempat lain. Sebagian pengusaha tekstil Tasikmalaya juga biasa menyuplai antara lain ke pasar di Tegalgubug, Cirebon, Jawa Barat.
Dedi yang mulai bergabung di Pasar Tasik tahun 2000 menuturkan, pengusaha tekstil asal Tasikmalaya mulai beroperasi di Tanah Abang sekitar tahun 1970. Awalnya, mereka tidak langsung berdagang, tetapi hanya menyuplai produk ke kios-kios di Tanah Abang. ”Ada yang membawa mobil. Ada juga yang datang naik kendaraan umum, menginap di penginapan, lalu pagi-pagi masukin barang ke kios,” ujarnya.
Mereka biasa menyuplai ke kios-kios pada Senin dan Kamis, lalu langsung kembali ke Tasikmalaya. Suplai produk tidak bisa dilakukan setiap hari mengingat keterbatasan kemampuan memproduksi.
Mendeteksi adanya peluang pasar di luar kios-kios langganan, pengusaha konfeksi Tasik mulai berjualan juga di Tanah Abang tahun 1990, selain tetap menjadi pemasok untuk kios-kios di sana. Caranya, persis seperti yang terlihat di Pasar Tasik Cideng saat ini, menggunakan mobil sebagai toko sementara.
Mereka menggunakan mobil bukan karena ingin tampil beda, melainkan sebuah keterpaksaan karena tidak tersisa lagi lapak dan kios Tanah Abang bagi mereka. Organisasi kemasyarakatan memfasilitasi mereka untuk bisa memarkirkan mobil sekaligus toko di titik mana pun yang kosong, termasuk di depan ruko serta di badan jalan. ”Kami saat itu menyewa Rp 100.000-Rp 200.000 per bulan,” kata Dedi.
Mereka menggunakan mobil bukan karena ingin tampil beda, melainkan sebuah keterpaksaan karena tidak tersisa lagi lapak dan kios Tanah Abang bagi mereka. Organisasi kemasyarakatan memfasilitasi mereka untuk bisa memarkirkan mobil sekaligus toko di titik mana pun yang kosong, termasuk di depan ruko serta di badan jalan. Kami saat itu menyewa Rp 100.000-Rp 200.000 per bulan.
Semangat gotong royong hidup di antara sesama pengusaha Tasik. Mereka yang bermodal kecil dan hanya mampu membawa sedikit barang dagangan menumpang pada yang memiliki mobil untuk bersama-sama datang ke Jakarta dan berjualan. Tentu tidak efisien jika memiliki mobil, tetapi yang diangkut sedikit.
Dedi, misalnya, bersama kawan-kawannya tahun 2000 ”nebeng” kepada rekan yang memiliki mobil Suzuki Carry, hingga total ada lima pedagang di dalam mobil itu. ”Sekarang saya pakai (Mitsubishi) L300, ada teman yang ikut juga sehingga kami jadi bertujuh,” katanya.
Dedi terus berpindah-pindah lokasi berdagang selama mengandalkan mobil sebagai toko. Selain di lahan kosong, ia juga pernah berjualan di area parkir mobil lantai 6 dan 7 Blok F lama selama tiga tahun. Lalu, kebakaran melanda Pasar Tanah Abang pada Februari 2003 sehingga ia pindah berjualan ke area Waduk Melati.
Bosan mesti berpindah-pindah tempat, para pedagang Pasar Tasik mulai melobi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat agar memfasilitasi mereka mendapatkan tempat yang tetap. Mereka pun membangun organisasi bernama Koperasi Gabungan Pengusaha Bordir Tasikmalaya (Gapebta) tahun 2002, lantas mendapat tempat berjualan di Blok F2 lantai 5.
Dedi mengatakan, di sana tersedia sekitar 73 kios dan 450 lapak khusus pedagang yang bernaung di bawah Koperasi Gapebta. Namun, jumlah pedagang Pasar Tasik terus tumbuh sehingga tetap ada yang berjualan dengan mobil di sejumlah lokasi.
Pasar Tasik makin termasyhur hingga para konsumen sekaligus pedagang sandang asal Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku juga berdatangan untuk berburu pasokan busana muslim berkualitas dan murah. Jumlah pedagang Pasar Tasik semakin gemuk, bahkan kemudian mencakup nonpedagang Tasikmalaya. Ada yang berasal dari Bandung, ada pula pedagang Sumatera Barat yang menetap di Jakarta.
Pasar Tasik pun menembus batas semangat kedaerahan.
Pedagang busana muslim asal Soreang, Kabupaten Bandung, Toto Tohidin, turut terseret arus bisnis Pasar Tasik. Ia mulai berdagang di Blok F2 lantai 5 tahun 2009, lalu pindah ke Jalan Jatibunder, ikut berjualan menggunakan mobil sekitar tahun 2013. Sejak sekitar 2014, ia memarkir mobil toko dadakannya di Pasar Sandang Said Naum setiap Senin dan Kamis sampai sekarang.
Pedagang Pasar Tasik asal Soreang pulalah yang memelopori penggunaan lahan Said Naum. Agar posisi mereka kuat, mereka membentuk Koperasi Pemasaran Sandang Sabilulungan (KPSS), dengan Toto sebagai ketuanya. Sabilulungan merupakan moto Kabupaten Bandung yang dipopulerkan Bupati Dadang M Naser, yang juga berarti gotong royong dalam bahasa Sunda.
Seberapa menguntungkan menjadi bagian dari Pasar Tasik? Bisnis Muhammad Ikbal (22) dan keluarganya bisa memberi gambaran.
Pedagang gamis di Pasar Tasik Cideng itu biasanya mendapat omzet Rp 50 juta-Rp 100 juta per hari. Bulan Ramadhan setiap tahun merupakan saat yang dinanti-nanti karena ia berpotensi mendapatkan Rp 500 juta per hari berjualan, dengan melihat pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Ia bahkan sudah mendapat omzet Rp 200 juta-Rp 300 juta per hari sejak sebulan sebelum puasa.
Sekali datang, Ikbal bersama mitra kerjanya mengendarai dua mobil dari tempat konfeksi mereka di Tasikmalaya dan membawa 2.000 potong gamis. ”Senin dan Kamis kami ke sini (Pasar Tasik Cideng), Jumat ke Cirebon,” ujarnya.
Tidak ada yang bisa menghentikan laju roda-roda mobil pedagang Pasar Tasik. Bisnis mereka terus langgeng dari tahun ke tahun serta ikut menyemarakkan wajah Tanah Abang.