Perubahan Iklim Meningkatkan Penyebaran Penyakit Menular
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim global yang memicu hujan ekstrem dan banjir telah meningkatkan sebaran sejumlah penyakit menular. Salah satunya adalah sebaran cryptosporidiosis, yaituparasit di air yang menyebabkan penyakit kriptosporidiosis atau infeksi usus, terutama pada anak di bawah usia lima tahun.
Kajian tentang keterkaitan penyakit kriptosporidiosis dengan dampak perubahan iklim terhadap sebaran penyakit ini dipublikasikan para peneliti dari The Australian National University (ANU) di Science of the Total Environment.
Peneliti utama Aparna Lal, dalam rilis yang diterbitkan ANU pada Jumat (24/5/2019), mengatakan, studinya menemukan kaitan yang jelas antara curah hujan dan banjir dengan infeksi kriptosporidiosis pada anak-anak. Infeksi yang disebabkan parasit itu ditandai gejala, antara lain, diare, kram, mual, muntah, dan demam.
”Kami berharap menemukan hubungan yang lebih kuat antara infrastruktur air dan sanitasi dengan pembangunan di tingkat negara. Hubungan ini terutama menonjol di daerah dekat khatulistiwa dan di daerah tropis,” kata Lal.
Selama ini banjir diketahui meningkatkan risiko penyebaran penyakit gastro pada anak-anak. Dengan terjadinya perubahan iklim yang memicu cuaca lebih ekstrem, seperti hujan deras dan banjir, penelitian ini membuktikan hal itu berdampak pada risiko kesehatan. ”Semakin sering peristiwa cuaca ekstrem, seperti banjir terjadi, kian sedikit waktu pemulihan bagi anak-anak. Berarti mereka cenderung lebih sakit,” katanya.
Semakin sering peristiwa cuaca ekstrem, seperti banjir terjadi, kian sedikit waktu pemulihan bagi anak-anak. Berarti mereka cenderung lebih sakit.
Lal menambahkan, riset itu memberikan masukan baru kepada manajemen penyakit lebih baik di daerah-daerah yang makin sering dilanda cuaca ekstrem, terutama daerah tropis dan khatulistiwa. Karena itu, praktisi medis, pembuat kebijakan, serta manajer sumber daya alam dan industri air perlu mengkaji ulang pendekatan mereka untuk melindungi kesehatan menghadapi perubahan iklim.
”Meskipun sudah ada kemajuan besar untuk mengurangi penyakit secara global, perubahan iklim dapat memundurkan kembali kemajuan ini,” kata Lal.
Berdasarkan temuan itu, manajemen kesehatan masyarakat ke depan perlu memperhitungkan kondisi cuaca. ”Jika kita tahu hujan deras atau banjir akan menyebarkan patogen pada air secara lebih luas, kita perlu ahli meteorologi melihat pola cuaca sehingga industri air dan pemerintah daerah memantau mutu air. Saat itu, sektor kesehatan dan praktisi medis juga perlu mempersiapkan kemungkinan peningkatan penyakit gastro,” tuturnya.
Ditularkan nyamuk
Kajian yang dilakukan tim dari ANU ini menguatkan sejumlah kajian sebelumnya tentang dampak perubahan iklim terhadap penyebaran penyakit menular. Selain penyakit gastro ini, penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk juga diketahui meningkat. Peningkatan itu terutama disebabkan wilayah jangkauan serangga menjadi lebih luas seiring peningkatan suhu akibat perubahan iklim.
Ahli biologi dari Stanford University, Erin Mordecai, dan rekan-rekannya dalam riset terpisah yang diterbitkan pada bulan lalu membuat model yang menunjukkan bagaimana perubahan iklim mengubah sebaran nyamuk hingga jauh ke utara Bumi. ”Jika iklim jadi lebih optimal untuk penularan, akan menjadi semakin sulit untuk melakukan pengendalian nyamuk,” ujarnya.
Padahal, nyamuk menularkan banyak penyakit mematikan, di antaranya malaria, demam berdarah, chikungunya, dan virus nest nile. Di antara penyakit ini, menurut pemodelan Mordecai, nyamuk Aedes yang membawa demam berdarah yang paling dapat beradaptasi dengan kenaikan suhu sehingga kemungkinan akan terus mewabah di daerah lebih panas, khususnya sekitar tropis. Adapun nyamuk yang membawa virus west nile lebih menyukai iklim yang lebih beriklim tidak terlalu panas sehingga kemungkinan akan bermigrasi ke wilayah yang secara historis lebih dingin, seperti Amerika Serikat.