Membaca Indonesia Pasca-Pemilu 2019
Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan suara manual Pemilihan Umum Presiden 2019 pada 21 Mei lalu. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dinyatakan mendapat perolehan suara 55,5 persen. Sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat 44,5 persen suara. Dengan demikian, dapat dipastikan Presiden Joko Widodo akan melanjutkan kepemimpinannya untuk periode yang kedua.
Dengan hasil tersebut, selanjutnya apa yang akan terjadi di panggung politik negeri ini? Sehari menjelang pengumuman rekapitulasi KPU, bertepatan pula dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2019, Litbang Kompas menyelenggarakan diskusi bertajuk ”Titik Temu: Panggung Politik Indonesia Pasca-Pemilu 2019”.
Diskusi itu menghadirkan narasumber Bambang Setiawan (Peneliti Senior Litbang Kompas), Direktur Eksekutif Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte, dan Antony Lee (wartawan Kompas). Turut hadir sebagai pembicara kunci adalah Daniel Dhakidae (Pemimpin Redaksi Prisma, yang juga mantan Kepala Litbang Kompas 1994-2006). Bertindak sebagai moderator diskusi adalah Yohan Wahyu (peneliti Litbang Kompas).
Perang kebuasan
Untuk mendapat gambaran mengenai panggung politik ke depan, mari kita lihat ulang peristiwa sebelumnya pada pemilu 17 April lalu. Pemilu 2019 merupakan pemilu unik yang baru pertama kali ini dilakukan, kemungkinan juga yang terakhir jika nanti ada revisi Undang-Undang Pemilu, yaitu pemilu serentak yang memilih presiden-wakil presiden, anggota legislatif DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan anggota DPD RI secara bersamaan. Dua calon presiden yang bertarung masih sama dengan Pemilu 2014, yaitu Joko Widodo versus Prabowo Subianto.
Kondisi keterbelahan masyarakat, yang muncul sejak 2014 dan dipertajam pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, mencapai puncaknya saat pemilu April 2019. Kekerasan verbal yang terjadi antarpendukung dua kubu, dengan menyebut ”kampret” bagi pendukung 02 dan ”cebong” bagi pendukung 01, terutama di media sosial dan aplikasi percakapan, semakin menguat. Terjadi a war of savagery, perang kebuasan, semakin buas semakin baik dan hal itu menjadi sesuatu yang normal.
Dalam perang kebuasan ini lembaga-lembaga penelitian memiliki posisi dan peran yang tidak sedikit dalam memengaruhi lalu lintas informasi. Lembaga-lembaga penelitian, yang sejatinya bekerja menjaga agar pekerjaan politik berlangsung penuh pengetahuan sehingga demokrasi menjadi lebih berkualitas, berada dalam medan dua kutub yang saling tarik-menarik antara episteme dan doxa.
Episteme adalah pengetahuan dan doxa adalah ajaran, mendekati dogma. Bahwa Jokowi atau Prabowo ”akan” menang berdasarkan hasil penelitian itu disebut episteme. Akan tetapi, jika Jokowi atau Prabowo ”harus” menang dengan apa pun caranya, itu disebut doxa. Episteme sifatnya dinamis, bisa dianalisis untuk menghasilkan pengetahuan baru. Sementara doxa statis, tidak memungkinkan dianalisis karena harus sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Pergulatan antara episteme dan doxa selama pemilu lalu mengakibatkan kekacauan atau kegalauan pengetahuan (epistemic confusion) ketika lembaga-lembaga penelitian tidak lagi berpegang pada episteme, tetapi didorong oleh doxa. Hal buruk yang terjadi adalah ketika lembaga penelitian melakukan atau menjadi sumber dari informasi yang dimanipulasi. Ini menjadi epistemic manipulation.
Dalam penelitian, kesalahan penelitian bisa tidak terhindarkan, tetapi peneliti tidak boleh melakukan manipulasi informasi. Statistik sejatinya digunakan tidak hanya untuk mencari kebenaran, tetapi berusaha mengontrol kesalahan menjadi sesedikit mungkin. Dalam pemilu lalu, lembaga-lembaga penelitian turut terlibat dalam kekacauan pengetahuan oleh adanya kepentingan politik dan bisa jadi kepentingan uang. Cap keberpihakan kepada salah satu kubu begitu mudah disematkan. Hal tersebut ikut memperparah keterbelahan yang sudah terjadi.
Segregasi berbagai sisi
Pascapemilu, polarisasi politik dan sosial tampaknya masih akan berlanjut. Hasil rekapitulasi suara KPU dan survei Litbang Kompas, yang dilakukan saat pencoblosan (exit poll) ataupun beberapa saat sebelumnya, memperlihatkan terjadinya pembelahan atau segregasi masyarakat di berbagai sisi. Kondisi ini diperkirakan memengaruhi jalannya pemerintahan dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan.
