Potensi Ekonomi Kreatif dari Lahan Gambut Dikembangkan
Potensi ekonomi kreatif dari lahan gambut terus digali dan dikembangkan seiring upaya merestorasi gambut seluas 38.762 hektar di Kalimantan Selatan. Dengan begitu, warga masyarakat yang hidup di lahan gambut akan terdorong untuk menjaga gambut agar tidak mudah terbakar, terutama pada musim kemarau.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
AMUNTAI, KOMPAS – Potensi ekonomi kreatif dari lahan gambut terus digali dan dikembangkan seiring upaya merestorasi gambut seluas 38.762 hektar di Kalimantan Selatan. Dengan begitu, warga masyarakat yang hidup di lahan gambut akan terdorong untuk menjaga gambut agar tidak mudah terbakar, terutama pada musim kemarau.
Dalam rangka mengembangkan potensi ekonomi kreatif tersebut, Badan Restorasi Gambut (BRG) mengadakan kegiatan lokalatih pengembangan kerajinan anyaman purun (Eleocharis) dan bamban (Donax canniformis) serta pembuatan kain sasirangan menggunakan teknik pewarnaan alami. Kegiatan lokalatih dipusatkan di Desa Darussalam, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 20-25 Mei 2019.
Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG Myrna Asnawati Safitri mengatakan, lahan rawa gambut memiliki banyak potensi serat alam yang bisa dikembangkan menjadi produk-produk mode (fashion) yang bernilai ekonomi tinggi, misalnya purun, bamban, dan eceng gondok (Eichhornia crassipes). Sangat disayangkan jika tanaman itu tidak dimanfaatkan.
”Dengan kegiatan lokalatih ini, kami ingin menunjukkan bahwa purun dan bamban itu mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Kami bekerja sama dengan Eco Fesyen memberikan pelatihan kepada masyarakat untuk bisa mengubah purun dan bamban menjadi produk fesyen, tas, topi, dan sebagainya yang sesuai standar internasional,” kata Myrna di Darussalam, Sabtu (25/5/2019).
Bersama desainer Indonesia Merdi Sihombing dari Eco Fesyen, warga juga dilatih membuat kain sasirangan dengan pewarnaan alami. Warga dapat menemukan bahan-bahan pewarna alami untuk kain sasirangan dari ekosistem gambut di sekitarnya. ”Dengan begitu, masyarakat juga terdorong untuk menyelamatkan gambut,” ujarnya.
Dengan kegiatan lokalatih ini, kami ingin menunjukkan bahwa purun dan bamban itu mempunyai nilai ekonomi yang tinggi
Luas lahan gambut di Kalsel yang menjadi target restorasi Badan Restorasi Gambut (BRG) sebesar 38.762 hektar. Lahan gambut tersebut berada di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Barito Kuala, Tapin, Hulu Sungai Selatan, dan Tabalong. Kegiatan restorasi gambut ditargetkan selesai pada 2020 dengan upaya-upaya awal untuk mencegah kerusakan ekosistem gambut.
Selama ini, menurut Myrna, warga melihat purun dan bamban yang tumbuh di lahan rawa gambut memiliki nilai ekonomi yang tidak terlalu baik. Jika dibuat menjadi tikar ataupun bakul, harganya paling hanya Rp 4.000 per satuan. Harga itu tidak sebanding dengan usaha pembuatannya yang cukup rumit. Karena kurang berharga, akhirnya gambut tidak diperhatikan dan dibiarkan.
”Kalau gambut dibiarkan, potensi terbakarnya tinggi. Ketika purun di atasnya terbakar, maka lahan gambut di bawahnya juga ikut terbakar. Untuk memadamkan kebakaran gambut memerlukan waktu yang sangat lama,” tuturnya.
Mencegah kebakaran
Untuk mencegah gambut terbakar, BRG melalui program Desa Peduli Gambut (DPG) mengajak masyarakat untuk tetap menjaga gambut. Di Kalsel sudah terbentuk 26 DPG. ”Ketika masyarakat mengetahui apa saja yang ada di lahan gambut itu bernilai ekonomi tinggi, maka mereka akan terdorong untuk menyelamatkan gambut,” kata Myrna.
Menurut Merdi Sihombing, warga yang mengikuti pelatihan sudah memiliki keterampilan menganyam ataupun membuat kain sasirangan. ”Saya tinggal mengajari mereka membuat produk yang bagus dan ramah lingkungan sehingga produknya laku di pasar internasional. Semua bahan baku tersedia di sini. Potensinya luar biasa,” ujarnya.
Rahmawati (38), warga Desa Bararawa, Kecamatan Paminggir, Hulu Sungai Utara yang mengikuti pelatihan di Darussalam mengatakan, menganyam purun sudah menjadi keterampilan perempuan di desanya. Namun, mereka selama ini hanya membuat tikar dari purun berukuran lebih kurang 80 sentimeter (cm) x 130 cm, dengan harga jual Rp 4.000 per lembar. ”Saya baru kali ini mengikuti pelatihan. Sekarang mulai bisa menganyam tas dari purun,” tuturnya.
Kepala Desa Darussalam Maserani berharap warga yang telah mengikuti pelatihan bersama BRG bisa mengembangkan ilmu yang didapat di tempatnya masing-masing. ”Kami juga ingin terus mengembangkan usaha kerajinan anyaman purun dan eceng gondok yang sudah ada. Kalau nanti terbentuk BUMDesa, kami akan mengembangkan kain sasirangan pewarna alami,” katanya.