Gelisah dengan tingginya angka putus sekolah dan buta aksara di pedalaman Papua, birokrasi dan LSM saling dukung mengajar anak usia dini menggunakan kurikulum bahasa lokal. Sepuluh kabupaten menerapkan didukung ratusan guru.
Oleh
FABIO LOPES COSTA
·5 menit baca
Buta aksara di Papua, khususnya di pedalaman, masih tinggi, di antaranya karena minimnya pemahaman bahasa Indonesia di sekolah formal. Empat tahun terakhir, Pemprov Papua bersama lembaga Suluh Insan Lestari berkolaborasi menerapkan kurikulum berbasis bahasa ibu untuk jenjang pendidikan dasar. Tujuannya, anak-anak memahami materi pembelajaran sejak dini dan tetap semangat bersekolah.
Kamis pukul 08.00 WIT, aktivitas belajar di Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Papua Cerdas Mandiri (Pacema) di Kelurahan Hinekombe, Sentani, Kabupaten Jayapura, telah dimulai.
Di salah satu ruang kelas, 20 siswa PAUD berusia 3-4 tahun mengikuti kelas yang dibawakan Susan Gire dan Ros Nian.
Penerapan kurikulum itu untuk mengatasi masalah putus sekolah di daerah pedalaman Papua yang cukup tinggi.
Sebenarnya, jumlah siswa di Pacema sekitar 70 orang, dari daerah pegunungan Papua. Namun, banyak siswa belum aktif pascabanjir bandang di 12 distrik atau kecamatan di Kabupaten Jayapura. Tiga siswa Pacema termasuk 105 korban.
Aktivitas belajar di PAUD Pacema seperti sekolah biasa. Bedanya, penyampaian materi kepada anak didik. Sekolah itu menggunakan kurikulum berbasis bahasa ibu.
Susan mengajarkan angka kepada anak didiknya Delisa Kogoya menggunakan bahasa Lani yang banyak digunakan di daerah pegunungan Papua, seperti Jayawijaya dan Tolikara.
"Yi endage nano?" atau angka berapa ini? Tak sampai lima detik, bocah empat tahun itu menjawab "lima".
Sama halnya saat Susan bertanya kepada Prisca Towolom tentang huruf. "Yi wone nano yogwe?" yang berarti huruf apa ini? Prisca dengan percaya diri menjawab "D".
Proses belajar mengajar di Pacema sejak 2017 menggunakan dua bahasa, yakni bahasa ibu dan bahasa Indonesia. Itu dilatarbelakangi banyaknya anak didik yang bisa berbahasa lisan Indonesia, tetapi tak paham bentuk angka dan huruf.
Enam guru di sekolah PAUD yang dirintis istri Gubernur Papua, Yulce Enembe, ini mampu mempersuasif anak didiknya dengan bahasa ibu sehingga bisa lebih cepat memahami makna huruf dan angka. Mereka pun tak kesulitan berhitung dan membaca saat SD kelak.
Selain belajar huruf dan angka, anak-anak juga dapat materi cerita rakyat menggunakan bahasa ibu. Tujuannya menanamkan kebudayaan lokal sejak dini. "Pada awal masuk PAUD Pacema, anak-anak ini sama sekali tak mengerti jenis-jenis huruf dan angka. Penggunaan bahasa ibu dominan di rumah," ungkap wanita 30 tahun ini.
Werison Kogoya (5) salah satu siswa lulusan PAUD Pacema yang kini kelas TK mengatakan, ia kenal huruf dan angka setelah dapat bimbingan dengan bahasa ibu sejak tahun lalu.
Sepuluh kabupaten
Kurikulum berbasis bahasa ibu diterapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua bersama Suluh Insan Lestari (SIL) di 10 kabupaten sejak tahun 2015. Program dengan dana otonomi khusus itu tersebar di 10 kabupaten, yakni Lanny Jaya, Tolikara, Mamberamo Tengah, Deiyai, Nabire, Waropen, Kabupaten Jayapura, Mimika, Merauke, dan Yahukimo.
