Tulisan ini bersanding dengan gambar Hatta di kertas stiker berukuran 1 meter x 1,5 meter di Taman Bypass Buah Batu, Bandung, Minggu (26/5/2019). Beberapa pemuda tampak sibuk menempelkan stiker tersebut di dinding akrilik halte. Mereka memasang dengan rapi, berusaha tidak mengotori halte. Pesan besar bagi bangsa yang tengah diuji kesabarannya pada bulan penuh rahmat ini.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
”Kita masih berjuang untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tanyakan pada diri, Apa yang sudah saya berikan untuk bangsa ini?” (Mohammad Hatta)
Tulisan ini bersanding dengan gambar Hatta di kertas stiker berukuran 1 meter x 1,5 meter di Taman Bypass Buah Batu, Bandung, Minggu (26/5/2019). Beberapa pemuda tampak sibuk menempelkan stiker tersebut di dinding akrilik halte. Mereka memasang dengan rapi, berusaha tidak mengotori halte. Pesan besar bagi bangsa yang tengah diuji kesabarannya pada bulan penuh rahmat ini.
Para pemuda ini berasal dari Komunitas Rindu Menanti, perkumpulan peduli literasi yang telah ada sejak akhir tahun 2015. Mereka menempelkan stiker berukuran besar itu di halte agar masyarakat bisa membaca pesan yang disampaikan sang proklamator.
Menurut Alif Akbar (24), Ketua Rindu Menanti, Hatta adalah tokoh yang cocok untuk mempersatukan bangsa di tengah panasnya situasi politik dalam menghadapi Pemilihan Umum 2019 ini. Hatta adalah negarawan murni, bukan tokoh politik partai tertentu.
Bahkan, Hatta memiliki kepedulian tinggi terhadap literasi bangsa dengan menerbitkan berbagai buku-buku pemikiran, salah satunya buku Alam Pikiran Yunani yang dia susun selama pengasingan di Boven Digoel, Papua.
”Kami ingin mengajak masyarakat untuk bersatu dan tidak terpecah belah. Dengan semangat Bung Hatta sebagai negarawan, sudah seharusnya kita semua kembali bersama membangun bangsa. Dengan menempel ini, paling tidak warga pengguna halte bisa membaca dan mengingat figur beliau,” tutur Alif.
Kemampuan literasi Hatta menginspirasi Rindu Menanti sehingga mereka memilihnya menjadi tokoh yang mengingatkan persatuan bersama empat tokoh dunia lainnya, yaitu Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Nelson Mandela, dan Malala Yousafzai. Alif beralasan, pemasangan gambar Hatta di halte ini pun dirasa tepat karena lokasinya berada di perempatan Jalan Soekarno-Hatta.
Selain itu, halte ini juga termasuk yang ramai dilalui angkutan kota (angkot) dan mereka berharap penumpang ataupun warga yang menunggu angkutan bisa membaca pesan ini. Benar saja, gambar ini menarik perhatian penumpang yang ada di dalam angkot. Penumpang yang menghadap ke halte bisa melihat dengan jelas karena tulisan yang disajikan terbaca hingga sejauh 10 meter.
Penasihat Rindu Menanti, Rosihan Fahmi (42), mengatakan, inisiatif komunitas ini terlihat sejak seminggu sebelumnya sebagai reaksi dari karut-marut ujaran kebencian dan berita bohong yang beredar di media sosial. Hal ini dikhawatirkan berujung pada perpecahan yang berbahaya bagi keutuhan bangsa.
”Kami berharap spirit persatuan yang datang dari Bandung bisa menularkan perdamaian untuk kota-kota lainnya. Bandung adalah ibu kota Asia-Afrika, tempat konferensi yang menjunjung toleransi dan perdamaian. Sudah seharusnya Indonesia kembali bersatu,” ujarnya.
Karya seni
Mengaku jengah dengan ujaran kebencian dan kebohongan pada masa pemilihan umum, beberapa seniman juga berkarya di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Bandung, Senin (20/5/2019) malam. Dengan momentum Hari Kebangkitan Nasional, mereka melakukan monolog kebangsaan dan berkarya sebagai simbol nasionalisme yang merekatkan setiap masyarakat.
Keni Soeriaatmadja (40), seniman tari asal Bandung, luwes menari Legong Lasem di panggung yang berlatar bendera Merah Putih. Dia menganggap tarian bali ini bisa merepresentasikan persatuan pada Hari Kebangkitan Nasional.
”Saya mengambil bagian Condong dan Garuda dari Legong. Condong berfungsi sebagai pencerita dan Garuda menjadi lambang persatuan,” ujarnya.
Sebelumnya, jelang berbuka puasa, sekitar 10 pelukis beraksi di Jalan Perintis Kemerdekaan, tidak jauh dari GIM. Dalam waktu 30 menit, mereka melukis dengan tema persatuan dengan merah putih sebagai simbol pemersatunya. Dengan spirit Asia-Afrika, mereka membawa pesan untuk merajut kembali persatuan lewat karya.
Zulfi Akmansyah (58), salah satu seniman lukis Jawa Barat yang dikenal dengan Bang Zoel, tampak serius melukis di kanvas berukuran 1 x 1,5 meter di depan pintu gedung BNI yang bersebelahan dengan GIM. Di lukisan tersebut tergambar dua orang sedang menancapkan bendera merah putih. Dia menjelaskan, kedua orang tersebut sedang menunduk saat menancapkan bendera, sebagai tanda keyakinan mereka untuk mengokohkan tiang bendera agar Merah Putih tidak mudah jatuh.
Zoel melukis tidak menggunakan kuas. Setiap cat disapu oleh jemari jempolnya. Jika dilihat dari dekat, lukisan ini hanya seperti garis-garis kaku karena jempol tidak seluwes kuas. Namun, kepiawaiannya membuat lukisan ini tampak berpadu dari kejauhan.
”Kami sudah lelah dengan drama pertikaian di sosial media. Kontestasi politik membuat masyarakat terpecah. Di kota tempat perdamaian dunia lahir inilah kami protes. Protes kepada masyarakat yang terpecah. Sudahilah perpecahan ini, mari kita bersatu kembali,” tuturnya.
Kami sudah lelah dengan drama pertikaian di sosial media. Kontestasi politik membuat masyarakat terpecah.
Di trotoar jalan ini, seniman dan sukarelawan yang berjumlah lebih kurang 200 orang juga menjahit bendera berukuran panjang 50 meter ini. Mereka menyatukan kain merah dan kain putih sebagai simbol merajut persatuan kembali setelah silang pendapat di masyarakat saat pemilu.
Winni (65), salah seorang sukarelawan, merasa bangga telah ikut menjahit bendera tersebut. Dia berharap pesan perdamaian ini bisa dipahami masyarakat sehingga kembali bersatu. ”Sudah cukup ada kubu 01 ataupun 02. Sekarang kita semua satu, Indonesia,” ujarnya.
Malam pun semakin larut. Kemacetan di Jalan Perintis Kemerdekaan sudah terurai, sepi. Namun, di dalam GIM, para seniman dan sukarelawan ramai berdoa demi persatuan bangsa. Mereka berdoa lewat karya, berharap Indonesia kembali bersatu dalam bingkai kebinekaan dan toleransi.