Banyak habitat harimau sumatera yang kini menjadi berbatasan langsung dengan perkebunan, pertambangan, dan permukiman akibat hilangnya kawasan hutan dan wilayah penyangganya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kerusakan daerah di kawasan hutan dan penyangganya menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik antara harimau sumatera dan masyarakat. Banyak habitat harimau sumatera yang kini berbatasan langsung dengan perkebunan, pertambangan, dan permukiman.
”Kita harus ingat bahwa hutan-hutan di Sumatera merupakan habitat alami harimau sumatera. Satwa ini tidak mengenal batas-batas yuridis kawasan hutan dan mana yang bukan,” kata Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara Hotmauli Sianturi di Medan, Selasa (28/5/2019).
Konflik antara harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan masyarakat terakhir terjadi di desa penyangga Suaka Margasatwa (SM) Barumun. Warga bernama Faisal Hendri Hasibuan (48) diterkam harimau dari belakang saat duduk di depan rumahnya, Minggu (26/5/2019). Sebelumnya, Abu Sali Hasibuan (61) ditemukan tewas dengan kondisi beberapa organ tubuhnya hilang di kebun karetnya di Desa Siraisan, Kecamatan Ulu Barumun, Kamis (16/5/2019).
”Sejak kejadian itu, suasana desa sangat mencekam. Warga takut pergi ke ladang dan keluar dari rumah. Warga pun tidak bisa melaksanakan aktivitas seperti biasa,” kata Hotmauli.
Hotmauli mengatakan, tim gabungan dari BBKSDA Sumut, aparat kepolisian dan TNI setempat, serta Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya berupaya menangkap harimau tersebut. Selain guna memberikan rasa aman kepada warga, hal itu sekaligus untuk menyelamatkan satwa tersebut dari amuk warga.
Dalam sejumlah konflik antara harimau sumatera dan masyarakat, harimau sering mati setelah ditangkap warga atau diracun. Padahal, harimau sumatera merupakan salah satu spesies dilindungi yang populasinya kian langka.
Hotmauli menjelaskan, di Sumatera Utara, populasi harimau sumatera diperkirakan hanya tersisa 35 ekor. Sebanyak 8 ekor di antaranya berada di SM Barumun, 6 ekor di Ekosistem Batang Toru, 5 ekor di kawasan hutan di Kabupaten Padang Lawas, 6 ekor di Mandailing Natal, 5 ekor di Asahan dan Labuhanbatu Utara, 2 ekor di Toba Samosir, 1 ekor di Langkat, dan 2 ekor di Simalungun.
Habitat-habitat harimau tersebut kini berbatasan langsung dengan perkebunan, pertambangan, permukiman, dan pembangunan lainnya. Hewan yang menjadi pakan harimau sumatera kini jumlahnya juga semakin sedikit karena kerusakan ekosistem hutan.
Menurut Hotmauli, salah satu upaya menyelamatkan habitat harimau sumatera adalah dengan menyelamatkan kawasan penyangga hutan yang sebagian besar berstatus areal penggunaan lain (APL). Kewenangan APL ini dimiliki pemerintah kabupaten/kota sehingga banyak yang dialihfungsikan.
”Kita lihatlah di lapangan bagaimana perkebunan dan pembangunan lainnya sangat gencar di APL. Padahal, salah satu fungsi APL adalah sebagai penyangga kawasan hutan,” kata Hotmauli.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Barumun Darmawan mengatakan, tim gabungan kini berupaya menangkap harimau yang menerkam warga di desa. Mereka sudah menemukan jejaknya, tetapi belum berhasil melihat satwa tersebut. Kamera sensor gerak yang dipasang juga belum bisa menangkap keberadaan harimau itu.
Tim tersebut juga memasang tiga kandang jebak dengan umpan kambing, tetapi belum ditemukan jejak harimau di sekitar kandang jebak tersebut. ”Kami menduga harimau sudah masuk lagi ke hutan,” katanya.
Darmawan mengatakan, warga sangat takut dengan peristiwa yang terjadi dalam beberapa pekan ini. Mereka pun mengimbau warga agar saat pergi ke ladang minimal tiga orang. Warga juga sebaiknya tidak beraktivitas di luar rumah pada malam hari.