Sebanyak 600.000 orang (24 persen) warga Papua tidak bisa membaca dan menulis.
Tenaga pengajar disiapkan untuk 32 PAUD dan 19 SD. Penerapan kurikulum itu untuk mengatasi masalah putus sekolah di daerah pedalaman Papua yang cukup tinggi.
Data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua tahun 2018, program wajib belajar 12 tahun di Papua belum optimal. Rata-rata lama sekolah 7 tahun, dari tingkat SD kelas I hingga kelas VII (kelas 1 SMP).
Angka putus sekolah SD-SMP paling banyak di kawasan pegunungan Papua. Misalnya, Kabupaten Lanny Jaya, Tolikara, Yalimo, Jayawijaya, Puncak, Puncak Jaya, Mamberamo Tengah, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Paniai, Deiyai, Dogiyai, hingga Mimika.
Sebanyak 600.000 orang (24 persen) warga Papua tidak bisa membaca dan menulis.
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Protasius Lobya menuturkan, ada dua penyebab utama tingginya angka putus sekolah di Papua, yakni minimnya sarana transportasi pengangkut siswa dari kampung ke sekolah dan rendahnya pemahaman siswa dalam penggunaan bahasa Indonesia di kelas formal.
“Anak yang dominan menggunakan bahasa ibu di keluarganya lebih mudah memahami materi, baik abjad, menulis, dan berhitung pola pembelajaran kurikulum ini. Anak yang masuk sekolah formal tanpa kurikulum ini pasti akan kesulitan membaca maupun menulis," ungkapnya.
Penggunaan kurikulum bahasa ibu terinspirasi dari studi banding tim Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua di Myanmar dan Maluku pada tahun 2015.
"Penggunaan bahasa ibu di Myanmar dan Maluku telah berhasil diimplementasikan di sekolah dengan baik. Karena itu, kami langsung menerapkan kurikulum," kata Lobya.
Koordinator Suluh Insan Lestari (SIL) Papua Telma Huka mengungkapkan, sebelum mulai menerapkan kurikulum bahasa ibu, pihaknya membuat penelitian pada 100 pelajar SD dari kelas 1-6 yang tersebar di empat distrik di Lanny Jaya pada tahun 2015.
"Hasil dari penelitian ini, banyak anak yang belum memahami pembelajaran materi angka dan huruf dengan bahasa Indonesia," tutur Telma.
Guru dilatih
Menurut Telma Huka, SIL berperan menyediakan materi pelajaran berbasis kurikulum bahasa ibu dan melatih para tutor. Untuk setiap sekolah mendapat 60 buku pelajaran yang digunakan para siswa selama satu tahun. Buku-buku itu berisi cerita rakyat, serta pengenalan abjad dan angka.
"Tim kami menyusun buku itu enam bulan. Setiap tema menggunakan sepuluh buku. Anak-anak dapat materi pembelajaran lengkap sesuai bahasa sehari-hari," papar Telma.
Sejauh ini, SIL Papua telah melatih 550 guru PAUD dan SD sejak 2015. Guru berasal dari 10 kabupaten yang menerapkan kurikulum berbasis bahasa ibu.
Setiap guru rata-rata mengajar 30 siswa di satu PAUD dan SD. Khusus di PAUD, jam belajar dua jam. "Kami mengajar mereka agar memahami modul pembelajaran tiga hingga lima hari. Metodenya berupa tatap muka, praktik mengajar, menyanyikan lagu anak, dan permainan," tutur Telma.
Sekretaris Daerah Pemkab Lanny Jaya Christian Sohilait mengapresiasi kehadiran program kurikulum berbasis bahasa ibu di daerah. Ada 13 PAUD di Tiom, ibu kota Lanny Jaya.
"Kami dukung penuh program Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Papua dan SIL. Sangat efektif menurunkan angka buta aksara," kata Christian.