DPR Menolak, Kekurangan Hakim Agung Tak Kunjung Teratasi
DPR kembali menolak usulan calon hakim agung yang disodorkan Komisi Yudisial. Pasalnya integritas dari empat calon yang diajukan, diragukan. Di sisi lain, kebutuhan Mahkamah Agung akan hakim agung mendesak.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni/pradipta pandu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – DPR kembali menolak usulan calon hakim agung yang disodorkan Komisi Yudisial. Pasalnya integritas dari empat calon yang diajukan, diragukan. Di sisi lain, kebutuhan Mahkamah Agung akan hakim agung mendesak. Selain untuk mengganti hakim agung yang pensiun dan meninggal dunia, jumlah hakim agung yang ada sekarang tak sebanding dengan banyaknya perkara yang harus ditangani.
Rapat Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (28/5/2019), memberikan persetujuan atas keputusan Komisi III DPR yang menolak empat calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial (KY).
Keempat calon hakim agung tersebut, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Ridwan Masyur; Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah Matheus Samiaji; Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Tenggara Cholidul Azhar, dan Wakil Ketua III Pengadilan Pajak Sartono.
Ridwan Mansyur dan Matheus Samiaji mencalonkan untuk mengisi jabatan hakim agung kamar perdata, Cholidul Azhar untuk kamar agama, sedangkan Sartono untuk tata usaha negara.
“Berdasarkan pendapat dan pandangan dari sepuluh fraksi yang hadir, rapat pleno Komisi III memutuskan tidak memberikan persetujuan terhadap empat calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial,” kata Ketua Komisi III Kahar Muzakir saat memaparkan keputusan Komisi III di depan Rapat Paripurna DPR yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Agus Hermanto.
Menurut Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Ichsan Soelistyo, integritas keempat calon hakim agung diragukan, sehingga fraksi-fraksi di Komisi III menolak mereka.
Dia mencontohkan, salah satu calon yang memiliki rekam jejak putusan yang buruk, seperti memutus kasus perkara pemerkosaan dengan vonis pidana yang ringan. Selain itu, calon menggunakan diksi yang menyepelekan kasus pemerkosaan.
“Kami kan hanya memilih dari proses (uji kepatutan dan kelayakan) yang ada. Perlu diingat, kami mencari orang-orang yang bisa disebut wakil Tuhan di dunia. Ini supreme court. Mestinya sudah mencapai tingkat kedewasaan yang tinggi baik dari tutur kata dan kelakuan,” kata Ichsan.
Perlu diingat, kami mencari orang-orang yang bisa disebut wakil Tuhan di dunia. Ini supreme court. Mestinya sudah mencapai tingkat kedewasaan yang tinggi baik dari tutur kata dan kelakuan.
Implikasi terhadap tidak terpilihnya para hakim agung ini, menurut Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Trimedya Pandjaitan, merugikan masyarakat pencari keadilan. Sebab dengan gagal terpilihnya para hakim, kekurangan jumlah hakim agung di Mahkamah Agung (MA) belum bisa teratasi. Ini otomatis akan berimbas pada kinerja MA menangani perkara-perkara yang ada.
“Akibatnya, bagaimana ini mengatasi kekurangan hakim agung di MA? Implikasinya muncul kepada para pencari keadilan,” kata Trimedya yang dihubungi secara terpisah.
Penyamaan persepsi
Kekurangan hakim agung itu setidaknya terlihat dari surat Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Nomor 22/WKMA-NY/5/2019 tentang Pengisian Kekosongan Jabatan Hakim Agung tertanggal 22 Mei 2019.
Di surat itu dijelaskan, MA membutuhkan sebelas orang hakim agung dengan rincian, empat orang untuk kamar perdata menggantikan Suwardi, Abdurrahman, Soltoni Mohdally dan H. Mahdi Soroinda Nasution.
Kemudian, tiga orang untuk kamar pidana menggantikan Artidjo Alkostar, Wahidin, dan Sumardijatmo. Lalu, dua orang untuk kamar militer menggantikan Timur P Manurung dan Gayus Lumbuun. Selain itu, satu orang untuk kamar agama untuk menggantikan Muchtar Zamzami, serta satu orang untuk kamar tata usaha negara dengan keahlian khusus pajak.
Penggantian diperlukan karena banyak diantaranya pensiun tetapi ada pula yang sudah meninggal dunia.
Trimedya menekankan, untuk mencegah calon hakim agung yang disodorkan KY ditolak kembali oleh DPR, perlu penyamaan persepsi antara kompetensi hakim agung yang diharapkan oleh DPR dengan parameter pemilihan hakim agung yang diterapkan KY, serta kebutuhan MA.
Kesamaan persepsi ini dibutuhkan agar proses seleksi hakim agung dapat berjalan efektif dan efisien. “Jangan selera (KY) saja. Semua harus duduk bersama. Kalau tidak, anggaran dan waktunya habis percuma,” kata Trimedya.
Untuk diketahui, bukan kali ini saja DPR menolak calon hakim agung yang disodorkan KY. Catatan Kompas, akhir 2016, DPR menolak dua calon hakim agung ad hoc hubungan industrial yang disodorkan oleh KY. Kemudian awal September 2016, dari tujuh calon hakim agung dan hakim agung ad hoc tindak pidana korupsi yang diusulkan, DPR hanya menyetujui tiga diantaranya.
Langkah KY
Menyusul penolakan empat calon hakim agung oleh DPR, KY kembali membuka penerimaan untuk mengisi jabatan hakim agung. Kali ini, KY sekaligus membuka penerimaan untuk mengisi sebelas jabatan hakim agung dan sembilan hakim ad hoc.
Dari sebelas jabatan hakim agung, empat diantaranya untuk mengganti empat calon hakim agung yang telah ditolak oleh DPR.
KY berkeyakinan rekrutmen dan seleksi calon hakim agung selama ini sudah baik dengan menitikberatkan pada kapasitas dan integritas calon, dan mekanisme seleksi yang adil dan transparan. Ini akan dipertahankan oleh KY dalam rekrutmen dan seleksi calon-calon hakim selanjutnya.
Mengenai DPR yang justru berpikiran sebaliknya, sehingga tak jarang calon hakim agung dari KY ditolak DPR, Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY Aidul Fitriciada Azhari menilai hal itu kewenangan dari DPR.
"Kami tidak bisa mempengaruhi kewenangan DPR untuk meloloskan atau tidaknya hakim tersebut. Tetapi kami yakin para hakim yang akan mendaftar melihat proses seleksi ini dilakukan secara terbuka dan adil, meski keputusan politis ada pada DPR," ujarnya.