Indonesia yang baru saja usai menggelar pemilu juga menghadapi tantangan eksternal, terutama perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Meski demikian, dengan berbagai upaya, tetap ada peluang menumbuhkan perekonomian agar lebih meyakinkan.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia yang baru saja usai menggelar pemilu juga menghadapi tantangan eksternal, terutama perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Meski demikian, dengan berbagai upaya, tetap ada peluang menumbuhkan perekonomian agar lebih meyakinkan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi ”Post Election Economic Updates” yang digelar Independent Research and Advisory Indonesia di Jakarta, Senin (27/5/2019).
”Asia Timur dan Asia Tenggara adalah arena-arena kunci kontestasi kekuatan besar tersebut,” kata Director of Centennial Group dan Chief Executive Centennial Asia Advisors Manu Bhaskaran.
Perang dagang AS-China yang terkait soal tarif mendorong relokasi produksi dari China ke beberapa negara di Asia Tenggara. Lokasi baru pabrik-pabrik dari China tersebut terutama Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
”Akan tetapi, mereka tidak datang ke Indonesia. Pembuat kebijakan di Indonesia harus bertanya ’mengapa?’,” kata Manu Bhaskaran.
Partner Deutsche Verdhana Securities Heriyanto Irawan berpendapat, Indonesia tidak kekurangan sumber pertumbuhan. Namun, Indonesia belum sanggup mendanai pertumbuhan sehingga terjadi defisit transaksi berjalan.
”Tanpa kita sadar, kita semua lagi menguras dollar AS yang ada di Indonesia. Kenapa saya mengatakan itu? Jumlahkan semua dollar AS yang ada di perbankan sekarang, tidak melebihi angka 60 miliar dollar AS,” kata Heriyanto.
Jumlah tersebut hanya setara dengan 6 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang sekitar 1 triliun dollar AS. Padahal, 20 tahun lalu, rasio jumlah dollar AS setara sekitar 20 persen dari PDB.
Oleh karena itu, Indonesia harus mencari cara untuk mendorong hilirisasi industri, mendongkrak ekspor, dan upaya lain untuk mengatasi persoalan defisit.
Menurut pendiri dan CEO Independent Research and Advisory Indonesia Lin Che Wei, saat ini pemerintah dapat melakukan beberapa kebijakan yang mampu kembali membangkitkan pasar.
Dia menambahkan, gara-gara perang dagang AS-China, banyak relokasi pabrik dari China ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia, tetapi tidak ke Indonesia.
”Jadi harus ada kebijakan yang bisa mendapatkan (relokasi) itu. Berdasar identifikasi, salah satu yang menghambat adalah aturan ketenagakerjaan,” kata Lin Che Wei.
Lin Che Wei mengatakan, pemerintah juga harus mencari sumber-sumber pembiayaan baru dan menggunakannya untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Pendiri Freedom Institute, Rizal Mallarangeng, mengatakan, momentum aksi 22 Mei 2019 telah lewat. ”Dalam politik, kalau momentumnya lewat, tidak akan lagi kembali. Jadi jangan khawatir,” katanya.
Rizal menambahkan, Mahkamah Konstitusi akan mengumumkan putusan sengketa hasil pemilu paling lambat 28 Juni 2019. Tahapan selanjutnya pelantikan anggota DPR 1 Oktober, pelantikan presiden 20 Oktober.
”Satu dua hari setelahnya pelantikan kabinet baru. Kelihatannya semua akan smooth,” kata Rizal. (CAS)