Dari sisi geopolitik, wilayah barat Indonesia menjadi wilayah yang tidak ”tunduk” pada 01, sedangkan semakin ke timur menjadi wilayah pendukung 01. Dari sisi etnisitas pun terbelah menjadi kelompok-kelompok suku bangsa pendukung 02 dan sebaliknya.
Etnis terbesar pendukung 02, misalnya Aceh, Minang, Melayu, Palembang, Sunda, Betawi, Bugis/Makassar, Banjar, dan Madura. Sementara etnis pendukung 01 lebih menonjol pada kelompok sukubangsa Bali, Manado/Minahasa, Dayak, Jawa, Batak/Tapanuli, dan Tionghoa.
Dari sisi ideologi, keterbelahan dapat dilihat dari afiliasi politik pemeluk agama atau aliran. Kalangan non-Islam cenderung mendukung 01. Sebaliknya, kalangan Islam terbelah menurut aliran, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan aliran lainnya. NU cenderung memiliki aspirasi ke 01 khususnya di wilayah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Namun, apabila dipetakan secara luas ternyata dukungan NU di wilayah-wilayah lain lebih condong mendukung 02.
Hal tersebut menunjukkan Jokowi ataupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dianggap representasi dari NU tidak sepenuhnya bisa menguasai atau mengendalikan kalangan NU di luar Jawa. Muhammadiyah lebih sulit lagi ”ditundukkan” oleh Jokowi.
Dari sisi birokrasi, segregasi muncul dari aparatur sipil negara (ASN) dan profesi guru, baik negeri maupun swasta, yang justru cenderung menentang pemerintahan Jokowi. Resistensi dari ASN ini bisa dimengerti jika dikaitkan dengan konteks moratorium penerimaan ASN yang diterapkan pemerintahan Jokowi. Padahal, di banyak daerah menjadi pegawai negeri adalah pilihan terbaik.
Dari sisi pengetahuan, segregasi bisa dilihat dari perbedaan aspirasi antara kalangan berpendidikan rendah serta menengah dan kalangan berpendidikan tinggi. Jokowi lebih diterima oleh kalangan bawah dan menengah. Sementara kalangan atas lebih ke Prabowo.
Hal ini dapat menyebabkan kesulitan komunikasi bagi pemerintahan baru nantinya. Di satu sisi harus menggunakan bahasa yang bisa diterima kalangan bawah dan menengah, di sisi lain harus mampu meyakinkan kalangan atas yang kritis.
Dari sisi nilai-nilai pun terdapat segregasi. Di bidang ekonomi, kita cenderung moderat, tetapi hal itu kurang didukung oleh nilai-nilai sosial yang saat ini cenderung konservatif.
Segregasi ini tentu akan menjadi persoalan serius dalam pembangunan bangsa. Dengan berbagai segregasi tersebut, pemerintahan ke depan memiliki pekerjaan berat agar program-programnya diterima oleh kalangan yang bukan pengikut atau pendukungnya. Bahasa dan aktor/tokoh yang dipakai untuk mendekati pihak-pihak yang bertentangan ini tentu saja menjadi berbeda.
Tantangan pemerintahan ke depan bukan saja datang akibat dari segregasi berbagai sisi, ada juga potensi persoalan koalisi partai yang mendukung dan mengantarkan Jokowi terpilih kembali menjadi presiden.
Koalisi di pemerintahan Jokowi periode kedua kali ini berbeda dengan saat 2014. Pada Pemilu 2014, kekuatan sosok Jokowi sangat dominan menentukan kemenangan. Saat itu, Jokowi hanya didukung oleh suara koalisi partai yang 39,93 persen, tetapi mampu memenangi pemilu dengan raihan 53,15 persen.
Pemilu 2019, meski didukung oleh banyak partai, kemenangan Jokowi yang sekitar 55 persen hampir sama dengan perolehan partai koalisi sekitar 54 persen. Artinya, perolehan kemenangan Jokowi relatif stagnan meskipun secara perolehan suara meningkat.
Kondisi koalisi di pemerintahan ini berimplikasi pada dua hal, yaitu kabinet akan lebih kompromistis terhadap kemauan partai koalisi dan hak prerogatif presiden akan mudah diintervensi. Sementara itu, koalisi di parlemen, seperti pengalaman pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, selalu memunculkan koalisi semu yang rapuh karena partai-partai kerap berlaku pragmatis, terlalu cair, mudah berubah tergantung isu atau kepentingan.
Soliditas koalisi akan sulit dicapai dengan model multipartai yang ada. Padahal, sistem presidensial membutuhkan koalisi yang solid untuk menjalankan program-programnya.
Dengan kondisi seperti ini, diperkirakan pemerintahan Jokowi hanya efektif selama dua tahun. Sebab, pada tahun ketiga dan seterusnya partai-partai pendukung koalisi mungkin sudah tidak patuh lagi atau akan lebih fokus menjaring calon untuk kursi kepresidenan 2024.
