BPK menyoroti realisasi subsidi tahun 2018 yang melampaui pagu APBN. Selain itu, BPK juga menyoroti beberapa target yang tidak bisa dicapai pemerintah.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pemeriksa Keuangan menyoroti realisasi subsidi tahun 2018 yang melampaui pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain karena harga minyak dunia lebih tinggi daripada asumsi, realisasi subsidi juga dipengaruhi penetapan harga jual bahan bakar minyak dan listrik yang di bawah harga keekonomian.
Hal itu termasuk dalam catatan yang disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II-2018. Ikhtisar itu memuat hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Pusat tahun 2018 yang disampaikan dalam Sidang Paripurna Ke-18 DPR di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
”BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan pemerintah pusat 2018. Namun, ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian DPR dan pemerintah,” kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara.
Dari hasil audit BPK, realisasi belanja subsidi tahun 2018 mencapai Rp 216 triliun lebih tinggi daripada pagu APBN sebesar Rp 156 triliun. Lonjakan belanja subsidi disebabkan realisasi harga minyak dunia dan kurs rupiah lebih tinggi daripada asumsi APBN, serta adanya pembayaran utang subsidi senilai Rp 25 triliun.
Moermahadi mengatakan, lonjakan realisasi belanja subsidi 2018 juga terkait harga jual bahan bakar minyak dan listrik yang ditetapkan pemerintah. Badan usaha diminta menjual bahan bakar di bawah harga keekonomian, baik melalui skema subsidi maupun skema penugasan.
”Pemerintah dan DPR perlu membahas skema pengelolaan keuangan dan pelaporan pertanggungjawaban yang tepat atas penetapan harga jual di bawah harga keekonomian tersebut,” kata Moermahadi.
Selama ini, menurut Moermahadi, belum ditetapkan standar akuntansi terkait dampak kebijakan pemerintah terhadap laporan realisasi anggaran badan usaha milik negara (BUMN). Standar akuntansi ini penting agar kebijakan pemerintah, terutama belanja subsidi, tidak dinilai membebani keuangan BUMN ataupun kinerja APBN.
Menanggapi audit BPK, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, realisasi subsidi energi yang mengalami deviasi jauh dari targetnya pasti berimplikasi terhadap laporan keuangan BUMN, seperti PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara. Namun, pengelolaan subsidi sudah diatur dalam UU APBN dan ditetapkan oleh keputusan tiga menteri.
Ketiga menteri yang berwenang memutuskan nominal belanja subsidi energi tersebut yaitu Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Menteri BUMN.
”Kita lihat saja dari dua itu, yang terpenting kami membuat kebijakan agar momentum pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat terjaga. Di sisi lain, neraca keuangan BUMN juga bisa tetap terjaga kesehatannya,” kata Sri Mulyani.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, Menteri ESDM juga berwenang menetapkan harga indeks pasar, harga dasar, dan harga jual eceran BBM jenis premium, solar bersubsidi, dan minyak tanah (kerosin).
Penetapan harga dasar itu mengacu formula yang ditetapkan Menteri ESDM. Harga dasar terdiri dari biaya perolehan, biaya pendistribusian, biaya penyimpanan, dan margin.
Akhir 2018, pemerintah sedang mengubah formula harga tiga jenis bahan bakar, yaitu premium, solar bersubsidi, dan elpiji kemasan 3 kilogram. Formula ini merupakan acuan penentuan harga dasar bahan bakar.
Selain persoalan belanja subsidi, BPK juga menyoroti beberapa target yang tidak bisa dicapai pemerintah, seperti pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,17 persen dari target 5,4 persen, produksi minyak yang hanya 778.000 barel per hari dari target 800.000 barel per hari, serta produksi gas hanya 1,145 juta barel per hari dari target 1,2 juta barel per hari.