Bibit baru kepemimpinan
Tarikan konservatisme dalam Pemilu 2019 tidak bisa dipandang sebagai suatu peristiwa tunggal, tetapi merupakan bagian dari hasil reformasi yang sudah kita jalani sejak 1999. Ia merupakan satu rangkaian juga dengan kejadian politik sejak Pemilu 2014, dan pemilihan kepala daerah langsung yang ikut menentukan bangunan demokrasi kita. Satu pilkada yang paling kontroversial adalah Pilgub DKI Jakarta 2017 yang menyuburkan nilai-nilai konservatisme.
Pilkada 2018 lain lagi. Pilkada serentak di 171 wilayah itu memunculkan tren baru, yaitu terpilihnya para teknokrat yang menjadi kepala daerah di provinsi-provinsi besar, seperti Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, dan Nurdin Abdullah.
Keterpilihan mereka bisa dianggap menandai era the rise of urban leadership, kelahiran pemimpin-pemimpin yang dianggap mampu menyelesaikan masalah-masalah baru yang banyak muncul di perkotaaan. Ini adalah tren global yang juga dialami oleh Indonesia. Mereka yang terpilih itu adalah bibit-bibit baru kepemimpinan masa depan. Dengan pengalaman dan kompetensi yang dimiliki, mereka akan membangun sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya yang akan mempermudah mereka mendapatkan tiket calon presiden suatu saat nanti.
Dalam konteks sekarang, bibit-bibit baru ini menjadi oase dan kesempatan bagi pemerintahan Jokowi menjalin aliansi strategis untuk merealisasikan program-program pembangunan. Aliansi antara Jokowi dan kepala daerah diperlukan untuk kesinambungan pembangunan selama lima tahun sehingga tidak bergantung semata pada koalisi parpol.
Aliansi ini akan turut berperan meredakan pembelahan dan berpotensi menyatukan kembali masyarakat yang terbelah karena masyarakat menatap masa depan dengan harapan munculnya berbagai alternatif pemimpin.
Peran media sosial
Pasca-Pemilu 2019, polarisasi politik dan sosial diyakini masih akan berlangsung. Penetrasi internet berperan besar membuat media sosial semakin dominan dalam penyebaran informasi. Berdasarkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jika pada tahun 2000 pengguna internet baru sekitar 1,9 juta orang, pada 2017 jumlahnya mencapai 143,26 juta orang atau sekitar 55 persen dari total penduduk Indonesia. Sebanyak 70 persen dari jumlah tersebut adalah pengguna internet aktif.
Meskipun terjadi penetrasi internet yang tinggi, informasi yang diterima pengguna bisa berbeda antara satu orang dan orang yang lain. Terjadi ketidaksetaraan antarpengguna yang disebabkan perbedaan akses dan tingkat pengetahuan individu. Media sosial melalui internet menyediakan ruang bagi individu untuk berkomunikasi di mana orang-orang bisa berbagi informasi apa saja, termasuk terkait politik.
Dalam konteks demokrasi, media sosial bisa dimanfaatkan tidak saja untuk pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, tetapi juga pelibatan elektoral agar masyarakat merasa jadi bagian dari proses politik. Ramainya percakapan terkait dukung-mendukung capres-cawapres pada pemilu lalu memperlihatkan hal itu.
Seiring dengan perkembangannya, penggunaan internet dan aktivitas berkomunikasi di media sosial berevolusi dari sesuatu yang dianggap sebagai potensi untuk demokratisasi menjadi wadah untuk memobilisasi dan mengadvokasi gerakan-gerakan, seperti ”Koin Prita”, ”Save KPK”, hingga sekarang berkembang menjadi ruang percakapan narasi yang tidak hanya menyatukan, tetapi juga memunculkan kontroversi-kontroversi, bahkan polarisasi.
Penggunaan media sosial bergeser dari yang semula bersifat optimistik menjadi pesimistik. Kita sampai pada era post truth yang dipenuhi aliran disinformasi dan ujaran kebencian. Kondisi ini yang kemudian mengarah pada perang kebuasan.
Karena sifatnya sebagai ruang berkomunikasi, media sosial mempunyai dampak negatif. Media sosial menciptakan gelembung-gelembung fragmentasi yang membuat orang berkumpul sesuai dengan kesamaan dengan dirinya, yang disukai dan yang tidak. Fragmentasi atau gelembung-gelembung itu difasilitasi oleh jejak algoritma atau karena pilihan bebas individu.
Menguatnya ketidakpercayaan vertikal (terhadap institusi publik) atau horizontal (terhadap sesama manusia) yang terjadi selama proses dan sesudah pemilu semakin menyuburkan polarisasi. Individu hidup dalam diskursus-diskursus yang berbeda-beda, tidak ada diskursus yang mempertemukan semua kalangan dan yang dapat memberikan gambaran utuh suatu bangsa.
Jika seperti ini, media sosial bisa dianggap menjadi ancaman bagi eksistensi sebuah bangsa, yang oleh karena itu bisa diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk meredamnya. (LITBANG KOMPAS)